BERBAGI ILMU

Translate

close

Monday, June 15, 2015

Pandangan Agama Islam Terhadap Beberapa Masalah di keperawatan

Prodi Keperawatan
Mata Kuliah AGAMA




Pandangan Agama Islam Terhadap Beberapa Masalah

1.      Cloning dan bayi tabung

a.      Cloning

Adapun hukum kloning manusia, meskipun hal ini belum terjadi, tetapi para pakar mengatakan bahwa keberhasilan kloning sesungguhnya merupakan pendahuluan bagi keberhasilan kloning manusia.Kloning manusia dapat berlangsung dengan adanya laki-laki dan perempuan dalam prosesnya. Kloning manusia dapat pula berlangsung di antara perempuan saja, tanpa memerlukan kehadiran laki-laki. Proses ini dilaksanakan dengan mengambil sel dari tubuh seorang perempuan. Kemudian inti selnya diambil dan digabungkan dengan sel telur perempuan yang telah dibuang inti selnya. Untuk proses selanjutnya dapat melihat tulisan sebelumnya yang berjudul “Mengenal Kloning”.

Kloning yang dilakukan pada laki-laki atau perempuan –baik yang bertujuan untuk
memperbaiki kualitas keturunan dengan menghasilkan keturunan yang lebih cerdas, lebih kuat, lebih sehat dan lebih rupawan, maupun yang bertujuan untuk memperbanyak keturunan guna meningkat jumlah penduduk suatu bangsa atau negara itu lebih kuat- seandainya benar terwujud, maka sungguh akan menjadi bencana dan biang kerusakan bagi dunia. Kloning ini haram menurut syari’at Islam dan tidak boleh dilakukan.

Dalil-dalil keharamannya adalah sebagai berikut:
1.      Anak-anak produk proses kloning tersebut dihasilkan melalui cara yang tidak alami.Padahal justru cara alami itulah yang telah ditetapkan oleh Allah untuk manusia dan dijadikan-Nya sebagai sunatullah untuk menghasilkan anak-anak dan keturunan. Allah berfirman, “dan bahwasanya Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan laki-laki dan perempuan, dari air mani, apabila dipancarkan.” (QS An-Najm (53):45-46)
Allah berfirman, “Bukankah dia dahulu setetes mani yang ditumpahkan (ke dalam rahim), kemudian mani itu menjadi segumpal darah, lalu Allah menciptakannya, dan menyempurnakannya.” (QS Al-Qiyâmah (75):37-38)
2.      Anak-anak produk kloning dari perempuan saja (tanpa adanya laki-laki), tidak akan mempunyai ayah. Dan anak produk kloning tersebut jika dihasilkan dari proses pemindahan sel telur –yang telah digabungkan dengan inti sel tubuh- ke dalam rahim perempuan yang bukan pemilik sel telur-, tidak pula akan mempunyai ibu. Sebab rahim perempuan yang menjadi tempat pemindahan sel telur tersebut hanya menjadi penampung, tidak lebih. Ini merupakan tindakan menyia-nyiakan manusia, sebab dalam kondisi ini tidak terdapat ibu dan ayah. Hal ini bertentangan dengan firman Allah Swt; “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan.” (QS Al-Hujurat (49):13)  Juga bertentangan dengan firman Allah Swt; “Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka.” (QS Al-Ahdzab (33):5)
3.   Kloning manusia akan menghilangkan nasab (garis keturunan). Padahal Islam telah mewajibkan pemeliharaan nasab. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra., yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw telah bersabda, ”Siapa saja yang menghubungkan nasab kepada orang yang bukan ayahnya, atau (seorang budak) bertuan (loyal/taat) kepada selain tuannya, maka dia akan mendapat laknat dari Allah para malaikat dan seluruh manusia.” (HR Ibnu Majah) Diriwayatkan dari Abu Utsman An-Nahri ra yang berkata, ”Aku mendengar Sa’ad dan Abu Bakrah masing-masing berkata, ”Kedua telingaku telah mendengar dan hatiku telah menghayati sabda Muhammad Saw, ”Siapa saja yang mengaku-ngaku (sebagai anak) kepada orang yang bukan bapaknya, padahal dia tahu bahwa orang itu bukan bapaknya, maka surga baginya haram.” (HR Ibnu Majah)

4.   Memproduksi anak melalui proses kloning akan mencegah pelaksanaan banyak hukum-hukum syara’, seperti hukum tentang perkawinan, nasab, nafkah, hak dan kewajiban antara bapak dan anak, waris, perawatan anak, hubungan kemahraman, hubungan ’ashabah dan lain-lain. (arnab) (dikutip dari buku Beberapa Problem Kontemporer Dalam Pandangan Islam karya Abdul Qadim Zallum, cet. Pertama Juni 1998 M).

