Prodi Keperawatan
Mata Kuliah AGAMA
Mata Kuliah AGAMA
Pandangan Agama Islam
Terhadap Beberapa Masalah
1. Cloning
dan bayi tabung
a. Cloning
Adapun hukum kloning manusia,
meskipun hal ini belum terjadi, tetapi para pakar mengatakan bahwa keberhasilan
kloning sesungguhnya merupakan pendahuluan bagi keberhasilan kloning
manusia.Kloning manusia dapat berlangsung dengan adanya laki-laki dan perempuan
dalam prosesnya. Kloning manusia dapat pula berlangsung di antara perempuan
saja, tanpa memerlukan kehadiran laki-laki. Proses ini dilaksanakan dengan
mengambil sel dari tubuh seorang perempuan. Kemudian inti selnya diambil dan
digabungkan dengan sel telur perempuan yang telah dibuang inti selnya. Untuk
proses selanjutnya dapat melihat tulisan sebelumnya yang berjudul “Mengenal
Kloning”.
Kloning yang dilakukan pada laki-laki atau perempuan –baik yang bertujuan untuk
memperbaiki kualitas
keturunan dengan menghasilkan keturunan yang lebih cerdas, lebih kuat, lebih
sehat dan lebih rupawan, maupun yang bertujuan untuk memperbanyak keturunan
guna meningkat jumlah penduduk suatu bangsa atau negara itu lebih kuat-
seandainya benar terwujud, maka sungguh akan menjadi bencana dan biang
kerusakan bagi dunia. Kloning ini haram menurut syari’at Islam dan tidak boleh
dilakukan.
Dalil-dalil keharamannya adalah sebagai berikut:
Dalil-dalil keharamannya adalah sebagai berikut:
1.
Anak-anak produk
proses kloning tersebut dihasilkan melalui cara yang tidak alami.Padahal
justru cara alami itulah yang telah ditetapkan oleh Allah untuk manusia dan
dijadikan-Nya sebagai sunatullah untuk menghasilkan anak-anak dan keturunan.
Allah berfirman, “dan bahwasanya Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan
laki-laki dan perempuan, dari air mani, apabila dipancarkan.” (QS An-Najm
(53):45-46)
Allah berfirman, “Bukankah dia dahulu setetes mani yang ditumpahkan (ke dalam rahim), kemudian mani itu menjadi segumpal darah, lalu Allah menciptakannya, dan menyempurnakannya.” (QS Al-Qiyâmah (75):37-38)
Allah berfirman, “Bukankah dia dahulu setetes mani yang ditumpahkan (ke dalam rahim), kemudian mani itu menjadi segumpal darah, lalu Allah menciptakannya, dan menyempurnakannya.” (QS Al-Qiyâmah (75):37-38)
2.
Anak-anak produk
kloning dari perempuan saja (tanpa adanya laki-laki), tidak akan mempunyai
ayah. Dan anak produk kloning tersebut jika dihasilkan dari proses pemindahan
sel telur –yang telah digabungkan dengan inti sel tubuh- ke dalam rahim
perempuan yang bukan pemilik sel telur-, tidak pula akan mempunyai ibu. Sebab
rahim perempuan yang menjadi tempat pemindahan sel telur tersebut hanya menjadi
penampung, tidak lebih. Ini merupakan tindakan menyia-nyiakan manusia, sebab
dalam kondisi ini tidak terdapat ibu dan ayah. Hal ini bertentangan dengan
firman Allah Swt; “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan.” (QS Al-Hujurat (49):13) Juga bertentangan dengan firman Allah Swt; “Panggillah mereka (anak-anak
angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka.” (QS Al-Ahdzab (33):5)
3.
Kloning manusia
akan menghilangkan nasab (garis keturunan). Padahal Islam telah mewajibkan
pemeliharaan nasab. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra., yang mengatakan bahwa
Rasulullah Saw telah bersabda, ”Siapa saja yang menghubungkan nasab kepada
orang yang bukan ayahnya, atau (seorang budak) bertuan (loyal/taat) kepada
selain tuannya, maka dia akan mendapat laknat dari Allah para malaikat dan
seluruh manusia.” (HR Ibnu Majah) Diriwayatkan dari Abu Utsman An-Nahri ra yang
berkata, ”Aku mendengar Sa’ad dan Abu Bakrah masing-masing berkata, ”Kedua
telingaku telah mendengar dan hatiku telah menghayati sabda Muhammad Saw,
”Siapa saja yang mengaku-ngaku (sebagai anak) kepada orang yang bukan bapaknya,
padahal dia tahu bahwa orang itu bukan bapaknya, maka surga baginya haram.” (HR
Ibnu Majah)
4.
Memproduksi anak
melalui proses kloning akan mencegah pelaksanaan banyak hukum-hukum syara’,
seperti hukum tentang perkawinan, nasab, nafkah, hak dan kewajiban antara bapak
dan anak, waris, perawatan anak, hubungan kemahraman, hubungan ’ashabah dan
lain-lain. (arnab) (dikutip dari buku Beberapa Problem Kontemporer Dalam
Pandangan Islam karya Abdul Qadim Zallum, cet. Pertama Juni 1998 M).
b.
