KJIAN
TEORI
PENGARUH PANJANG-PENDEKNYA
ANGSURAN DALAM PEMBIAYAAN BAI’ BITSAMAN AJIL TERHADAP TERJADINYA KREDIT MACET
1. Angsuran
a. Pengertian
Angsuran
Angsuran adalah uang
yang dipakai untuk mengangsur (utang, pajak, dsb).[1]
b.
Jangka Waktu Angsuran Kredit
UUP 1967 ps 1d mengatur tentang jangka
waktu kredit. Ketentuan seperti ini tidak terdapat di dalam Bab XIII Buku III
KUH Perdata.
Jangka waktu
tersebut adalah sebagai berikut:
1) Kredit jangka pendek adalah kredit kredit
yang berjangka waktu maksimum satu tahun, dalam kredit jangka pendek juga
termasuk untuk tanaman musiman yang berjangka waktu lebih dari satu tahun.
2)
Kredit jangka menengah adalah kredit yang
berjangka waktu satu tahun sampai tiga tahun. Kecuali kredit untuk tanaman
musiman yang tersebut diatas.
3)
Kredit jangka panjang adalah kredit yang
berjangka waktu lebih dari tiga tahun.
Jangka waktu
kredit ini tidak bersifat absolut; kepada penerima kredit tetap diberi
kesempatan untuk memperpanjang jangka waktu tersebut.[2]
2. Pembiayaan
Bai’ bitsaman ajil
a. Pengertian
pembiayaan bai’ bitsaman ajil
Bai’ bitsaman
ajil (BBA) adalah jual beli dengan pembayaran tangguh, jual beli ini dapat
diterapkan untuk pembiayaan usaha maupun pembiayaan konsumtif lainnya yang
bersifat multiguna.[3]
Bai’ bitsaman
ajil adalah menjual dengan harga asal ditambah dengan margin keuntungan yang
telah disepakati dan bayar secara kredit.
Pembayaran harga
di dalam akad Bai’ (jual beli) bisa dilakukan di muka atau secara angsuran.
Bai’ semacam ini dikenal dengan nama Bai’ bitsaman ajil (BBA).
Dasar hukum:
“Dari
Shuhaib ra: bahwa Rasulullah saw bersabda tiga perkara didalamnya terdapat
keberkatan (1) menjual secara kredit, (2) Muqharadhah (nama lain dari
mudharabah), (3) mencampurkan tepung dengan gandum untuk kepentingan rumah dan
bukan umum untuk dijual”. (HR. Ibnu Majah, Shubhu Assalam 4/147)
Keterangan:
1)
Melihat definisi di atas bai’ bitsaman ajil
adalah second derivation atau
pengembangan dari murabahah. Hal ini
tampak jelas dari unsur waktu dalam pembayaran.
2)
Bentuk
usaha ini dapat diterapkan dalam:
a)
Proses pengadaan barang dari nasabah bank
b)
Pembiayaan
impor dari luar negeri
3) Dari sudut pandang fikih bank tidak ada
halangan untuk meminta kolateral dari nasabahnya atas suatu kredit tertentu.
Dalam konteks bai’ bitsaman ajil bank dapat menahan surat-surat transaksi sebagai jaminan sampai nasabah membayar lunas
seluruh kreditnya.
b.
Kaidah-kaidah
khusus yang berkaitan dengan bai bitsaman ajil
1)
Harga barang dengan transaksi bai’ bitsaman ajil
dapat ditentukan lebih tinggi daripada transaksi tunai. Namun, ketika harga
telah disepakati, tidak dapat dirubah lagi.
2)
Jangka
waktu pengembalian dan jumlah cicilan ditentukan berdasarkan musyawarah dan kesepakatan kedua belah pihak.
3)
Manakala
nasabah tidak dapat membayar tepat pada waktu yang telah disepakati maka bank
akan mencarikan jalan yang paling bijaksana. Jalan apapun yang ditempuh bank
tidak akan mengenakan sanksi atau melakukan repricing
dari akad yang sama.[4]
c. Contoh
kasus:
Bapak Fulan
bermaksud memiliki “gerobak dorong” untuk menjual bakso. Bapak Fulan
selanjutnya mengajukan pembiayaan kepada LKS dengan akad Bai’ Bitsaman Ajil (BBA) untuk tujuan di
atas. Maka akad Bai’ akad Bai’ bitsaman ajil adalah sebagai berikut:
1)
Harga gerobak dorong Rp. 2.000.000.