b.      Bayi Tabung

 Hukum Bayi Tabung
            Apabila mengkaji tentang bayi tabung dari hukum islam,maka harus dikaji dengan memakai metode ijtihad yang lazim dipakai oleh para ahli ijtihad agar hukum ijtihadnya sesuai dengan prinsip-prinsip dan jiwa al-Quran dan sunnah menjadi pasanagan umat islam.Bayi Tabung dilakukan apabila dilakukan dengan sel sperma dan ovum suami istri sendiri dan tidak ditransfer embrionya kedalam rahim wanita lain termasuk istrinya sendiri yang lain(bagi suami yang berpoligami),maka islam membenarkan,baik dengan cara mengambil sperma suami,kemudian disuntikkan kedalam vagina atau uterus istri,maupun dengan cara pembuahan dilakukan diluar rahim,kemudian buahnya ditanam kedalam rahim istri,asal keadaan kondisi suami istri yang bersangkutan benar-benar memerlukan cara inseminasi buatan untuk memperoleh anak,karena dengan cara pembuahan alami,suami istri tidak berhasil memperoleh anak.
            Menurut Al-Qur’an Surat Al-Isra ayat 70
Artinya:Dan sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam,Kami angkut mereka didaratan dan lautan,Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.
            Inseminasi buatan endahngan donor itu pada hakikatnya merendahkan harkat manusia sejajar dengan hewan yang di inseminasi.
Hadist Nabi:
Tidak halal bagi seseorang yang beriman pada Allah dan hari Akhir menyiramkan airnya (sperma) pada tanaman orang lain(vagina  istri orang lain).Hadist Riwayat Abu Daud,Al-Tirmizi dan hadist ini dipandang sahih oleh Ibnu Hibban.
Dengan hadist ini para ulama sepakat mengharamkan seseorang mengawini/melakukan hubungan seksual dengan wanita hamil dari orang lain yang mempunyai ikatan perkawinan yang sah.
Pada zaman dulu masalah bayi tabung/inseminasi buatan belum timbul,sehingga kita tidak memperoleh fatwa hukumnya dari mereka.Kita dapat menyadari bahwa inseminasi buatan / bayi tabung dengan donor sperma atau ovum lebih mendatangkan madaratnya daripada maslahahnya.
Manfaat Dan Akibat Dari Bayi Tabung
·      Maslahahnya dari bayi tabung adalah bias membantu pasangan suami istri yang keduanya atau salah satu nya mandul atau ada hambatan alami pada suami atau istri menghalangi bertemunya sel sperma dan sel telur.Misalnya karena tuba falopii terlalu sempit atau ejakulasinya terlalu lemah.Namun akibat(mafsadah) dari bayi tabung adalah: Percampuran Nasab,padahal Islam sangat menjaga kesucian / kehormatan kelamin dan kemurnian nasab,karena ada kaitannya dengan kemahraman (siapa yang halal dan haram dikawini) dan kewarisan.
·      Bertentangan dengan sunnatullah atau hukum alam.
·      Inseminasi pada hakikatnya sama dengan prostitusi/ zina karena terjadi percampuran sperma dengan ovum tanpa perkawinan yang sah.
·      Kehadiran anak hasil inseminasi  buatan bisa menjadi sumber konflik didalam rumah tangga terutama bayi tabung dengan bantuan donor merupakan anak yang sangat unik yang bisa berbeda sekali bentuk dan sifat-sifat fisik dan karakter/mental si anak dengan bapak ibunya.
·      Anak hasil inseminasi buatan/bayi tabung yang percampuran nasabnya terselubung dan sangat dirahasiakan donornya adalah lebih jelek daripada anak adopsi yang pada umumnya diketahui asal dan nasabnya.
·      Bayi tabung lahir tanpa proses kasih sayang yang alami terutama pada bayi tabung lewat ibu titipan yang harus menyerahkan bayinya pada pasangan suami istri yang punya benihnya,sesuai dengan kontrak,tidak terjalin hubungan keibuan anatara anak dengan ibunya secara alami

Surat Al-Lugman ayat 14
Mengenai status anak hasil inseminasi dengan donor sperma atau ovum menurut hukum islam adalah tidak sah dan statusnya sama dengan anak hasil prostitusi.UU Perkawinan pasal 42 No.1/1974:”Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”maka memberikan pengertian bahwa bayi tabung dengan bantuan donor dapat dipandang sah karena ia terlahir dari perkawinan yang sah.Tetapi inseminasi buatan dengan sperma atau ovum donor tidak di izinkan karena tidak sesuai dengan Pancasila,UUD 1945 pasal 29 ayat 1.
      Asumsi Menteri Kesehatan bahwa masyarakat Indonesia termasuk kalangan agama nantinya bias menerima bayi tabung seperti halnya KB.Namun harus diingat bahwa kalangan agama bias menerima KB karena pemerintah tidak memaksakan alat/cara KB yang bertentangan dengan agama.Contohnya : Sterilisasi,Abortus.Oleh karena itu pemerintah diharapkan mengizinkan praktek bayi tabung yang tidak bertentangan dengan agama.
Macam Proses Bayi Tabung
      Pembuahan Dipisahkan dari Hubungan Suami-Isteri.
Teknik bayi tabung memisahkan persetubuhan suami – istri dari pembuahan bakal anak. Dengan teknik tersebut, pembuahan dapat dilakukan tanpa persetubuhan. Keterarahan perkawinan kepada kelahiran baru sebagaimana diajarkan oleh Gereja tidak berlaku lagi. Dengan demikian teknik kedokteran telah mengatur dan menguasai hukum alam yang terdapat dalam tubuh manusia pria dan wanita. Dengan pemisahan antara persetubuhan dan pembuahan ini, maka bisa muncul banyak kemungkinan lain yang menjadi akibat dari kemajuan ilmu kedokteran di bidang pro-kreasi manusia.
      Wanita Sewaan untuk Mengandung Anak.
Ada kemungkinan bahwa benih dari suami – istri tidak bisa dipindahkan ke dalam rahim sang istri, oleh karena ada gangguan kesehatan atau alasan – alasan lain. Dalam kasus ini, maka diperlukan seorang wanita lain yang disewa untuk mengandung anak bagi pasangan tadi. Dalam perjanjian sewa rahim ini ditentukan banyak persyaratan untuk melindungi kepentingan semua pihak yang terkait. Wanita yang rahimnya disewa biasanya meminta imbalan uang yang sangat besar. Suami – istri bisa memilih wanita sewaan yang masih muda, sehat dan punya kebiasaan hidup yang sehat dan baik. praktik seperti ini biasanya belum ada ketentuan hukumnya, sehingga kalau muncul kasus bahwa wanita sewaan ingin mempertahankan bayi itu dan menolak uang pembayaran, maka pastilah sulit dipecahkan.
      Sel Telur atau Sperma dari Seorang Donor.
Masalah ini dihadapi kalau salah satu dari suami atau istri mandul; dalam arti bahwa sel telur istri atau sperma suami tidak mengandung benih untuk pembuahan. Itu berarti bahwa benih yang mandul itu harus dicarikan penggantinya melalui seorang donor.
Masalah ini akan menjadi lebih sulit karena sudah masuk unsur baru, yaitu benih dari orang lain. Pertama, apakah pembuahan yang dilakukan antara sel telur istri dan sel sperma dari orang lain sebagai pendonor itu perlu diketahui atau disembunyikan identitasnya. Kalau wanita tahu orangnya, mungkin ada bahaya untuk mencari hubungan pribadi dengan orang itu. Ketiga, apakah pria pendonor itu perlu tahu kepada siapa benihnya telah didonorkan. Masih banyak masalah lain lagi yang bisa muncul.
      Munculnya Bank Sperma
Praktik bayi tabung membuka peluang pula bagi didirikannya bank – bank sperma. Pasangan yang mandul bisa mencari benih yang subur dari bank – bank tersebut. Bahkan orang bisa menjual – belikan benih – benih itu dengan harga yang sangat mahal misalnya karena benih dari seorang pemenang Nobel di bidang kedokteran, matematika, dan lain-lain. Praktek bank sperma adalah akibat lebih jauh dari teknik bayi tabung. Kini bank sperma malah menyimpannya dan memperdagangkannya seolah – olah benih manusia itu suatu benda ekonomis.
Tahun 1980 di Amerika sudah ada 9 bank sperma non – komersial. Sementara itu bank – bank sperma yang komersil bertumbuh dengan cepat. Wanita yang menginginkan pembuahan artifisial bisa memilih sperma itu dari banyak kemungkinan yang tersedia lengkap dengan data mutu intelektual dari pemiliknya. Identitas donor dirahasiakan dengan rapi dan tidak diberitahukan kepada wanita yang mengambilnya, kepada penguasa atau siapapun.
      Masalah Orang Tua Anak Hasil Bayi Tabung atau Legaltas Bayi Tabung
Bayi yang benihnya berasal dari pasangan suami – istri namun dikandung dan dilahirkan oleh wanita sewaan dapat menimbulkan persoalan siapakah orang tua dari bayi itu. Bisa dikatakan bahwa bayi orang tua itu adalah pasangan yang memiliki benih tadi. Tetapi wanita sewaan juga telah menyumbangkan darah dan dagingnya selama mengandung bayi tersebut. Sudah pernah terjadi bahwa seorang wanita sewaan tidak mau mengembalikan bayi yang telah dikandung dan dilahirkannya. Orang tua bayi tersebut menuntut di pengadilan, namun hukum yang dipakai untuk menyelesaikan masalah tersebut belum dibuat.
Kalau benih diambil dari seorang donor, maka timbul persoalan juga tentang siapakah orang tua bayi itu. Secara biologis orang tua bayi itu adalah donor yang telah memberikan benihnya, tetapi secara legal, orang tua anak itu adalah orang tua yang menerima dan membesarkannya dalam keluarga. Mana yang disebut orang tua? Orangtua biologis atau orang tua legal. Sebelum ada teknik bayi tabung, maka orang tua biologis adalah orang tua legal.