Bayi
Tabung
Hukum Bayi Tabung
Apabila mengkaji tentang
bayi tabung dari hukum islam,maka harus dikaji dengan memakai metode ijtihad
yang lazim dipakai oleh para ahli ijtihad agar hukum ijtihadnya sesuai dengan
prinsip-prinsip dan jiwa al-Quran dan sunnah menjadi pasanagan umat islam.Bayi
Tabung dilakukan apabila dilakukan dengan sel sperma dan ovum suami istri
sendiri dan tidak ditransfer embrionya kedalam rahim wanita lain termasuk
istrinya sendiri yang lain(bagi suami yang berpoligami),maka islam
membenarkan,baik dengan cara mengambil sperma suami,kemudian disuntikkan
kedalam vagina atau uterus istri,maupun dengan cara pembuahan dilakukan diluar
rahim,kemudian buahnya ditanam kedalam rahim istri,asal keadaan kondisi suami
istri yang bersangkutan benar-benar memerlukan cara inseminasi buatan untuk
memperoleh anak,karena dengan cara pembuahan alami,suami istri tidak berhasil
memperoleh anak.
Menurut Al-Qur’an Surat Al-Isra ayat 70
Artinya:Dan
sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam,Kami angkut mereka didaratan
dan lautan,Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka
dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami
ciptakan.
Inseminasi buatan endahngan donor itu pada hakikatnya merendahkan harkat
manusia sejajar dengan hewan yang di inseminasi.
Hadist
Nabi:
Tidak
halal bagi seseorang yang beriman pada Allah dan hari Akhir menyiramkan airnya
(sperma) pada tanaman orang lain(vagina istri orang lain).Hadist Riwayat
Abu Daud,Al-Tirmizi dan hadist ini dipandang sahih oleh Ibnu Hibban.
Dengan
hadist ini para ulama sepakat mengharamkan seseorang mengawini/melakukan
hubungan seksual dengan wanita hamil dari orang lain yang mempunyai ikatan
perkawinan yang sah.
Pada
zaman dulu masalah bayi tabung/inseminasi buatan belum timbul,sehingga kita
tidak memperoleh fatwa hukumnya dari mereka.Kita dapat menyadari bahwa
inseminasi buatan / bayi tabung dengan donor sperma atau ovum lebih mendatangkan
madaratnya daripada maslahahnya.
Manfaat
Dan Akibat Dari Bayi Tabung
·
Maslahahnya dari bayi tabung adalah bias
membantu pasangan suami istri yang keduanya atau salah satu nya mandul atau ada
hambatan alami pada suami atau istri menghalangi bertemunya sel sperma dan sel
telur.Misalnya karena tuba falopii terlalu sempit atau ejakulasinya terlalu
lemah.Namun akibat(mafsadah) dari bayi tabung adalah: Percampuran Nasab,padahal
Islam sangat menjaga kesucian / kehormatan kelamin dan kemurnian nasab,karena
ada kaitannya dengan kemahraman (siapa yang halal dan haram dikawini) dan
kewarisan.
·
Bertentangan dengan sunnatullah atau hukum
alam.
·
Inseminasi pada hakikatnya sama dengan
prostitusi/ zina karena terjadi percampuran sperma dengan ovum tanpa perkawinan
yang sah.
·
Kehadiran anak hasil inseminasi buatan
bisa menjadi sumber konflik didalam rumah tangga terutama bayi tabung dengan
bantuan donor merupakan anak yang sangat unik yang bisa berbeda sekali bentuk
dan sifat-sifat fisik dan karakter/mental si anak dengan bapak ibunya.
·
Anak hasil inseminasi buatan/bayi tabung yang
percampuran nasabnya terselubung dan sangat dirahasiakan donornya adalah lebih
jelek daripada anak adopsi yang pada umumnya diketahui asal dan nasabnya.
·
Bayi tabung lahir tanpa proses kasih sayang
yang alami terutama pada bayi tabung lewat ibu titipan yang harus menyerahkan
bayinya pada pasangan suami istri yang punya benihnya,sesuai dengan
kontrak,tidak terjalin hubungan keibuan anatara anak dengan ibunya secara alami
Surat
Al-Lugman ayat 14
Mengenai
status anak hasil inseminasi dengan donor sperma atau ovum menurut hukum islam
adalah tidak sah dan statusnya sama dengan anak hasil prostitusi.UU Perkawinan
pasal 42 No.1/1974:”Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau
sebagai akibat perkawinan yang sah”maka memberikan pengertian bahwa bayi tabung
dengan bantuan donor dapat dipandang sah karena ia terlahir dari perkawinan
yang sah.Tetapi inseminasi buatan dengan sperma atau ovum donor tidak di
izinkan karena tidak sesuai dengan Pancasila,UUD 1945 pasal 29 ayat 1.