2)
Keuntungan (margin) yang disepakati Rp.300.000.
3)
Hutang bapak Fulan kepada LKS Rp. 2.300.000.
4)
Hutang tersebut harus dilunasi selama sepuluh
bulan dengan cara diangsur (Rp. 2.300.000 : 10 bulan = Rp.230.000/bulan).[5]
3. Kredit
Macet (Pembiayaan Bermasalah)
a. Pengertian
kredit
Kata
“kredit’ berasal dari bahasa Romawi “creader”
artinya percaya. Menurut UUP 1967 pasal 1c mengatakan arti “kredit” adalah
penyediaan uang atau tagihan-tagihan berdasarkan persetujuan simpan meminjam
antara bank dengan pihak lain dalam hal mana pihak peminjam berkewajiban
melunasi hutangnya setelah jangka waktu yang tertentu dengan jumlah bunga yang
telah ditetapkan.[6]
Dalam
perbankan atau lembaga keuangan syariah tidak mengenal istilah kredit tetapi
dikenal dengan istilah pembiayaan. Menurut UU NO.10 tahun 1998 tentang
perbankan menyatakan “Pembiayaan berdasarkan
Prinsip Syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan
itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang
mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut
setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.”[7]
Kemudian
dijelaskan lagi dalam UU no. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah pasal 1
poin ke 25 menjelaskan bahwa: Pembiayaan
adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa:
1) transaksi
bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah;
2) transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah
atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik;
3) transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah,
salam, dan istishna’;
4) transaksi pinjam meminjam dalam bentuk
piutang qardh; dan
5) transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk
ijarah untuk transaksi multijasa
Berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syariah dan/atau UUS dan pihak lain
yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk
mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah,
tanpa imbalan, atau bagi hasil.[8]
b. Pengertian
Kredit Macet (Pembiayaan Bermasalah)
Pembiayaan bermasalah adalah suatu penyaluran dana yang dilakukan oleh
lembaga pembiayaan seperti bank syariah yang dalam pelaksanaan pembayaran
pembiayaan oleh nasabah itu terjadi hal-hal seperti pembiayaan yang tidak
lancar, pembiayaan yang debiturnya tidak memenuhi persyaratan yang dijanjikan, serta
pembiayaan tersebut tidak menepati jadwal angsuran. Sehingga hal-hal tersebut
memberikan dampak negative bagi kedua belah pihak (debitur dan kreditur).
Pembiayaan bermasalah
merupakan salah satu dari resiko dalam suatu pelaksanaan pembiayaan. Adiwarman
A. Karim menjelaskan bahwa resiko pembiayaan merupakan resiko yang disebabkan
oleh adanya counterparty dalam memenuhi kewajibannya. Dalam bank syariah,
resiko pembiayaan mencakup resiko terkait produk dan resiko terkait dengan
pembiayaan korporasi.[9]
c. Faktor-Faktor
Penyebab Kredit Macet (Pembiayaan Bermasalah)
1) Faktor
internal (berasal dari pihak bank)
a) Kurang
baiknya pemahaman atas bisnis nasabah.
b) Kurang
dilakukan evaluasi keuangan nasabah.
d) Perhitungan
modal kerja tidak didasarkan kepada bisnis usaha nasabah.
e) Proyeksi
penjualan terlalu optimis.
f) Proyeksi
penjualan tidak memperhitungkan kebiasaan bisnis dan kurang memperhitungkan
aspek competitor.
g) Aspek
jaminan tidak diperhitungkan aspek marketable.
h) Lemahnya
supervisi dan monitoring.
i)
Terjadinya erosi mental: kondisi ini dipengaruhi
timbal balik antara nasabah dengan pejabat bank sehingga mengakibatkan proses
pemberian pembiayaan tidak didasarkan pada praktik perbankan yang sehat.