2.      Transfusi darah dan transplantasi organ tubuh
1.       Pengertian
Transfuse darah adalah penginjeksian darah dari seseorang (yang disebut donor) ke dalam system peredaran darah seseorang yang lain (yang disebut resepien). Transfuse darah tidak pernah terjadi kecuali setelah ditemukannya sirkulasi darah yang tidak pernah berhenti dalam tubuh.
Ada empat golongan darah yang utama, yaitu A, B, AB dan O.
2.       Hukum Islam
Al Quran dan sunnah tidak membahas masalah transfuse darah. Tetapi, menurut berbagai prinsip dan ajaran umum yang terdapat dalam sumber-sumber orisinil islam, darah yang mengalir (dam masfuh) selalu dianggap sebagai benda najis. Selain itu, islam melarang para pemeluknya untuk mengkonsumsi darah. Diantara makanan yang di kategorikan haram di konsumsi yang disebut dalam Al quran adalah dam masfuh yang artinya arah yang mengalir, dan dalam Firman Allah SWT dalam surat Al-An’am 6:145 yang artinya : Katakan (Hai Muhammad) : Aku tidak menemukan dalam apa yang telah diwahyukan kepadaku sesuatu yang terlarang untuk dimakan oleh seseorang yang ingin memakannya, kecuali daging bangkai, atau darah yang mengalir, atau daging babi…...

A. Penolakan terhadap transfusi darah

Menurut pandangan almarhum Mufti Syafi transfusi darah merupakan suatu yang haram, karena:
1.       Darah sebagai bagian dari tubuh manusia : darah merupakan bagian tubuh manusia, maka pengambilan dan pentransfusiannya ke dalam system peredaran darah orang lain bisa disamakan dengan upaya mengubah takdir manusia, karenanya dilarang.
2.       Darah sebagai benda najis : darah yang diambil dari tubuh seseorang pada dasarnya adalah najis.

B.   Kelenturan peraturan hukum menurut beberapa tokoh
1.       Menurut Mufti Syafi
Mufti Syafi menetapkan bahwa dengan mempertimbangkan kelonggaran dan kemudahan yang diberikan syariat bagi kondisi-kondisi luar biasa yaitu yang mengancam jiwa, dan bagi upaya pengobatan, maka transfuse darah hukumnya boleh (ja’iz). Pada penjelasan yang lain Muft Syafi menerangkan bahwa darah diambil dengan jarum, tanpa mengiris bagian tubih manapun lalu di transfusikan kedalam tubuh orang lain untuk memperpanjang hidupnya.
Muft Syafi juga berpendapat bahwa meskipun darah termasuk benda najis, namun mendonorkan darah untuk di transfusikan pada orang lain hukumnya adalah boleh atas dasar keterdesakan, dan hal ini termasuk dalam kategori memanfaatkan benda terlarang sebagai obat. Pembolehan ini, kata dia, harus dibatasi menurut ketentuan-ketentuan berikut:
a) Transfuse darah hanya boleh dilakukan jika ada kebutuhan yang mendesak untuk itu.
b) Transfuse darah juga boleh dilakukan ketika tidak membahayakan nyawa si pasien tetapi, dalam pandangan dokter yang berkompeten, pasien tidak mungkin disembuhkan tanpa transfuse darah
c) Jika memungkinkan, lebih baik untuk memilih cara yang tidak melibatkan transfuse darah
d) Transfuse darah tidak di perbolehkan jika tujuannya hanya untuk peningkatan kesehatan

2.       Menurut Syekh Ahmad Fahmi Abu Sinnah
Pengambilan darah dari tubuh donor dan pentransfusiannya ke dalam tubuh resepien sama sekali tidak merusak martabat manusia. Justru tindakan semacam ini dapat meningkatkan martabat manusia, Karena menolong sesame manusia adalah sesuatu yang mulia, apalagi menolong orang yang terancam jiwanya.
Hak seseorang atas darahnya menjadi hilang tatkala ia menyetujui untuk mendonorkannya. Namun, hokum islam melarang seseorang untuk mendonorkan darahnya bila tindakannya itu bisa berakibat buruk pada keselamatan dan kesehatannya. Jadi syarat-syarat berikut ini harus terpenuhi, yaitu :
a) Donor secara ikhlas berniat mendonorkan darahnya
b) Tidak ada bahaya serius yang mengancam jiwa atau kesehatan donor akibat transfuse itu.
c) Harus sudah dipastikan bahwa tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan nyawa resipien kecuali dengan transfusi
d) Derajat keberhasilan melalui cara pengobatan ini diperkirakan tinggi.

3.       Menurut Dr. Abd al-Salam al-Syukri
Transfuse darah merupakan praktik yang diperbolehkan dan bergantung pada hal-hal berikut :
a) Donor tidak boleh menuntut imbalan financial dalam bentuk apapun.
b) Hidup donor sama sekali tidak terganggu setelah darah tidak diambil dari tubuhnya.
c) Donor harus bebas dari segala macam penyakit menular, dan ia tidak menderita kecanduan sesuatu.