Asumsi Menteri Kesehatan bahwa masyarakat Indonesia termasuk kalangan agama
nantinya bias menerima bayi tabung seperti halnya KB.Namun harus diingat bahwa
kalangan agama bias menerima KB karena pemerintah tidak memaksakan alat/cara KB
yang bertentangan dengan agama.Contohnya : Sterilisasi,Abortus.Oleh karena itu
pemerintah diharapkan mengizinkan praktek bayi tabung yang tidak bertentangan
dengan agama.
Macam Proses Bayi Tabung
Pembuahan
Dipisahkan dari Hubungan Suami-Isteri.
Teknik
bayi tabung memisahkan persetubuhan suami – istri dari pembuahan bakal anak.
Dengan teknik tersebut, pembuahan dapat dilakukan tanpa persetubuhan.
Keterarahan perkawinan kepada kelahiran baru sebagaimana diajarkan oleh Gereja
tidak berlaku lagi. Dengan demikian teknik kedokteran telah mengatur dan
menguasai hukum alam yang terdapat dalam tubuh manusia pria dan wanita. Dengan
pemisahan antara persetubuhan dan pembuahan ini, maka bisa muncul banyak
kemungkinan lain yang menjadi akibat dari kemajuan ilmu kedokteran di bidang
pro-kreasi manusia.
Wanita Sewaan
untuk Mengandung Anak.
Ada
kemungkinan bahwa benih dari suami – istri tidak bisa dipindahkan ke dalam
rahim sang istri, oleh karena ada gangguan kesehatan atau alasan – alasan lain.
Dalam kasus ini, maka diperlukan seorang wanita lain yang disewa untuk
mengandung anak bagi pasangan tadi. Dalam perjanjian sewa rahim ini ditentukan
banyak persyaratan untuk melindungi kepentingan semua pihak yang terkait.
Wanita yang rahimnya disewa biasanya meminta imbalan uang yang sangat besar.
Suami – istri bisa memilih wanita sewaan yang masih muda, sehat dan punya
kebiasaan hidup yang sehat dan baik. praktik seperti ini biasanya belum ada
ketentuan hukumnya, sehingga kalau muncul kasus bahwa wanita sewaan ingin
mempertahankan bayi itu dan menolak uang pembayaran, maka pastilah sulit
dipecahkan.
Sel Telur atau
Sperma dari Seorang Donor.
Masalah
ini dihadapi kalau salah satu dari suami atau istri mandul; dalam arti bahwa
sel telur istri atau sperma suami tidak mengandung benih untuk pembuahan. Itu
berarti bahwa benih yang mandul itu harus dicarikan penggantinya melalui
seorang donor.
Masalah
ini akan menjadi lebih sulit karena sudah masuk unsur baru, yaitu benih dari
orang lain. Pertama, apakah pembuahan yang dilakukan antara sel telur istri dan
sel sperma dari orang lain sebagai pendonor itu perlu diketahui atau
disembunyikan identitasnya. Kalau wanita tahu orangnya, mungkin ada bahaya
untuk mencari hubungan pribadi dengan orang itu. Ketiga, apakah pria pendonor
itu perlu tahu kepada siapa benihnya telah didonorkan. Masih banyak masalah
lain lagi yang bisa muncul.
Munculnya Bank
Sperma
Praktik
bayi tabung membuka peluang pula bagi didirikannya bank – bank sperma. Pasangan
yang mandul bisa mencari benih yang subur dari bank – bank tersebut. Bahkan
orang bisa menjual – belikan benih – benih itu dengan harga yang sangat mahal
misalnya karena benih dari seorang pemenang Nobel di bidang kedokteran,
matematika, dan lain-lain. Praktek bank sperma adalah akibat lebih jauh dari
teknik bayi tabung. Kini bank sperma malah menyimpannya dan memperdagangkannya
seolah – olah benih manusia itu suatu benda ekonomis.
Tahun
1980 di Amerika sudah ada 9 bank sperma non – komersial. Sementara itu bank –
bank sperma yang komersil bertumbuh dengan cepat. Wanita yang menginginkan
pembuahan artifisial bisa memilih sperma itu dari banyak kemungkinan yang
tersedia lengkap dengan data mutu intelektual dari pemiliknya. Identitas donor
dirahasiakan dengan rapi dan tidak diberitahukan kepada wanita yang
mengambilnya, kepada penguasa atau siapapun.
Masalah Orang
Tua Anak Hasil Bayi Tabung atau Legaltas Bayi Tabung
Bayi
yang benihnya berasal dari pasangan suami – istri namun dikandung dan
dilahirkan oleh wanita sewaan dapat menimbulkan persoalan siapakah orang tua
dari bayi itu. Bisa dikatakan bahwa bayi orang tua itu adalah pasangan yang
memiliki benih tadi. Tetapi wanita sewaan juga telah menyumbangkan darah dan
dagingnya selama mengandung bayi tersebut. Sudah pernah terjadi bahwa seorang
wanita sewaan tidak mau mengembalikan bayi yang telah dikandung dan
dilahirkannya. Orang tua bayi tersebut menuntut di pengadilan, namun hukum yang
dipakai untuk menyelesaikan masalah tersebut belum dibuat.
