BERBAGI ILMU

Translate

close

Monday, June 22, 2015

PENGARUH PANJANG-PENDEKNYA ANGSURAN DALAM PEMBIAYAAN BAI’ BITSAMAN AJIL TERHADAP TERJADINYA KREDIT MACET

KJIAN TEORI
PENGARUH PANJANG-PENDEKNYA ANGSURAN DALAM PEMBIAYAAN BAI’ BITSAMAN AJIL TERHADAP TERJADINYA KREDIT MACET

1.      Angsuran 
a.       Pengertian Angsuran
Angsuran adalah uang yang dipakai untuk mengangsur (utang, pajak, dsb).[1]

b.      Jangka Waktu Angsuran Kredit
UUP 1967 ps 1d mengatur tentang jangka waktu kredit. Ketentuan seperti ini tidak terdapat di dalam Bab XIII Buku III KUH Perdata.
Jangka waktu tersebut adalah sebagai berikut:
1)      Kredit jangka pendek adalah kredit kredit yang berjangka waktu maksimum satu tahun, dalam kredit jangka pendek juga termasuk untuk tanaman musiman yang berjangka waktu lebih dari satu tahun.
2)      Kredit jangka menengah adalah kredit yang berjangka waktu satu tahun sampai tiga tahun. Kecuali kredit untuk tanaman musiman yang tersebut diatas.
3)      Kredit jangka panjang adalah kredit yang berjangka waktu lebih dari tiga tahun.
Jangka waktu kredit ini tidak bersifat absolut; kepada penerima kredit tetap diberi kesempatan untuk memperpanjang jangka waktu tersebut.[2]
2.      Pembiayaan Bai’ bitsaman ajil
a.       Pengertian pembiayaan bai’ bitsaman ajil
Bai’ bitsaman ajil (BBA) adalah jual beli dengan pembayaran tangguh, jual beli ini dapat diterapkan untuk pembiayaan usaha maupun pembiayaan konsumtif lainnya yang bersifat multiguna.[3]
Bai’ bitsaman ajil adalah menjual dengan harga asal ditambah dengan margin keuntungan yang telah disepakati dan bayar secara kredit.
Pembayaran harga di dalam akad Bai’ (jual beli) bisa dilakukan di muka atau secara angsuran. Bai’ semacam ini dikenal dengan nama Bai’ bitsaman ajil (BBA).