4.       Menurut Syekh Jad al-Haqq
Syariat memperbolehkan mengambil manfaat dari tubuh seseorang seperti darah dan mentransfusikannya pada tubuh orang lain sebagai sebuah cara pengobatan, dengan syarat bahwa tidak ada lagi cara pengobatan lain yang bisa di tempuh.

C. Jenis-jenis pendonor dan hukumnya

Richard M. Titmus, mengidentifikasi delapan tipe donor. Ringkasan mengenai masing-masing tipe donor berikut ini akan memperkuat pandangan tersebut, antara lain :

1.       Donor bayaran : motif utama donor tipe ini adalah sekedar menjual darahnya dengan harga pasaran. Ia melakukannya sebagai alternative untuk mendapatkan uang.
2.       Donor professional : orang yang memang terdaftar sebagai donor, dan menyumbangkan darahnya secara rutin. Di samping di bayar, mereka tiap minggu atau setiap bulan juga menerima kompensasi berupa suplemen zat besi harian.
3.       Donor yang dibayar dan dibujuk : donor ini dibayar atas derma darah yang telah ia berikan. Donor darah yang ia lakukan bukan karena dorongan pribadi, melainkan karena desakan kelompok di tempat ia bekerja atau di masyarakat.
4.       Donor bayar hutang : orang yang telah menerima transfuse darah dan diharuskan mengganti apa yang telah ia terima itu dengan darah dan uang. Atau orang yang dikenai kewajiban untuk mendonorkan darahnya karena ia berhutang darah pada waktu sakit. Untuk setiap kantong darah yang pernah ia terima, ia harus mengganti dengan dua atau tiga kantong darah.
5.       Donor kredit keluarga : orang yang setiap tahunnya mendonorkan satu pint (0,568 liter) darahnya untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan darah bagi diri dan keluarganya di masa depan.
6.       Donor wajib sukarela : para tentara dan penghuni penjara. Para tentara biasanya diwajibkan untuk secara sukarela menyumbangkan darahnya. Sebagai imbalannya, mereka di bayar atau bisa juga diberi imbalan lain seperti cuti tambahan. Para penghuni penjara uga di bayar atas darah yang merekasumbangkan dan kadang-kadang mereka juga diberi remisi masa hukuman.
7.       Donor suka rela terbatas : kompensasi kesejahteraan yang ditawarkan oleh pemerintah. Di antara kompensasi itu adalah gaji penuh pada hari-hari libur dan liburqan gratis.
8.       Donor sukarela kemasyarakatan : donor ini dianggap sebagai satu-satunya donor sejati, karena ia menyumbangkan darah secara cuma-Cuma pada orang lain, baik yangia kenal maupun tidak. Motivasinya dalah murni altruistic (demi kepentingan orang lain dan masyarakat luas).

Bila tipe-tipe donor di atas dianalisis menurut system islam, maka dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut : 1) tipe 1, 2, 3, 4, dan 6 tidak dapat diterima karena mereka bisa dibilang “membisniskan” darah. 2) tipe 5 dan 8 dapat diterima karena motivasinya adalah mengantisipasi saat-saat genting ketika darah benar-benar dibutuhkan. 3) tipe 7 tidak menjadi masalah bagi Abu Sinnah karena ia memang termasuk di antara yang berpendapat tidak ada larangan bagi pemerintah untuk mendorong rakyatnya agar mendonorkan darah dengan jalan member bahan makanan sebagai pengganti atas energy yang hilang.

D.      Bank darah
Fakta bahwa riset serius di bidang kedokteran sedang dilakukan untuk menemukan pengganti darah manusia, permintaan darah terus mengalir, baik di negara-negara berteknologi maju maupun di negara-negara berkembang. Secara umum mendesaknya kebutuhan akan darah telah menimbulkan dua tipe bank darah, yaitu :

1.        Bank darah komersial : bank darah yang berorientasi laba. Dengan kata lain, lembaga ini memperoleh suplai darah dari para donor yang dibayar. Darah kemudian di kelolah dan di jual ke rumah sakit dengan memetik laba.
2.        Bank darah komersial : lembaga ini merupakan bank darah nirlaba. Para donor sukarela kemasyarkatan menyupali darah kepada lembaga-lembag ini tanpa menuntut bayaran atas jasa mereka ini. Kadang-kadang, bank ini menuntut para pasien, setelah sembuh, untuk mengganti dua atau tiga kali lipat dari darah yang telah mereka terima. Perlu disebutkan disini bahwa beberapa rumah sakit memiliki bank darah sendiri.

Adapun pandangan islam tentang bank darah yaitu :
Menurut abu sinnah adalah boleh (jaiz) mengumpulkan darah dari para pendonor lalu menyimpannya pada bank darah untuk di transfusikan pada orang-orang yang sangat membutuhkannya akibat perang, kecalakaan kerja, dan kecelakaan kendaraan. Kebolehan ini ditentukan oleh fakta pada bank darah pada kenyataannya memang menjaga ketersediaan darah pada saat-saat dibutuhkan. Menurut Syekh Jad al-Haqq seseorang dibolehkan membayar sejumlah uang untuk memperoleh transfuse darah dari lembaga ini. Namun, pembayaran itu harus dipandang sebagai kompensasi bagi pengumpulan dan penyimpanannya, bukan sebagai pembelian. Karenanya, kompensasi itu mestinya di catat dalam dokumen lembaga tersebut dalam rangka menghindari kesangsian akan larangan tentangnya (membayar harga yang telah ditetapkan)

BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
 Melakukan transfuse darah hukumnya diperbolehkan, dengan memperhatikan beberapa syarat yang harus dipenuhi
ü
 Adanya bank darah untuk persediaan hukumnya boleh (jaiz)
ü
 Pemberian transfuse darah antar agama juga diperbolehkan
ü