Kalau
benih diambil dari seorang donor, maka timbul persoalan juga tentang siapakah
orang tua bayi itu. Secara biologis orang tua bayi itu adalah donor yang telah
memberikan benihnya, tetapi secara legal, orang tua anak itu adalah orang tua
yang menerima dan membesarkannya dalam keluarga. Mana yang disebut orang tua?
Orangtua biologis atau orang tua legal. Sebelum ada teknik bayi tabung, maka
orang tua biologis adalah orang tua legal.
2. Transfusi
darah dan transplantasi organ tubuh
1. Pengertian
Transfuse darah adalah penginjeksian darah dari seseorang (yang disebut donor) ke dalam system peredaran darah seseorang yang lain (yang disebut resepien). Transfuse darah tidak pernah terjadi kecuali setelah ditemukannya sirkulasi darah yang tidak pernah berhenti dalam tubuh.
Ada empat golongan darah yang utama, yaitu A, B, AB dan O.
Transfuse darah adalah penginjeksian darah dari seseorang (yang disebut donor) ke dalam system peredaran darah seseorang yang lain (yang disebut resepien). Transfuse darah tidak pernah terjadi kecuali setelah ditemukannya sirkulasi darah yang tidak pernah berhenti dalam tubuh.
Ada empat golongan darah yang utama, yaitu A, B, AB dan O.
2. Hukum Islam
Al Quran dan sunnah tidak membahas masalah transfuse darah. Tetapi, menurut berbagai prinsip dan ajaran umum yang terdapat dalam sumber-sumber orisinil islam, darah yang mengalir (dam masfuh) selalu dianggap sebagai benda najis. Selain itu, islam melarang para pemeluknya untuk mengkonsumsi darah. Diantara makanan yang di kategorikan haram di konsumsi yang disebut dalam Al quran adalah dam masfuh yang artinya arah yang mengalir, dan dalam Firman Allah SWT dalam surat Al-An’am 6:145 yang artinya : Katakan (Hai Muhammad) : Aku tidak menemukan dalam apa yang telah diwahyukan kepadaku sesuatu yang terlarang untuk dimakan oleh seseorang yang ingin memakannya, kecuali daging bangkai, atau darah yang mengalir, atau daging babi…...
Al Quran dan sunnah tidak membahas masalah transfuse darah. Tetapi, menurut berbagai prinsip dan ajaran umum yang terdapat dalam sumber-sumber orisinil islam, darah yang mengalir (dam masfuh) selalu dianggap sebagai benda najis. Selain itu, islam melarang para pemeluknya untuk mengkonsumsi darah. Diantara makanan yang di kategorikan haram di konsumsi yang disebut dalam Al quran adalah dam masfuh yang artinya arah yang mengalir, dan dalam Firman Allah SWT dalam surat Al-An’am 6:145 yang artinya : Katakan (Hai Muhammad) : Aku tidak menemukan dalam apa yang telah diwahyukan kepadaku sesuatu yang terlarang untuk dimakan oleh seseorang yang ingin memakannya, kecuali daging bangkai, atau darah yang mengalir, atau daging babi…...
A. Penolakan terhadap transfusi darah
Menurut pandangan almarhum Mufti Syafi transfusi darah merupakan suatu yang haram, karena:
1.
Darah
sebagai bagian dari tubuh manusia : darah merupakan bagian tubuh manusia, maka
pengambilan dan pentransfusiannya ke dalam system peredaran darah orang lain
bisa disamakan dengan upaya mengubah takdir manusia, karenanya dilarang.
2.
Darah
sebagai benda najis : darah yang diambil dari tubuh seseorang pada dasarnya
adalah najis.
B. Kelenturan peraturan hukum menurut
beberapa tokoh
1.
Menurut
Mufti Syafi
Mufti Syafi menetapkan bahwa dengan mempertimbangkan kelonggaran dan kemudahan yang diberikan syariat bagi kondisi-kondisi luar biasa yaitu yang mengancam jiwa, dan bagi upaya pengobatan, maka transfuse darah hukumnya boleh (ja’iz). Pada penjelasan yang lain Muft Syafi menerangkan bahwa darah diambil dengan jarum, tanpa mengiris bagian tubih manapun lalu di transfusikan kedalam tubuh orang lain untuk memperpanjang hidupnya.