2) Faktor
eksternal (berasal dari pihak luar).
a) Karakter
nasabah tidak amanah (tidak jujur dalam memberikan informasi dan laporan
tentang kegiatannya).
b) Melakukan
sidestresming penggunaan dana.
c) Kemampuan
pengelolaan nasabah tidak memadai sehingga kalah dalam persaingan usaha.
d) Usaha
yang dijalankan relatif baru.
e) Bidang
usaha nasabah telah jenuh.
f) Tidak
mampu menanggulangi masalah/kurang menguasai bisnis.
g) Meninggalnya
key person.
h) Perselisian
sesama direksi.
i)
Terjadi bencana alam.
j)
Adanya kebijakan pemerintah: peraturan suatu
produk atau sektor ekonomi atau industri dapat berdampak positif maupun negatif
bagi perusahaan yang berkaitan dengan industri tersebut.[11]
d. Penyelesaian
Kredit Macet (Pembiayaan Bermasalah)
Bank
syariah dalam memberikan pembiayaan berharap bahwa pembiayaan tersebut berjalan
dengan lancar, nasabah mematuhi apa yang telah desepakati dalam perjnjian dan
menbayar lunas bilamana jatuh tempo. Akan tetapi, bias terjadi dalam jangka
waktu pembiayaan nasabah mengalami kesulitan dalam pembayaran yang berakibat
kerugian bagi bank syariah. Dalam hukum perdata kewajjiban memenuhi prestasi
harus dipenuhi oleh debitur sehingga jika debitur tidak memenuhi sesuatu yang
diwajibkan, seperti yang telah ditetapkan dalam perjanjian maka dikatakan
debitur telah melakukan wanprestasi. Ada empat keadaan dikatakan
wanprestasi, yaitu:
1) Debitur
tidak memenuhi prestasi sama sekali,
2) Debitur
memenuhi prestasi tidak sebagaimana yang diperjanjikan,
3) Debitur
terlambat memenuhi prestasi, dan
4) Debitur
melakukan perbuatan yang tidak diperbolehkan dalam perjanjian.
Setiap
terjadi pembiayaan bermasalah maka bank syariah akan berupaya untuk
menyelamatkan pembiayaan berdasarkan PBI No. 13/9/PBI/2011 tentang perubahan
atas PBI No. 10/18/PBI/2008 tentang Restrukturisasi Pembiayaan Bagi Bank Syariah
dan Unit Usaha Syariah maka bank syariah, yaitu:[12]
1) Penjadwalan
kembali (rescheduling), yaitu
perubahan jadwal pembayaran kewajiban nasabah atau jangka waktunya, dan
2) Persyaratan
kembali (reconditioning), yaitu
perubahan sebagian atau seluruh persyaratan pembiayaan tanpa menambah sisa
pokok kewajiban nasabah yang harus dibayarkan kepada bank, antara lain
meliputi:
a) Pengurangan
jadwal pembayaran,
b) Perubahan
jumlah angsuran,
c) Perubahan
jangka waktu, dan
d) Perubahan
nisbah dalam pembiayaan mudharabah atau
musyarakah.
e) Perubahan
proyeksi bagi hasil dalam pembiayaan mudharabah
atau musyarakah, dan atau
f) Pemberian
potongan.
3) Penataan
kembali (restructuring), yaitu
perubahan persyaratan pembiayaan yang antara lain meliputi:
a) Penambahan
dana fasilitas pembiayaan bank,
b) Konversi
akad pembiayaan,
c) Konversi
pembiayaan menjadi surat berharga syariah berjangka waktu,
d) Konversi
pembiayaan menjadi penyertaan modal sementara pada perusahaan nasabah yang
dapat disertai dengan rescheduling atau
reconditioning.
Bank
hanya dapat melakukan restrukturisasi pembiayaan terhadap nasabah yang memenuhi
kriteria sebagai berikut:
1) Nasabah
telah atau diperkirakan telah mengalami penurunan atau kesulitan kemampuan
dalam pembayaran dan/atau pemenuhan kewajibannya.
2) Nasabah
memiliki prospek usaha yang baik dan mampu memenuhi kewajiban setelah
direstrukturiasi.
Pada
pembiayaan murabahah, bank syariah dapat melakukan penjadwalkan kembali (rescheduling) tagihan murabahah bagi
nasabah yang tidak bias menyelesaikan/melunasi pembiayaannya suatu jumlah dan waktu
yang telah disepakati dengan ketentuan:
1) Tidak
menambah jumlah tagihan yang tersisa,
2) Pembebanan
biaya dalam proses penjadwalan kembali adalah biaya riil, dan
3) Perpanjangan
masa pembayaran harus berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.