Dasar hukum:
“Dari Shuhaib ra: bahwa Rasulullah saw bersabda tiga perkara didalamnya terdapat keberkatan (1) menjual secara kredit, (2) Muqharadhah (nama lain dari mudharabah), (3) mencampurkan tepung dengan gandum untuk kepentingan rumah dan bukan umum untuk dijual”. (HR. Ibnu Majah, Shubhu Assalam 4/147)
Keterangan:
1)      Melihat definisi di atas bai’ bitsaman ajil adalah second derivation atau pengembangan dari murabahah. Hal ini tampak jelas dari unsur waktu dalam pembayaran.
2)      Bentuk usaha ini dapat diterapkan dalam:
a)      Proses pengadaan barang dari nasabah bank
b)      Pembiayaan impor dari luar negeri
3)      Dari sudut pandang fikih bank tidak ada halangan untuk meminta kolateral dari nasabahnya atas suatu kredit tertentu. Dalam konteks bai’ bitsaman ajil bank dapat menahan surat-surat transaksi sebagai jaminan sampai nasabah membayar lunas seluruh kreditnya.
b.      Kaidah-kaidah khusus yang berkaitan dengan bai bitsaman ajil
1)      Harga barang dengan transaksi bai’ bitsaman ajil dapat ditentukan lebih tinggi daripada transaksi tunai. Namun, ketika harga telah disepakati, tidak dapat dirubah lagi.
2)      Jangka waktu pengembalian dan jumlah cicilan ditentukan berdasarkan musyawarah dan kesepakatan kedua belah pihak.
3)      Manakala nasabah tidak dapat membayar tepat pada waktu yang telah disepakati maka bank akan mencarikan jalan yang paling bijaksana. Jalan apapun yang ditempuh bank tidak akan mengenakan sanksi atau melakukan repricing dari akad yang sama.[4]
c.       Contoh kasus:
Bapak Fulan bermaksud memiliki “gerobak dorong” untuk menjual bakso. Bapak Fulan selanjutnya mengajukan pembiayaan kepada LKS dengan akad  Bai’ Bitsaman Ajil (BBA) untuk tujuan di atas. Maka akad Bai’ akad Bai’ bitsaman ajil adalah sebagai berikut:
1)      Harga gerobak dorong Rp. 2.000.000.
2)      Keuntungan (margin) yang disepakati Rp.300.000.
3)      Hutang bapak Fulan kepada LKS Rp. 2.300.000.
4)      Hutang tersebut harus dilunasi selama sepuluh bulan dengan cara diangsur (Rp. 2.300.000 : 10 bulan = Rp.230.000/bulan).[5]
3.      Kredit Macet (Pembiayaan Bermasalah)
a.       Pengertian kredit
                Kata “kredit’ berasal dari bahasa Romawi “creader” artinya percaya. Menurut UUP 1967 pasal 1c mengatakan arti “kredit” adalah penyediaan uang atau tagihan-tagihan berdasarkan persetujuan simpan meminjam antara bank dengan pihak lain dalam hal mana pihak peminjam berkewajiban melunasi hutangnya setelah jangka waktu yang tertentu dengan jumlah bunga yang telah ditetapkan.[6]
                Dalam perbankan atau lembaga keuangan syariah tidak mengenal istilah kredit tetapi dikenal dengan istilah pembiayaan. Menurut UU NO.10 tahun 1998 tentang perbankan menyatakan “Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.”[7]
                Kemudian dijelaskan lagi dalam UU no. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah pasal 1 poin ke 25 menjelaskan bahwa: Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa:
1)      transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah;
2)      transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik;
3)      transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istishna’;
4)      transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan
5)      transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa
Berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syariah dan/atau UUS dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil.[8]
b.      Pengertian Kredit Macet (Pembiayaan Bermasalah)
                Pembiayaan bermasalah adalah suatu penyaluran dana yang dilakukan oleh lembaga pembiayaan seperti bank syariah yang dalam pelaksanaan pembayaran pembiayaan oleh nasabah itu terjadi hal-hal seperti pembiayaan yang tidak lancar, pembiayaan yang debiturnya tidak memenuhi persyaratan yang dijanjikan, serta pembiayaan tersebut tidak menepati jadwal angsuran. Sehingga hal-hal tersebut memberikan dampak negative bagi kedua belah pihak (debitur dan kreditur).
                Pembiayaan bermasalah merupakan salah satu dari resiko dalam suatu pelaksanaan pembiayaan. Adiwarman A. Karim menjelaskan bahwa resiko pembiayaan merupakan resiko yang disebabkan oleh adanya counterparty dalam memenuhi kewajibannya. Dalam bank syariah, resiko pembiayaan mencakup resiko terkait produk dan resiko terkait dengan pembiayaan korporasi.[9]
c.       Faktor-Faktor Penyebab Kredit Macet (Pembiayaan Bermasalah)
1)      Faktor internal (berasal dari pihak bank)
a)      Kurang baiknya pemahaman atas bisnis nasabah.
b)      Kurang dilakukan evaluasi keuangan nasabah.
c)      Kesalahan setting fasilitas pembiayaan (berpeluang melakukan slide streaming)[10].
d)     Perhitungan modal kerja tidak didasarkan kepada bisnis usaha nasabah.
e)      Proyeksi penjualan terlalu optimis.
f)       Proyeksi penjualan tidak memperhitungkan kebiasaan bisnis dan kurang memperhitungkan aspek competitor.
g)      Aspek jaminan tidak diperhitungkan aspek marketable.
h)      Lemahnya supervisi dan monitoring.
i)        Terjadinya erosi mental: kondisi ini dipengaruhi timbal balik antara nasabah dengan pejabat bank sehingga mengakibatkan proses pemberian pembiayaan tidak didasarkan pada praktik perbankan yang sehat.
2)      Faktor eksternal (berasal dari pihak luar).
a)      Karakter nasabah tidak amanah (tidak jujur dalam memberikan informasi dan laporan tentang kegiatannya).
b)      Melakukan sidestresming penggunaan dana.
c)      Kemampuan pengelolaan nasabah tidak memadai sehingga kalah dalam persaingan usaha.
d)     Usaha yang dijalankan relatif baru.
e)      Bidang usaha nasabah telah jenuh.
f)       Tidak mampu menanggulangi masalah/kurang menguasai bisnis.
g)      Meninggalnya key person.
h)      Perselisian sesama direksi.
i)        Terjadi bencana alam.
j)        Adanya kebijakan pemerintah: peraturan suatu produk atau sektor ekonomi atau industri dapat berdampak positif maupun negatif bagi perusahaan yang berkaitan dengan industri tersebut.[11]
d.      Penyelesaian Kredit Macet (Pembiayaan Bermasalah)
                Bank syariah dalam memberikan pembiayaan berharap bahwa pembiayaan tersebut berjalan dengan lancar, nasabah mematuhi apa yang telah desepakati dalam perjnjian dan menbayar lunas bilamana jatuh tempo. Akan tetapi, bias terjadi dalam jangka waktu pembiayaan nasabah mengalami kesulitan dalam pembayaran yang berakibat kerugian bagi bank syariah. Dalam hukum perdata kewajjiban memenuhi prestasi harus dipenuhi oleh debitur sehingga jika debitur tidak memenuhi sesuatu yang diwajibkan, seperti yang telah ditetapkan dalam perjanjian maka dikatakan debitur telah melakukan wanprestasi. Ada empat keadaan dikatakan wanprestasi, yaitu:
1)      Debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali,
2)      Debitur memenuhi prestasi tidak sebagaimana yang diperjanjikan,
3)      Debitur terlambat memenuhi prestasi, dan