Muft Syafi juga berpendapat bahwa meskipun darah termasuk benda najis, namun mendonorkan darah untuk di transfusikan pada orang lain hukumnya adalah boleh atas dasar keterdesakan, dan hal ini termasuk dalam kategori memanfaatkan benda terlarang sebagai obat. Pembolehan ini, kata dia, harus dibatasi menurut ketentuan-ketentuan berikut:
a) Transfuse darah hanya boleh dilakukan jika ada kebutuhan yang mendesak untuk itu.
b) Transfuse darah juga boleh dilakukan ketika tidak membahayakan nyawa si pasien tetapi, dalam pandangan dokter yang berkompeten, pasien tidak mungkin disembuhkan tanpa transfuse darah
c) Jika memungkinkan, lebih baik untuk memilih cara yang tidak melibatkan transfuse darah
d) Transfuse darah tidak di perbolehkan jika tujuannya hanya untuk peningkatan kesehatan
Mufti Syafi menetapkan bahwa dengan mempertimbangkan kelonggaran dan kemudahan yang diberikan syariat bagi kondisi-kondisi luar biasa yaitu yang mengancam jiwa, dan bagi upaya pengobatan, maka transfuse darah hukumnya boleh (ja’iz). Pada penjelasan yang lain Muft Syafi menerangkan bahwa darah diambil dengan jarum, tanpa mengiris bagian tubih manapun lalu di transfusikan kedalam tubuh orang lain untuk memperpanjang hidupnya.
Muft Syafi juga berpendapat bahwa meskipun darah termasuk benda najis, namun mendonorkan darah untuk di transfusikan pada orang lain hukumnya adalah boleh atas dasar keterdesakan, dan hal ini termasuk dalam kategori memanfaatkan benda terlarang sebagai obat. Pembolehan ini, kata dia, harus dibatasi menurut ketentuan-ketentuan berikut:
a) Transfuse darah hanya boleh dilakukan jika ada kebutuhan yang mendesak untuk itu.
b) Transfuse darah juga boleh dilakukan ketika tidak membahayakan nyawa si pasien tetapi, dalam pandangan dokter yang berkompeten, pasien tidak mungkin disembuhkan tanpa transfuse darah
c) Jika memungkinkan, lebih baik untuk memilih cara yang tidak melibatkan transfuse darah
d) Transfuse darah tidak di perbolehkan jika tujuannya hanya untuk peningkatan kesehatan
2.
Menurut
Syekh Ahmad Fahmi Abu Sinnah
Pengambilan darah dari tubuh donor dan pentransfusiannya ke dalam tubuh resepien sama sekali tidak merusak martabat manusia. Justru tindakan semacam ini dapat meningkatkan martabat manusia, Karena menolong sesame manusia adalah sesuatu yang mulia, apalagi menolong orang yang terancam jiwanya.
Hak seseorang atas darahnya menjadi hilang tatkala ia menyetujui untuk mendonorkannya. Namun, hokum islam melarang seseorang untuk mendonorkan darahnya bila tindakannya itu bisa berakibat buruk pada keselamatan dan kesehatannya. Jadi syarat-syarat berikut ini harus terpenuhi, yaitu :
a) Donor secara ikhlas berniat mendonorkan darahnya
b) Tidak ada bahaya serius yang mengancam jiwa atau kesehatan donor akibat transfuse itu.
c) Harus sudah dipastikan bahwa tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan nyawa resipien kecuali dengan transfusi
d) Derajat keberhasilan melalui cara pengobatan ini diperkirakan tinggi.
Pengambilan darah dari tubuh donor dan pentransfusiannya ke dalam tubuh resepien sama sekali tidak merusak martabat manusia. Justru tindakan semacam ini dapat meningkatkan martabat manusia, Karena menolong sesame manusia adalah sesuatu yang mulia, apalagi menolong orang yang terancam jiwanya.
Hak seseorang atas darahnya menjadi hilang tatkala ia menyetujui untuk mendonorkannya. Namun, hokum islam melarang seseorang untuk mendonorkan darahnya bila tindakannya itu bisa berakibat buruk pada keselamatan dan kesehatannya. Jadi syarat-syarat berikut ini harus terpenuhi, yaitu :
a) Donor secara ikhlas berniat mendonorkan darahnya
b) Tidak ada bahaya serius yang mengancam jiwa atau kesehatan donor akibat transfuse itu.
c) Harus sudah dipastikan bahwa tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan nyawa resipien kecuali dengan transfusi
d) Derajat keberhasilan melalui cara pengobatan ini diperkirakan tinggi.
3. Menurut Dr. Abd al-Salam al-Syukri
Transfuse darah merupakan praktik yang diperbolehkan dan bergantung pada hal-hal berikut :
a) Donor tidak boleh menuntut imbalan financial dalam bentuk apapun.
b) Hidup donor sama sekali tidak terganggu setelah darah tidak diambil dari tubuhnya.
c) Donor harus bebas dari segala macam penyakit menular, dan ia tidak menderita kecanduan sesuatu.
Transfuse darah merupakan praktik yang diperbolehkan dan bergantung pada hal-hal berikut :
a) Donor tidak boleh menuntut imbalan financial dalam bentuk apapun.
b) Hidup donor sama sekali tidak terganggu setelah darah tidak diambil dari tubuhnya.
c) Donor harus bebas dari segala macam penyakit menular, dan ia tidak menderita kecanduan sesuatu.
4. Menurut Syekh Jad al-Haqq
Syariat memperbolehkan mengambil manfaat dari tubuh seseorang seperti darah dan mentransfusikannya pada tubuh orang lain sebagai sebuah cara pengobatan, dengan syarat bahwa tidak ada lagi cara pengobatan lain yang bisa di tempuh.