Memberikan
potongan dari total kewajiban pembayaran dan konversi akad murabahah yang
dilaksanakan sesuai dengan fatwa DSN yang berlaku. Pada fatwa DSN
No.49/DSN-MUI/II/2005 tentang Konversi Akad Murabahah, bahwa LKS dapat
melakujan konversi dengan membuat akad baru bagi nasabah yang tidak bias
menyelesaikan/melunasi pembiayaan murabahahnya sesuai jumlah dan waktu yang
telah disepakati, tetapi ia masih prospektif dengan ketentuan akad murabahah
dihentikan dengan cara:
1) Objek
murabahah dijual oleh nasabah kepada LKS dengan harga pasar,
2) Nasabah
melunasi sisa hutangnya kepada LKS dari hasil penjualan,
3) Apabila
hasil penjualan melebihi sisa hutang maka kelebihan itu dapat dijadikan uang
muka untuk akad ijarah atau bagian modal dari mudharabah dan musyarakah, dan
4) Apabila
hasil penjualan lebih kecil dari sisa hutang maka sisa hutang tetap menjadi
hutang nasabah yang cara pelunasannya disepakati antara LKS dengan nasabah.[13]
Adapun
landasan syariah yang mendukung upaya restrukturisasi pembiayaan dalam surat
“Al Baqarah (2):276: “Allah memusnahkan
riba dan menyuburkan sedekah dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap
dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa.”[14]
Dalam
surat Al Baqarah (2):280: “Dan jika
(orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapan.
dan menyedekahkan (sebagian atau semua hutang) itu lebih baik bagimu, jika kamu
mengetahui.”[15]
Dalam
surat Al Baqarah (2):286: “Allah tidak
membebani seseoramg melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala
(atas kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang
dikerjakannya.”[16]
Dari
kutipan ayat Al-Quran di atas, selalu digaris bawahi pentingnya sedekah dan
tuntunan akan perlunya toleransi terhadap nasabah jika sedang mengalami
kesulitan (dalam arti sebenar-benarnya) membayar kewajibannya.
Hadits
Nabi riwayat Muslim: “Orang yang
melepaskan seorang muslim dari kesulitannya di didunia, Allah akan melepaskan
kesulitannya di hari kiamat; dan Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama ia
(suka) menolong saudaranya,”
4. Baitul
Mal wat Tamwil
a.
Pengertian Baitul Mal wat Tamwil
BMT
adalah kependekan kata Balai Usaha Mandiri Terpadu atau Baitul Mal wat Tamwil,
yaitu lembaga keuangan mikro (LKM) yang beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip
syariah. BMT sesuai namanya terdiri dari dua fungsi utama, yaitu:
1)
Baitul
tamwil (rumah pengembangan harta), melakukan kegiatan pengembangan
usaha-usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas ekonomi
pengusaha mikro dan kecil dengan antara lain mendorong kegiatan menabung dan
menunjang pembiayaan kegiatan ekonomi.
2)
Baitul mal
(rumah harta), menerima titipan dana zakat, infak dan sedekah serta serta
mengoptimalkan distribusinya sesuai dengan peraturan dan amanahnya.
Baitul mal wat
tamwil (BMT) adalah balai usaha mandiri terpadu yang isinya berintikan bayt al-mal wa al-tamwil dengan kegiatan
mengembangkan usaha-usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas
kegiatan ekonomi pengusaha kecil bawah dan kecil dengan antara lain mendorong
kegiatan menabung dan menunjang pembiayaan kegiatan ekonominya. Selain itu,
Baitul Mal wat Tamwil juga bisa menerima titipan zakat, infak, dan sedekah,
serta menyalurkannya sesuai dengan peraturan dan amanatnya.[17]
b.
Profil Baitul mal wat tamwil (BMT)
Secara umum
profil BMT dapat dirangkum dalam butir-butir berikut:
1) Tujuan BMT, yaitu meningkatkan kualitas
usaha ekonomi untuk kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada
umumnya.
2)
Sifat BMT, yaitu memiliki usaha bisnis yang
bersifat mandiri, ditumbuhkembangkan dengan swadaya dan dikelola secara
professional serta berorientasi untuk kesejahteraan anggota dan masyarakat
lingkungannya.
3)
Visi BMT, yaitu menjadi lembaga keuangan yang
mandiri, sehat dan kuat, yang yang kualitas ibadah anggotanya meningkat
sesemikian rupa sehingga mampu berperan menjadi wakil pengabdi allah
memakmurkan kehidupan anggota pada khususnya dan umat manusia pada umumnya.