3.2. Saran
Bagi anda yang ingin melakukan transfuse darah baik sebagai donor ataupun resepien harus mengikuti syarat yang telah di tentukan. Baik menurut agama maupun medis, hal ini perlu diperhatikan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
B.  Transplantasi Organ.
Pengertian Tansplantasi.
Zamzami Saleh (dalam artikel Syari’ah Project, 2009) menjelaskan bahwa “Transplantasi adalah pemindahan organ tubuh dari orang sehat atau dari mayat yang organ tubuhnya mempunyai daya hidup dan sehat kepada tubuh orang lain yang memiliki organ tubuh yang tidak berfungsi lagi, sehingga resipien (penerima organ tubuh) dapat bertahan secara sehat.”
Tujuan Transplantasi.
Zamzami Saleh (dalam artikel Syari’ah Project, 2009) juga menjelaskan bahwa tujuan dari transplantasi adalah “sebagai pengobatan dari penyakit karena islam sendiri memerintahkan manusia agar setiap penyakit diobati, karena membiarkan penyakit bersarang dalam tubuh dapat mengakibatkan kematian, sedangkan membiarkan diri terjerumus dalam kematian (tanpa ikhtiyar) adalah perbuatan terlarang”. Sebagaimana firman Allah dalam Al-qur’an Surat An-Nisa’ ayat 29 “Dan jangan lah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah maha penyayang kepadamu”.
Maksudnya apabila sakit maka manusia harus berusaha secara optimal untuk mengobatinya sesuai kemampuan, karena setiap penyakit sudah ditentukan obatnya, maka dalam hal ini transplantasi merupakan salah satu bentuk pengobatan
Syarat-syarat Pelaksanaan Transplantasi.
Menyumbangkan organ tubuh diperbolehkan dalam islam selama hal itu dilakukan berdasarkan batasan-batasan yang telah ditentukan oleh syariat. Dengan demikian, Sheikh Ahmad Kutty (dalam artikel Islam.ca) menuturkan beberapa syarat-syarat yang membolehkan transplantasi organ, yaitu:
a)    Syarat bagi orang yang hendak menyumbangkan organ dan masih hidup:
  1. Orang yang akan menyumbangkan organ adalah orang yang memiliki kepemilikan penuh atas miliknya sehingga dia mampu untuk membuat keputusan sendiri.
  2. Orang yang akan menyumbangkan organ harus seseorang yang dewasa atau usianya mencapai dua puluh tahun.
  3. Harus dilakukan atas keinginannya sendiri tanpa tekanan atau paksaan dari siapapun.
  4. Organ yang disumbangkan tidak boleh organ vital yang mana kesehatan dan kelangsungan hidup tergantung dari itu.
  5. Tidak diperbolehkan mencangkok organ kelamin.
b)   Syarat bagi mereka yang menyumbangkan organ tubuh jika sudah meninggal:
  1. Dilakukan setelah memastikan bahwa si penyumbang ingin menyumbangkan organnya setelah dia meninggal. Bisa dilakukan melalui surat wasiat atau menandatangani kartu donor atau yang lainnya.
  2. Jika terdapat kasus si penyumbang organ belum memberikan persetujuan terlebih dahulu tentang menyumbangkan organnya ketika dia meninggal maka persetujuan bisa dilimpahkan kepada pihak keluarga penyumbang terdekat yang dalam posisi dapat membuat keputusan atas penyumbang.
  3.  Organ atau jaringan yang akan disumbangkan haruslah organ atau jaringan yang ditentukan dapat menyelamatkan atau mempertahankan kualitas hidup manusia lainnya.
  4. Organ yang akan disumbangkan harus dipindahkan setelah dipastikan secara prosedur medis bahwa si penyumbang organ telah meninggal dunia.
  5. Organ tubuh yang akan disumbangkan bisa juga dari korban kecelakaan lalu lintas yang identitasnya tidak diketahui tapi hal itu harus dilakukan dengan seizin hakim.