4)      Debitur melakukan perbuatan yang tidak diperbolehkan dalam perjanjian.
                Setiap terjadi pembiayaan bermasalah maka bank syariah akan berupaya untuk menyelamatkan pembiayaan berdasarkan PBI No. 13/9/PBI/2011 tentang perubahan atas PBI No. 10/18/PBI/2008 tentang Restrukturisasi Pembiayaan Bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah maka bank syariah, yaitu:[12]
1)      Penjadwalan kembali (rescheduling), yaitu perubahan jadwal pembayaran kewajiban nasabah atau jangka waktunya, dan
2)      Persyaratan kembali (reconditioning), yaitu perubahan sebagian atau seluruh persyaratan pembiayaan tanpa menambah sisa pokok kewajiban nasabah yang harus dibayarkan kepada bank, antara lain meliputi:
a)      Pengurangan jadwal pembayaran,
b)      Perubahan jumlah angsuran,
c)      Perubahan jangka waktu, dan
d)     Perubahan nisbah dalam pembiayaan mudharabah atau musyarakah.
e)      Perubahan proyeksi bagi hasil dalam pembiayaan mudharabah atau musyarakah, dan atau
f)       Pemberian potongan.
3)      Penataan kembali (restructuring), yaitu perubahan persyaratan pembiayaan yang antara lain meliputi:
a)      Penambahan dana fasilitas pembiayaan bank,
b)      Konversi akad pembiayaan,
c)      Konversi pembiayaan menjadi surat berharga syariah berjangka waktu,
d)     Konversi pembiayaan menjadi penyertaan modal sementara pada perusahaan nasabah yang dapat disertai dengan rescheduling atau reconditioning.
                 Bank hanya dapat melakukan restrukturisasi pembiayaan terhadap nasabah yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
1)      Nasabah telah atau diperkirakan telah mengalami penurunan atau kesulitan kemampuan dalam pembayaran dan/atau pemenuhan kewajibannya.
2)      Nasabah memiliki prospek usaha yang baik dan mampu memenuhi kewajiban setelah direstrukturiasi.
                 Pada pembiayaan murabahah, bank syariah dapat melakukan penjadwalkan kembali (rescheduling) tagihan murabahah bagi nasabah yang tidak bias menyelesaikan/melunasi pembiayaannya suatu jumlah dan waktu yang telah disepakati dengan ketentuan:
1)      Tidak menambah jumlah tagihan yang tersisa,
2)      Pembebanan biaya dalam proses penjadwalan kembali adalah biaya riil, dan
3)      Perpanjangan masa pembayaran harus berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.
                 Memberikan potongan dari total kewajiban pembayaran dan konversi akad murabahah yang dilaksanakan sesuai dengan fatwa DSN yang berlaku. Pada fatwa DSN No.49/DSN-MUI/II/2005 tentang Konversi Akad Murabahah, bahwa LKS dapat melakujan konversi dengan membuat akad baru bagi nasabah yang tidak bias menyelesaikan/melunasi pembiayaan murabahahnya sesuai jumlah dan waktu yang telah disepakati, tetapi ia masih prospektif dengan ketentuan akad murabahah dihentikan dengan cara:
1)      Objek murabahah dijual oleh nasabah kepada LKS dengan harga pasar,
2)      Nasabah melunasi sisa hutangnya kepada LKS dari hasil penjualan,
3)      Apabila hasil penjualan melebihi sisa hutang maka kelebihan itu dapat dijadikan uang muka untuk akad ijarah atau bagian modal dari mudharabah dan musyarakah, dan
4)      Apabila hasil penjualan lebih kecil dari sisa hutang maka sisa hutang tetap menjadi hutang nasabah yang cara pelunasannya disepakati antara LKS dengan nasabah.[13]
                 Adapun landasan syariah yang mendukung upaya restrukturisasi pembiayaan dalam surat “Al Baqarah (2):276: “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa.”[14]
                 Dalam surat Al Baqarah (2):280: “Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua hutang) itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.”[15]
                 Dalam surat Al Baqarah (2):286: “Allah tidak membebani seseoramg melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (atas kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.[16]
                 Dari kutipan ayat Al-Quran di atas, selalu digaris bawahi pentingnya sedekah dan tuntunan akan perlunya toleransi terhadap nasabah jika sedang mengalami kesulitan (dalam arti sebenar-benarnya) membayar kewajibannya.