Syariat memperbolehkan mengambil manfaat dari tubuh seseorang seperti darah dan mentransfusikannya pada tubuh orang lain sebagai sebuah cara pengobatan, dengan syarat bahwa tidak ada lagi cara pengobatan lain yang bisa di tempuh.
C. Jenis-jenis pendonor dan hukumnya
Richard M. Titmus, mengidentifikasi delapan tipe donor. Ringkasan mengenai masing-masing tipe donor berikut ini akan memperkuat pandangan tersebut, antara lain :
1.
Donor
bayaran : motif utama donor tipe ini adalah sekedar menjual darahnya dengan
harga pasaran. Ia melakukannya sebagai alternative untuk mendapatkan uang.
2.
Donor
professional : orang yang memang terdaftar sebagai donor, dan menyumbangkan
darahnya secara rutin. Di samping di bayar, mereka tiap minggu atau setiap
bulan juga menerima kompensasi berupa suplemen zat besi harian.
3.
Donor
yang dibayar dan dibujuk : donor ini dibayar atas derma darah yang telah ia
berikan. Donor darah yang ia lakukan bukan karena dorongan pribadi, melainkan
karena desakan kelompok di tempat ia bekerja atau di masyarakat.
4.
Donor
bayar hutang : orang yang telah menerima transfuse darah dan diharuskan
mengganti apa yang telah ia terima itu dengan darah dan uang. Atau orang yang
dikenai kewajiban untuk mendonorkan darahnya karena ia berhutang darah pada
waktu sakit. Untuk setiap kantong darah yang pernah ia terima, ia harus
mengganti dengan dua atau tiga kantong darah.
5.
Donor
kredit keluarga : orang yang setiap tahunnya mendonorkan satu pint (0,568
liter) darahnya untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan darah bagi diri dan
keluarganya di masa depan.
6.
Donor
wajib sukarela : para tentara dan penghuni penjara. Para tentara biasanya
diwajibkan untuk secara sukarela menyumbangkan darahnya. Sebagai imbalannya,
mereka di bayar atau bisa juga diberi imbalan lain seperti cuti tambahan. Para
penghuni penjara uga di bayar atas darah yang merekasumbangkan dan
kadang-kadang mereka juga diberi remisi masa hukuman.
7.
Donor
suka rela terbatas : kompensasi kesejahteraan yang ditawarkan oleh pemerintah.
Di antara kompensasi itu adalah gaji penuh pada hari-hari libur dan liburqan
gratis.
8.
Donor
sukarela kemasyarakatan : donor ini dianggap sebagai satu-satunya donor sejati,
karena ia menyumbangkan darah secara cuma-Cuma pada orang lain, baik yangia
kenal maupun tidak. Motivasinya dalah murni altruistic (demi kepentingan orang
lain dan masyarakat luas).
Bila tipe-tipe donor di atas dianalisis menurut system islam, maka dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut : 1) tipe 1, 2, 3, 4, dan 6 tidak dapat diterima karena mereka bisa dibilang “membisniskan” darah. 2) tipe 5 dan 8 dapat diterima karena motivasinya adalah mengantisipasi saat-saat genting ketika darah benar-benar dibutuhkan. 3) tipe 7 tidak menjadi masalah bagi Abu Sinnah karena ia memang termasuk di antara yang berpendapat tidak ada larangan bagi pemerintah untuk mendorong rakyatnya agar mendonorkan darah dengan jalan member bahan makanan sebagai pengganti atas energy yang hilang.
Bila tipe-tipe donor di atas dianalisis menurut system islam, maka dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut : 1) tipe 1, 2, 3, 4, dan 6 tidak dapat diterima karena mereka bisa dibilang “membisniskan” darah. 2) tipe 5 dan 8 dapat diterima karena motivasinya adalah mengantisipasi saat-saat genting ketika darah benar-benar dibutuhkan. 3) tipe 7 tidak menjadi masalah bagi Abu Sinnah karena ia memang termasuk di antara yang berpendapat tidak ada larangan bagi pemerintah untuk mendorong rakyatnya agar mendonorkan darah dengan jalan member bahan makanan sebagai pengganti atas energy yang hilang.
D.
Bank
darah
Fakta bahwa riset serius di bidang kedokteran sedang dilakukan untuk menemukan pengganti darah manusia, permintaan darah terus mengalir, baik di negara-negara berteknologi maju maupun di negara-negara berkembang. Secara umum mendesaknya kebutuhan akan darah telah menimbulkan dua tipe bank darah, yaitu :
Fakta bahwa riset serius di bidang kedokteran sedang dilakukan untuk menemukan pengganti darah manusia, permintaan darah terus mengalir, baik di negara-negara berteknologi maju maupun di negara-negara berkembang. Secara umum mendesaknya kebutuhan akan darah telah menimbulkan dua tipe bank darah, yaitu :
1.