4)
Misi BMT, yaitu mewujudkan gerakan pembebasan
anggota dan masyarakat dari belenggu rentenir, jerat kemiskinan dan ekonomi
ribawi, gerakan pemberdayaan meningkatkan kapasitas dalam kegiatan ekonomi rill
dan kelembagaannya menuju tatanan perekonomian yang makmurdan maju dan gerakan
keadilan membangun struktur masyarakat madani yang adil dan berkemakmuran berkemajuan, serta
makmur maju berkeadilan berlandaskan syariah dan rida Allah SWT.
5)
Fungsi BMT, yaitu (1) mengidentifikasi,
memobilisasi, mengorganisir, mendorong, dan mengembangkan potensi serta
kemampuan ekonomi anggota, kelompok usaha anggota muamalat (Pokusma) dan
kerjanya; (2) mempertinggi kualitas SDM anggota dan Pokusma menjadi lebih
professional dan islami sehingga semakin utuh dan tangguh menghadapi tantangan
global; dan (3) menggalang dan mengorganisir potensi masyarakat dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan anggota.
6)
Prinsip-prinsip utama BMT, yaitu
a)
Keimanan dan ketakwaan pada Allah SWT.dengan
mengimplementasikan prinsip-prinsip syariah dan muamalah Islam ke dalam
kehidupan nyata;
b)
Keterpaduan (kaffah)
di mana nilai-nilai spiritual berfungsi mengarahkan dan menggerakkan etika dan
moral yang dinamis, proaktif, progresif, adil, dan berakhlak mulia;
c)
Kekeluargaan (koorperatif);
d)
Kebersamaan;
e)
Kemandirian;
f)
Profesionalisme; dan
g)
Istimah: konsisten, kontinuitas/berkelanjutan
tanpa henti dan tanpa pernah putus asa. Setelah mencapai suatu tahap, maju
ketahap berikutnya, danhanya kepada Allah berharap.
7)
Ciri-ciri utama BMT, yaitu:
a)
Berorientasi bisnis, mencari laba bersama,
meningkatkan pemanfaatan ekonomi paling banyak untuk anggota dan lingkungannya;
b)
Bukan lembaga sosial tetapi dapat dimanfaatkan
untuk mengefektifkan penggunaan zakat, infak dan sedekah bagi kesejahteraan
orang banyak;
c)
Ditumbuhkan dari bawah berlandaskan peran serta
masyarakat disekitarnya.
d)
Milik bersama masyarakat kecil dan bawah dari
lingkungan BMT itu sendiri, bukan milik orang seorang atau orang dari luar
masyarakat itu.[18]
[1]
Ahmad Ifham, Buku Pintar Ekonomi Syariah,
(Jakarta: PT Gramedia, 2010),
46.
[2]
Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian
Kredit Bank, (Bandung: Erlangga, 1983), 56.
[3]
Ahmad Ifham, Buku Pintar Ekonomi Syariah,
(Jakarta: PT Gramedia, 2010), 141.
[4]Anas Hidayat dan Sobirin Malian, Sistem dan Prosedur Operasional Bank
Syariah, (Yogyakarta: UII Press, 2000), 30.
[5]
Dumairi Nor, et. al. Ekonomi Syariah
Versi Salaf, (Pasuruan: Pustaka Sidogiri, 2012), 45
[6]
Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian
Kredit Bank, (Bandung: Erlangga, 1983), 52.
[7]
Afnil Guza, Himpunan Undang-Undang Perbankan Republik Indonesia, (Asa
Mandiri, 2009), 35
[8]
UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah pasal 1 poin ke 25
[9]
http://bedoel03.blogspot.com/2013/04/analisis-faktor-faktor-penyebab.html. diakses pada 15-03-2015.
[10]Dana
digunakan oleh nasabah tidak sesuai dengan peruntukan pembiayaan yang telah
disepakati dalam perjanjian.
[11]Trisadini
P. Usanti dan Abd. Shomad, Transaksi Bank
Syariah, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2013), 102.
[12]Restrukturiasi
pembiayaan adalah upaya yang dilakukan bank dalam rangka membantu nasabah agar
dapat menyelesaikan kewajibannya.
[13]Trisadini
P. Usanti dan Abd. Shomad, Transaksi Bank
Syariah, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2013), 108
[14]
Al-Qur’an, 2:276.
[15]Ibid.,
2:280.
[16]
Ibid., 2:286
[17]
Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan
Syariah (Jakarta: Kencana, 2009), 447
[18]
Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan
Syariah (Jakarta: Kencana, 2009), 448
No comments:
Post a Comment