                 Hadits Nabi riwayat Muslim: “Orang yang melepaskan seorang muslim dari kesulitannya di didunia, Allah akan melepaskan kesulitannya di hari kiamat; dan Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama ia (suka) menolong saudaranya,”
4.      Baitul Mal wat Tamwil
a.       Pengertian Baitul Mal wat Tamwil
BMT adalah kependekan kata Balai Usaha Mandiri Terpadu atau Baitul Mal wat Tamwil, yaitu lembaga keuangan mikro (LKM) yang beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip syariah. BMT sesuai namanya terdiri dari dua fungsi utama, yaitu:
1)      Baitul tamwil (rumah pengembangan harta), melakukan kegiatan pengembangan usaha-usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas ekonomi pengusaha mikro dan kecil dengan antara lain mendorong kegiatan menabung dan menunjang pembiayaan kegiatan ekonomi.
2)      Baitul mal (rumah harta), menerima titipan dana zakat, infak dan sedekah serta serta mengoptimalkan distribusinya sesuai dengan peraturan dan amanahnya.
Baitul mal wat tamwil (BMT) adalah balai usaha mandiri terpadu yang isinya berintikan bayt al-mal wa al-tamwil dengan kegiatan mengembangkan usaha-usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas kegiatan ekonomi pengusaha kecil bawah dan kecil dengan antara lain mendorong kegiatan menabung dan menunjang pembiayaan kegiatan ekonominya. Selain itu, Baitul Mal wat Tamwil juga bisa menerima titipan zakat, infak, dan sedekah, serta menyalurkannya sesuai dengan peraturan dan amanatnya.[17]
b.      Profil Baitul mal wat tamwil (BMT)
Secara umum profil BMT dapat dirangkum dalam butir-butir berikut:
1)      Tujuan BMT, yaitu meningkatkan kualitas usaha ekonomi untuk kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.
2)      Sifat BMT, yaitu memiliki usaha bisnis yang bersifat mandiri, ditumbuhkembangkan dengan swadaya dan dikelola secara professional serta berorientasi untuk kesejahteraan anggota dan masyarakat lingkungannya.
3)      Visi BMT, yaitu menjadi lembaga keuangan yang mandiri, sehat dan kuat, yang yang kualitas ibadah anggotanya meningkat sesemikian rupa sehingga mampu berperan menjadi wakil pengabdi allah memakmurkan kehidupan anggota pada khususnya dan umat manusia pada umumnya.
4)      Misi BMT, yaitu mewujudkan gerakan pembebasan anggota dan masyarakat dari belenggu rentenir, jerat kemiskinan dan ekonomi ribawi, gerakan pemberdayaan meningkatkan kapasitas dalam kegiatan ekonomi rill dan kelembagaannya menuju tatanan perekonomian yang makmurdan maju dan gerakan keadilan membangun struktur masyarakat madani yang  adil dan berkemakmuran berkemajuan, serta makmur maju berkeadilan berlandaskan syariah dan rida Allah  SWT.
5)      Fungsi BMT, yaitu (1) mengidentifikasi, memobilisasi, mengorganisir, mendorong, dan mengembangkan potensi serta kemampuan ekonomi anggota, kelompok usaha anggota muamalat (Pokusma) dan kerjanya; (2) mempertinggi kualitas SDM anggota dan Pokusma menjadi lebih professional dan islami sehingga semakin utuh dan tangguh menghadapi tantangan global; dan (3) menggalang dan mengorganisir potensi masyarakat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan anggota.
6)      Prinsip-prinsip utama BMT, yaitu
a)      Keimanan dan ketakwaan pada Allah SWT.dengan mengimplementasikan prinsip-prinsip syariah dan muamalah Islam ke dalam kehidupan nyata;
b)      Keterpaduan (kaffah) di mana nilai-nilai spiritual berfungsi mengarahkan dan menggerakkan etika dan moral yang dinamis, proaktif, progresif, adil, dan berakhlak mulia;
c)      Kekeluargaan (koorperatif);
d)     Kebersamaan;
e)      Kemandirian;
f)       Profesionalisme; dan
g)      Istimah: konsisten, kontinuitas/berkelanjutan tanpa henti dan tanpa pernah putus asa. Setelah mencapai suatu tahap, maju ketahap berikutnya, danhanya kepada Allah berharap.
7)      Ciri-ciri utama BMT, yaitu:
a)      Berorientasi bisnis, mencari laba bersama, meningkatkan pemanfaatan ekonomi paling banyak untuk anggota dan lingkungannya;
b)      Bukan lembaga sosial tetapi dapat dimanfaatkan untuk mengefektifkan penggunaan zakat, infak dan sedekah bagi kesejahteraan orang banyak;
c)      Ditumbuhkan dari bawah berlandaskan peran serta masyarakat disekitarnya.
d)     Milik bersama masyarakat kecil dan bawah dari lingkungan BMT itu sendiri, bukan milik orang seorang atau orang dari luar masyarakat itu.[18]