Bank darah komersial : bank darah
yang berorientasi laba. Dengan kata lain, lembaga ini memperoleh suplai darah
dari para donor yang dibayar. Darah kemudian di kelolah dan di jual ke rumah
sakit dengan memetik laba.
2.
Bank darah komersial : lembaga ini
merupakan bank darah nirlaba. Para donor sukarela kemasyarkatan menyupali darah
kepada lembaga-lembag ini tanpa menuntut bayaran atas jasa mereka ini.
Kadang-kadang, bank ini menuntut para pasien, setelah sembuh, untuk mengganti
dua atau tiga kali lipat dari darah yang telah mereka terima. Perlu disebutkan
disini bahwa beberapa rumah sakit memiliki bank darah sendiri.
Adapun pandangan islam tentang bank darah yaitu :
Menurut abu sinnah adalah boleh (jaiz) mengumpulkan darah dari para pendonor lalu menyimpannya pada bank darah untuk di transfusikan pada orang-orang yang sangat membutuhkannya akibat perang, kecalakaan kerja, dan kecelakaan kendaraan. Kebolehan ini ditentukan oleh fakta pada bank darah pada kenyataannya memang menjaga ketersediaan darah pada saat-saat dibutuhkan. Menurut Syekh Jad al-Haqq seseorang dibolehkan membayar sejumlah uang untuk memperoleh transfuse darah dari lembaga ini. Namun, pembayaran itu harus dipandang sebagai kompensasi bagi pengumpulan dan penyimpanannya, bukan sebagai pembelian. Karenanya, kompensasi itu mestinya di catat dalam dokumen lembaga tersebut dalam rangka menghindari kesangsian akan larangan tentangnya (membayar harga yang telah ditetapkan)
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Melakukan transfuse darah hukumnya diperbolehkan, dengan memperhatikan beberapa syarat yang harus dipenuhiü
Adanya bank darah untuk persediaan hukumnya boleh (jaiz)ü
Pemberian transfuse darah antar agama juga diperbolehkanü
3.2. Saran
Bagi anda yang ingin melakukan transfuse darah baik sebagai donor ataupun resepien harus mengikuti syarat yang telah di tentukan. Baik menurut agama maupun medis, hal ini perlu diperhatikan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
Adapun pandangan islam tentang bank darah yaitu :
Menurut abu sinnah adalah boleh (jaiz) mengumpulkan darah dari para pendonor lalu menyimpannya pada bank darah untuk di transfusikan pada orang-orang yang sangat membutuhkannya akibat perang, kecalakaan kerja, dan kecelakaan kendaraan. Kebolehan ini ditentukan oleh fakta pada bank darah pada kenyataannya memang menjaga ketersediaan darah pada saat-saat dibutuhkan. Menurut Syekh Jad al-Haqq seseorang dibolehkan membayar sejumlah uang untuk memperoleh transfuse darah dari lembaga ini. Namun, pembayaran itu harus dipandang sebagai kompensasi bagi pengumpulan dan penyimpanannya, bukan sebagai pembelian. Karenanya, kompensasi itu mestinya di catat dalam dokumen lembaga tersebut dalam rangka menghindari kesangsian akan larangan tentangnya (membayar harga yang telah ditetapkan)
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Melakukan transfuse darah hukumnya diperbolehkan, dengan memperhatikan beberapa syarat yang harus dipenuhiü
Adanya bank darah untuk persediaan hukumnya boleh (jaiz)ü
Pemberian transfuse darah antar agama juga diperbolehkanü
3.2. Saran
Bagi anda yang ingin melakukan transfuse darah baik sebagai donor ataupun resepien harus mengikuti syarat yang telah di tentukan. Baik menurut agama maupun medis, hal ini perlu diperhatikan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
B.
Transplantasi Organ.
Pengertian
Tansplantasi.
Zamzami Saleh (dalam
artikel Syari’ah Project, 2009) menjelaskan bahwa “Transplantasi adalah
pemindahan organ tubuh dari orang sehat atau dari mayat yang organ tubuhnya
mempunyai daya hidup dan sehat kepada tubuh orang lain yang memiliki organ
tubuh yang tidak berfungsi lagi, sehingga resipien (penerima organ tubuh) dapat
bertahan secara sehat.”
Tujuan
Transplantasi.
Zamzami Saleh (dalam
artikel Syari’ah Project, 2009) juga menjelaskan bahwa tujuan dari
transplantasi adalah “sebagai pengobatan dari penyakit karena islam sendiri
memerintahkan manusia agar setiap penyakit diobati, karena membiarkan penyakit
bersarang dalam tubuh dapat mengakibatkan kematian, sedangkan membiarkan diri
terjerumus dalam kematian (tanpa ikhtiyar) adalah perbuatan terlarang”.
Sebagaimana firman Allah dalam Al-qur’an Surat An-Nisa’ ayat 29 “Dan jangan lah
kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah maha penyayang kepadamu”.
Maksudnya apabila sakit
maka manusia harus berusaha secara optimal untuk mengobatinya sesuai kemampuan,
karena setiap penyakit sudah ditentukan obatnya, maka dalam hal ini
transplantasi merupakan salah satu bentuk pengobatan
Syarat-syarat Pelaksanaan Transplantasi.