C.  Hukum Transplantasi.
Hukum tentang transplantasi sangat bermacam-macam, ada yang mendukung dan ada pula yang menolaknya. Oleh karena itu, dalam pembahasan ini akan menggabungkan hukum-hukum dari beberapa sumber yaitu dari Abuddin (Ed) (2006) dan Zamzami Saleh (2009), sebagai berikut:
Transplantasi organ ketika masih hidup.
Pendapat 1: Hukumnya tidak Boleh (Haram).Meskipun pendonoran tersebut untuk keperluan medis (pengobatan) bahkan sekalipun telah sampai dalam kondisi darurat.
Dalil1: Firman Allah SWT “Dan janganlah kamu membunuh dirimu sendiri, sesungguhnya Allah maha penyayang kepadamu“ ( Q.S.An-Nisa’:4:29) dan Firman Allah SWT “Dan Janganlah kamu jatuhkan dirimu dalam kebinasaan dan berbuat baiklah sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik” (Q.S.Al-Baqarah :2:195).
Maksudnya adalah bahwa Allah SWT  melarang manusia untuk membunuh dirinya atau melakukan perbuatan yang membawa kepada kehancuran dan kebinasaan. Sedangkan orang yang mendonorkan salah satu organ tubuhnya secara tidak langsung telah melakukan perbuatan yang membawa kepada kehancuran dan kebinasaan. Padahal manusia tidak disuruh berbuat demikian, manusia hanya disuruh untuk menjaganya (organ tubuhnya) sesuai ayat di atas.
Manusia tidak memiliki hak atas organ tubuhnya seluruhnya,karena pemilik organ tubuh manusia Adalah Allah swt.
Pendapat 2: Hukumnya ja’iz (boleh) namun memiliki syarat-syarat tertentu.
Dalil 2:  Seseorang yang mendonorkan organ tubuhnya kepada orang lain untuk menyelamatkan hidupnya merupakan perbuatan saling tolong-menolong atas kebaikan sesuai firman Allah swt “ Dan saling tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan taqwa dan janganlah kamu saling tolong monolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan” (Qs.Al-ma’idah 2).
Setiap insan, meskipun bukan pemilik tubuhnya secara pribadi namun memiliki kehendak atas apa saja yang bersangkutan dengan tubuhnya, ditambah lagi bahwa Allah telah memberikan kepada manusia hak untuk mengambil manfa’at dari tubuhnya, selama tidak membawa kepada kehancuran, kebinasaan dan kematian dirinya (QS. An-Nisa’ 29 dan al-Baqarah 95). Oleh karena itu, sesungguhnya memindahkan organ tubuh ketika darurat merupakan pekerjaan yang mubah (boleh) dengan dalil
Transplantasi organ ketika dalam keadaan koma.
Pendapat:  Melakukan transplantasi organ tubuh donor dalam keadaan masih hidup, meskipun dalam keadaan koma, hukumnyaharam.
Dalil: Sesungguhnya perbuatan mengambil salah satu organ tubuh manusia dapat membawa kepada kemudlaratan, sedangkan perbuatan yang membawa kepada kemudlaratan merupakan perbuatan yang terlarang sesuai Hadist nabi Muhammad saw “Tidak boleh melakukan pekerjaan yang membawa kemudlaratan dan tidak boleh ada kemudlaratan”
Manusia wajib berusaha untuk menyembuhkan penyakitnya dem mempertahankan hidupnya, karena hidup dan mati itu berada ditangan Allah SWT. Oleh sebab itu, manusia tidak boleh mencabut nyawanya sendiri atau mempercepat kematianorang lain, meskipun mengurangi atau menghilangkan penderitaan pasien.
Transplantasi organ ketika dalam keadaan telah meninggal.
Pendapat 1:  Hukumnya Haram karena kesucian tubuh manusia setiap bentuk agresi atas tubuh manusia merupakan hal yang terlarang.
Dalil: Ada beberapa perintah Al-Qur’an dan Hadist yang melarang. Diantara hadist yang terkenal, yaitu:
“Mematahkan tulang mayat seseorang sama berdosanya dan melanggarnya dengan mematahkan tulang orang tersebut ketika ia masih hidup”
Tubuh manusia adalah amanah, pada dasarnya bukanlah milik manusia tapi merupakan amanah dari Allah yang harus dijaga, karena itu manusia tidak memiliki hak untuk mendonorkannya kepada orang lain.
Pendapat 2: Hukumnya Boleh.
Dalil: Dalam kaidah fiqiyah menjelaskan bahwa “Apabila bertemu dua hal yang mendatangkan mafsadah (kebinasaan), maka dipertahankan yang mendatangkan madharat yang paling besar dengan melakukan perbuatan yang paling ringan madharatnya dari dua madharat”.
Selama dalam pekerjaan transplantasi itu tidak ada unsur merusak tubuh mayat sebagai penghinaan kepadanya.
D.  Alasan Dasar Pandangan-Pandangan Transplantasi Organ.
Sebagaimana halnya dalam kasus-kasus lain, karena karakter fikih dalam Islam, pendapat yang muncul tak hanya satu tapi beragam dan satu dengan lainnya, bahkan ada yang saling bertolak belakang, meski menggunakan sumber-sumber yang sama. Dalam pembahasan ini akan disampaikan beberapa pandangan yang cukup terkenal, dan alasan-alasan yang mendukung dan menentang transplantasi organ, menurut aziz dalam beranda, yaitu:
Pandangan yang menentang pencangkokan organ.
Ada tiga alasan yang mendasar, yaitu:
a)      Kesucian hidup/tubuh manusia.
Setiap bentuk agresi terhadap tubuh manusia dilarang, karena ada beberapa perintah yang jelas mengenai ini dalam Al-Qur’an. Dalam kaitan ini ada satu hadis (ucapan) Nabi Muhammad yang terkenal yang sering dikutip untuk menunjukkan dilarangnya manipulasi atas tubuh manusia, meskipun sudah menjadi mayat, “Mematahkan tulang mayat seseorang adalah sama berdosa dan melanggarnya dengan mematahkan tulang orang itu ketika ia masih hidup”
b)      Tubuh manusia adalah amanah.
Hidup dan tubuh manusia pada dasarnya adalah bukan miliknya sendiri, tapi pinjaman dari Tuhan dengan syarat untuk dijaga, karena itu manusia tidak boleh untuk merusak pinjaman yang diberikan oleh Allah SWT.
c)      Tubuh tak boleh diperlakukan sebagai benda material semata.
Pencangkokan dilakukan dengan mengerat organ tubuh seseorang untuk dicangkokkan pada tubuh orang lain, disini tubuh dianggap sebagai benda material semata yang bagian-bagiannya bisa dipindah-pindah tanpa mengurangi ketubuh seseorang.
Pandangan yang mendukung pencangkokan organ.
Ada beberapa dasar, antara lain:
a)      Kesejahteraan publik (maslahah).
Pada dasarnya manipulasi organ memang tak diperkenankan, meski demikian ada beberapa pertimbangan lain yang bisa mengalahkan larangan itu, yaitu potensinya untuk menyelamatkan hidup manusia yang mendapat bobot amat tinggi dalam hukum Islam. Dengan alasan ini pun, ada beberapa kualifikasi yang mesti diperhatikan, yaitu (1) Pencangkokan organ boleh dilakukan jika tak ada alternatif lain untuk menyelamatkan nyawa, (2) derajat keberhasilannya cukup tinggi ada persetujuan dari pemilik organ asli (atau ahli warisnya), (3) penerima organ sudah tahu persis segala implikasi pencangkokan ( informed consent )
b)      Altruisme.
Ada kewajiban yang amat kuat bagi muslim untuk membantu manusia lain khususnya sesama muslim, pendonoran organ secara sukarela merupakan bentuk altruisme yang amat tinggi (tentu ini dengan anggapan bahwa si donor tak menerima uang untuk tindakannya), dan karenanya dianjurkan.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Transplantasi merupakan hal yang sangat rumit dalam pengambilan tindakan yang tepat, karena banyak pendapat yang menentang dan mendukung tentang pelaksanaan transplantasi dengan berbagai alasan yang berbeda-beda. dari uraian pembahasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa hukum pelaksanaan transplantasi organ itu bergantung pada alasana mengapa harus melakukan hal tersebut. jika alasannya tidak mendukung maka kegiatan transplantasi tesebut sangat dilarang dan hukumnya haram serta ilegal.
B. Saran
Jika kita harus melakukan transplantasi organ, maka seharusnya memenuhi persyaratan-persyaratan yang tidak merugikan pihak-pihak yang berkaitan, baik dari pendonor maupun resipien, serta harus memenuhi kaidah atau syarat-syarat islam