[1] Ahmad Ifham, Buku Pintar Ekonomi Syariah, (Jakarta: PT Gramedia, 2010), 46.
[2] Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, (Bandung: Erlangga, 1983), 56.
[3] Ahmad Ifham, Buku Pintar Ekonomi Syariah, (Jakarta: PT Gramedia, 2010), 141.
[4]Anas Hidayat dan Sobirin Malian, Sistem dan Prosedur Operasional Bank Syariah, (Yogyakarta: UII Press, 2000), 30.
[5] Dumairi Nor, et. al. Ekonomi Syariah Versi Salaf, (Pasuruan: Pustaka Sidogiri, 2012), 45
[6] Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, (Bandung: Erlangga, 1983), 52.
[7] Afnil Guza, Himpunan Undang-Undang  Perbankan Republik Indonesia, (Asa Mandiri, 2009), 35
[8] UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah pasal 1 poin ke 25
[9] http://bedoel03.blogspot.com/2013/04/analisis-faktor-faktor-penyebab.html. diakses pada 15-03-2015.
[10]Dana digunakan oleh nasabah tidak sesuai dengan peruntukan pembiayaan yang telah disepakati dalam perjanjian.
[11]Trisadini P. Usanti dan Abd. Shomad, Transaksi Bank Syariah, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2013), 102.
[12]Restrukturiasi pembiayaan adalah upaya yang dilakukan bank dalam rangka membantu nasabah agar dapat menyelesaikan kewajibannya.
[13]Trisadini P. Usanti dan Abd. Shomad, Transaksi Bank Syariah, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2013), 108
[14] Al-Qur’an, 2:276.
[15]Ibid., 2:280.
[16] Ibid., 2:286
[17] Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah (Jakarta: Kencana, 2009), 447
[18] Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah (Jakarta: Kencana, 2009), 448

No comments:

Post a Comment

>