Waktu persalinan adalah salah satu momen paling mendebarkan bagi seorang wanita. Karena momen ini merupakan bagian dari jihad teragung kaum wanita. Di mana seorang wanita yang meninggal saat melahirkan bahkan termasuk golongan manusia yang mati syahid (HR. Abu Dawud dan Ahmad). Setelah momen ini, seorang wanita akan memulai babak baru kehidupannya menjadi seorang ibu yang mempunyai kewajiban mendidik buah hatinya. Dan sebaik-baik pendidikan untuk anak adalah dengan pendidikan agama.
Ternyata, momen penting ini pun tak lepas dari perhatian syariat karena pada saat persalinan seorang wanita akan mengeluarkan darah nifas. Sebagaimana haid dan istihadhah, darah nifas termasuk jenis darah yang biasa terjadi pada wanita. Oleh karena itu, para muslimah hendaknya mengetahui hukum-hukum seputar darah nifas.
Apakah Darah Nifas itu??
Nifas adalah darah yang keluar dari rahim karena melahirkan. Baik darah itu keluar bersamaan ketika proses melahirkan, sesudah atau sebelum melahirkan, yang disertai dengan dirasakannya tanda-tanda akan melahirkan, seperti rasa sakit, dll. Rasa sakit yang dimaksud adalah rasa sakit yang kemudian diikuti dengan kelahiran. Jika darah yang keluar tidak disertai rasa sakit, atau disertai rasa sakit tapi tidak diikuti dengan proses kelahiran bayi, maka itu bukan darah nifas.
Selain itu, darah yang keluar dari rahim baru disebut dengan nifas jika wanita tersebut melahirkan bayi yang sudah berbentuk manusia. Jika seorang wanita mengalami keguguran dan ketika dikeluarkan janinnya belum berwujud manusia, maka darah yang keluar itu bukan darah nifas. Darah tersebut dihukumi sebagai darah penyakit (istihadhah) yang tidak menghalangi dari shalat, puasa dan ibadah lainnya.
Perlu ukhty ketahui bahwa waktu tersingkat janin berwujud manusia adalah delapan puluh hari dimulai dari hari pertama hamil. Dan sebagian pendapat mengatakan sembilan puluh hari.
Sebagaimana hadits dari Ibnu Mas’ud sradhiyallahu ‘anhu , bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahukan kepada kami, dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang benar dan yang mendapat berita yang benar, “Sesungguhnya seseorang dari kalian dikumpulkan penciptaannya dalam perut ibunya selama 40 hari dalam bentuk nuthfah, kemudian menjadi ‘alaqah seperti itu pula, kemudian menjadi mudhghah seperti itu pula. Kemudian seorang malaikat diutus kepadanya untuk meniupkan ruh di dalamnya, dan diperintahkan kepadanya untuk menulis empat hal, yaitu menuliskan rizkinya, ajalnya, amalnya, dan celaka atau bahagianya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Menurut Ibnu Taimiyah, “Manakala seorang wanita mendapati darah yang disertai rasa sakit sebelum masa (minimal) itu, maka tidak dianggap sebagai nifas. Namun jika sesudah masa minimal, maka ia tidak shalat dan puasa. Kemudian apabila sesudah kelahiran ternyata tidak sesuai dengan kenyataan (bayi belum berbentuk manusia-pen) maka ia segera kembali mengerjakan kewajiban. Tetapi kalau ternyata demikian (bayi sudah berbentuk manusia-pen), tetap berlaku hukum menurut kenyataan sehingga tidak perlu kembali mengerjakan kewajiban.” (kitab Syarhul Iqna’)
Secara ringkas dapat disimpulkan beberapa hal untuk mengenali darah nifas:
  1. Nifas adalah darah yang keluar dari rahim disebabkan melahirkan, baik sebelum, bersamaan atau sesudah melahirkan
  2. Disertai dengan tanda-tanda akan melahirkan (seperti rasa sakit, dll) yang diikuti dengan proses kelahiran
  3. Bayi yang dilahirkan/ dikeluarkan sudah berbentuk manusia (terdapat kepala, badan dan anggota tubuh lain seperti tangan dan kaki, meskipun belum sempurna benar)
Lama Keluarnya Darah Nifas
Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin dalam Risalah fid Dima’ Ath-Thabi’iyah lin Nisa mengatakan bahwa ulama berbeda pendapat tentang apakah nifas itu ada batas minimal dan maksimalnya.
Adapun Syaikh ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al Khalafi di dalam Al Wajiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitabil ‘Aziz mengatakan bahwa nifas ada batas maksimalnya, yaitu empat puluh hari. Pendapat beliau berdasarkan hadits dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha. Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha berkata, “Kaum wanita yang nifas tidak shalat pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selama empat puluh hari.” (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi. Hadits hasan shahih). Waktu empat puluh hari dihitung sejak keluarnya darah, baik darahnya itu keluar bersamaan, sebelum atau sesudah melahirkan.
Pendapat yang kuat, insyaa Allah, pada dasarnya tidak ada batasan minimal atau maksimal lama waktu nifas. Waktu empat puluh hari adalah kebiasaan sebagian besar kaum wanita. Akan tetapi apabila sebelum empat puluh hari wanita tersebut telah suci, maka ia wajib mandi dan melakukan ibadah wajibnya lagi.
Mengenai banyaknya darah, juga tidak ada batasan sedikit atau banyaknya. Selama darah nifas masih keluar maka sang wanita belum wajib mandi (bersuci).
Secara ringkas, ada beberapa kondisi wanita yang sedang nifas:
  1. Darah nifas berhenti keluar sebelum 40 hari dan tidak keluar lagi setelah itu. Maka sang wanita wajib mandi (bersuci) dan kemudian melakukan ibadah wajibnya lagi, seperti shalat dan puasa, dll.
  2. Darah nifas berhenti keluar sebelum 40 hari, akan tetapi kemudian darah keluar lagi sebelum hari ke-40. Maka, jika darah berhenti ia mandi (bersuci) untuk shalat dan puasa. Jika darah keluar, ia harus meninggalkan shalat dan puasa. Akan tetapi, bila berhentinya darah kurang dari sehari, maka tidak dihukumi suci.
  3. Darah nifas terus keluar dan baru berhenti setelah hari ke-40. Maka sang wanita harus mandi (bersuci).
  4. Darah terus keluar hingga melebihi waktu 40 hari. Ada beberapa kondisi:
1.      Darah nifas berhenti dilanjutkan keluarnya darah haid (berhentinya darah nifas bertepatan waktu haid), maka sang wanita tetap meninggalkan shalat dan puasa. Darah yang keluar setelah 40 hari dihukumi sebagai darah haid. Sang wanita baru wajib mandi (bersuci) setelah darah haid tidak keluar lagi.
2.      Darah tetap keluar setelah 40 hari dan tidak bertepatan dengan kebiasaan masa haid, ulama berbeda pendapat mengenai hal ini. Menurut ulama yang berpendapat bahwa lama maksimal nifas adalah 40 hari, menilai darah yang keluar setelah 40 hari sebagai darah fasadh (penyakit) yang statusnya adalah sebagaimana istihadhah. Sedangkan menurut ulama yang berpendapat bahwa tidak ada batasan minimal dan maksimal lama nifas, mereka menilai darah yang keluar setelah 40 hari tetap sebagai darah nifas. Pendapat inilah yang lebih kuat, insya Allah.
Akan tetapi, jika ingin berhati-hati, setelah 40 hari dinilai suci. Sehingga sang wanita bersuci untuk melaksanakan shalat dan puasa, meski darah tetap keluar. Akan tetapi hal ini tidak berlaku pada 2 keadaan:
  • Ada tanda bahwa darah akan berhenti/ makin sedikit. Maka sang wanita menunggu darah berhenti keluar, baru kemudian mandi (bersuci)
  • Ada kebiasaan dari kelahiran sebelumnya, maka itu yang dipakai. Misal, sang wanita telah mengalami beberapa kali nifas yang lamanya 50 hari. Maka batasan ini yang dipakai.
Hal-hal yang Diharamkan bagi Wanita yang Nifas
Para ulama telah bersepakat bahwa wanita yang sedang nifas diharamkan melakukan apa saja yang diharamkan bagi wanita yang haid. Antara lain,
  1. Sholat.
    Wanita yang haid dan nifas haram melakukan shalat fardhu maupun sunnah, dan mereka tidak perlu menggantinya apabila suci. (Ibnu Hazm di dalam kitabnya al-Muhalla)
  2. Puasa.
    Wanita yang sedang nifas tidak boleh melakukan puasa wajib maupun sunnah. Akan tetapi ia wajib mengqadha puasa wajib yang ia tinggalkan pada masa nifas. Berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Ketika kami mengalami haid, kami diperintahkan untuk mengqadha puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha shalat.” (Muttafaq ‘alaih)
  3. Thawaf.
    Wanita haid dan nifas diharamkan melakukan thawaf keliling ka’bah, baik yang wajib maupun sunnah, dan tidah sah thawafnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Lakukanlah apa yang dilakukan jamaah haji, hanya saja jangan melakukan thawaf di ka’bah sampai kamu suci.” (HR. Bukhari dan Muslim)
  4. Jima’.
    (lihat sub judul “Hukum Suami yang Bercampur dengan Istri yang sedang Nifas”)
  5. Tidak bleh diceraikan.
    Diharamkan bagi suami menceraikan istrinya yang sedang haid atau nifas. Allah Ta’ala berfirman, yang artinya, “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (dengan wajar).” (Qs. ath-Thalaq: 1)
Hukum-hukum Seputar Nifas
Tidak ada perbedaan hukum antara haid dan nifas, kecuali beberapa hal di bawah ini:
1. Iddah
Apabila wanita tidak sedang hamil, masa iddah dihitung dengan haid, bukan dengan nifas. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Wanita-wanita yang dicerai hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’…” (Qs. al-Baqarah: 228)
Menurut Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, yang dimaksud ‘quru‘ adalah haid, dan inilah pendapat yang lebih kuat, insyaa Allah. Oleh karena itu, masa iddah dihitung berdasarkan haid, bukan nifas. Sebab, jika suami menceraikan istrinya sebelum melahirkan, masa iddahnya habis karena melahirkan, bukan karena nifas. Adapun jika suami menceraikan istrinya setelah melahirkan, maka masa iddahnya adalah sampai sang istri mendapat 3 kali haid.
2. Masa Ila’
Ila’ adalah sumpah seorang laki-laki untuk tidak melakukan jima’ terhadap istrinya selamanya atau lebih dari empat bulan. Setelah masa empat bulan, bila sang istri meminta untuk berhubungan, maka sang suami harus memilih antara jima’ atau bercerai.
Masa haid termasuk hitungan masa ila’, sedangkan masa nifas tidak. Jadi, apabila seorang suami bersumpah untuk tidak berjima’ dengan istrinya, sedangkan istrinya sedang dalam keadaan nifas, maka masa ila’ ditetapkan empat bulan ditambah masa nifas. Setelah masa itu, bila sang istri meminta untuk melakukan jima’, sang suami harus memilih apakah jima’ atau bercerai.
3. Balighnya seorang wanita dihitung dari saat haid pertama kali, bukan nifas.

Hukum Suami yang Bercampur dengan Istri yang sedang Nifas
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Menggauli wanita nifas sama halnya dengan wanita haid, hukumnya haram menurut kesepakatan ulama.” (Lihat Majmu’ Fatawa)
Allah Ta’ala berfirman, yang artinya, “Mereka bertanya kepadamu tentang wanita haid, maka katakanlah, “Bahwa haid adalah suatu kotoran, maka janganlah kalian mendekati mereka sebelum mereka suci.” (Qs. al-Baqarah: 222)
Seorang suami boleh sekedar bercumbu dengan istri yang sedang nifas asal tidak sampai jima’. Akan tetapi bila sampai terjadi jima’, para ulama berselisih pendapat apakah wajib membayar kaffarah (denda) ataukah tidak (Lihat al-Mughni oleh Imam Ibnu Qudamah rahimahullah).
Pendapat yang lebih kuat, insya Allah, wajib membayar kaffarah. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Abbas sradhiyallahu ‘anhu . Dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam , ketika berbicara tentang seorang suami yang mencampuri istrinya di waktu haid, Rasulullah bersabda, “Hendaklah ia bershadaqah satu dinar atau separuh dinar.” (Shahih Ibnu Majah no:523, ‘Aunul Ma’bud 1:445 no:261, Nasa’ai I:153, Ibnu Majah 1:210 no:640. Hadits ini dishahihkan oleh Al-Albani)
Adapun apabila seorang wanita telah suci dari nifas sebelum 40 hari, kebanyakan ulama berpendapat bahwa suami tidak dilarang untuk menggaulinya. Dan inilah pendapat yang kuat. Karena tidak ada dalil syar’i yang melarangnya.
Riwayat yang ada hanyalah dari Imam Ahmad dari Utsman bin Abu Al-Ash bahwa istrinya datang kepadanya sebelum empat puluh hari, lalu ia berkata, “Jangan engkau dekati aku!” Akan tetapi, ucapan Utsman tersebut bukan berarti seorang suami terlarang menggauli istrinya. Sikap Utsman tersebut mungkin timbul karena kehati-hatiannya, yaitu khawatir istrinya belum suci benar, atau takut dapat mengakibatkan pendarahan disebabkan senggama atau hal lain. (Lihat al-Wajiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitabil ‘Aziz)
Karena itu, apabila pada diri seorang suami atau istri timbul keragu-raguan, maka hendaklah memastikan dahulu, apakah sang istri benar-benar telah suci dari darah nifasnya. Karena secara medis, jima’ aman dilakukan bila sang istri telah melewati masa nifas, kecuali bila saat itu sang istri langsung mengalami haid, terjadi perdarahan, atau sedang menjalani terapi tertentu. Apabila masih ragu, hendaklah berkonsultasi dengan dokter. Apakah kondisi sang istri telah normal dan benar-benar pulih secara medis sehingga bisa dicampuri oleh suaminya. Karena dalam hal ini kondisi setiap wanita berbeda-beda. Tidak selayaknya seorang muslim melakukan hal yang berbahaya dan membahayakan orang lain.
Wallahu Ta’ala a’lam.
Maraaji’ :
Al Wajiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitabil ‘Aziz (Terj.), Syaikh ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al Khalafi (Pustaka As Sunnah)
Darah Kebiasaan Wanita (terjemahan Risalah fid Dima’ Ath-Thabi’iyah lin Nisa), Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin (penerbit Darul Haq)
Catatan Daurah Muslimah “Darah Kebiasaan Wanita” oleh ustadz Abu Ukkasyah Aris Munandar, tahun 2007
Catatan Kajian Al Wajiz oleh ustadz Muslam, tahun 2004







No comments:

Post a Comment

>