Menyumbangkan organ tubuh diperbolehkan dalam islam
selama hal itu dilakukan berdasarkan batasan-batasan yang telah ditentukan oleh
syariat. Dengan demikian, Sheikh Ahmad Kutty (dalam artikel Islam.ca)
menuturkan beberapa syarat-syarat yang membolehkan transplantasi organ, yaitu:
a) Syarat bagi orang yang hendak
menyumbangkan organ dan masih hidup:
- Orang
yang akan menyumbangkan organ adalah orang yang memiliki kepemilikan penuh
atas miliknya sehingga dia mampu untuk membuat keputusan sendiri.
- Orang
yang akan menyumbangkan organ harus seseorang yang dewasa atau usianya
mencapai dua puluh tahun.
- Harus
dilakukan atas keinginannya sendiri tanpa tekanan atau paksaan dari
siapapun.
- Organ
yang disumbangkan tidak boleh organ vital yang mana kesehatan dan
kelangsungan hidup tergantung dari itu.
- Tidak
diperbolehkan mencangkok organ kelamin.
b) Syarat bagi mereka yang menyumbangkan
organ tubuh jika sudah meninggal:
- Dilakukan
setelah memastikan bahwa si penyumbang ingin menyumbangkan organnya
setelah dia meninggal. Bisa dilakukan melalui surat wasiat atau
menandatangani kartu donor atau yang lainnya.
- Jika
terdapat kasus si penyumbang organ belum memberikan persetujuan terlebih
dahulu tentang menyumbangkan organnya ketika dia meninggal maka
persetujuan bisa dilimpahkan kepada pihak keluarga penyumbang terdekat
yang dalam posisi dapat membuat keputusan atas penyumbang.
- Organ
atau jaringan yang akan disumbangkan haruslah organ atau jaringan yang
ditentukan dapat menyelamatkan atau mempertahankan kualitas hidup manusia
lainnya.
- Organ
yang akan disumbangkan harus dipindahkan setelah dipastikan secara
prosedur medis bahwa si penyumbang organ telah meninggal dunia.
- Organ
tubuh yang akan disumbangkan bisa juga dari korban kecelakaan lalu lintas
yang identitasnya tidak diketahui tapi hal itu harus dilakukan dengan
seizin hakim.
C.
Hukum Transplantasi.
Hukum tentang
transplantasi sangat bermacam-macam, ada yang mendukung dan ada pula yang
menolaknya. Oleh karena itu, dalam pembahasan ini akan menggabungkan
hukum-hukum dari beberapa sumber yaitu dari Abuddin (Ed) (2006) dan Zamzami
Saleh (2009), sebagai berikut:
Transplantasi
organ ketika masih hidup.
Pendapat
1: Hukumnya tidak Boleh
(Haram).Meskipun pendonoran tersebut untuk keperluan medis (pengobatan) bahkan
sekalipun telah sampai dalam kondisi darurat.
Dalil1:
Firman Allah SWT “Dan janganlah kamu membunuh dirimu sendiri, sesungguhnya
Allah maha penyayang kepadamu“ ( Q.S.An-Nisa’:4:29) dan Firman Allah SWT “Dan
Janganlah kamu jatuhkan dirimu dalam kebinasaan dan berbuat baiklah
sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik” (Q.S.Al-Baqarah
:2:195).
Maksudnya adalah bahwa
Allah SWT melarang manusia untuk membunuh dirinya atau melakukan
perbuatan yang membawa kepada kehancuran dan kebinasaan. Sedangkan orang yang
mendonorkan salah satu organ tubuhnya secara tidak langsung telah melakukan
perbuatan yang membawa kepada kehancuran dan kebinasaan. Padahal manusia tidak
disuruh berbuat demikian, manusia hanya disuruh untuk menjaganya (organ
tubuhnya) sesuai ayat di atas.
Manusia tidak memiliki hak
atas organ tubuhnya seluruhnya,karena pemilik organ tubuh manusia Adalah Allah
swt.
Pendapat
2: Hukumnya ja’iz (boleh)
namun memiliki syarat-syarat tertentu.
Dalil 2:
Seseorang yang mendonorkan organ tubuhnya kepada orang lain untuk
menyelamatkan hidupnya merupakan perbuatan saling tolong-menolong atas kebaikan
sesuai firman Allah swt “ Dan saling tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan
taqwa dan janganlah kamu saling tolong monolong dalam perbuatan dosa dan
permusuhan” (Qs.Al-ma’idah 2).
Setiap insan, meskipun
bukan pemilik tubuhnya secara pribadi namun memiliki kehendak atas apa saja
yang bersangkutan dengan tubuhnya, ditambah lagi bahwa Allah telah memberikan
kepada manusia hak untuk mengambil manfa’at dari tubuhnya, selama tidak membawa
kepada kehancuran, kebinasaan dan kematian dirinya (QS. An-Nisa’ 29 dan
al-Baqarah 95). Oleh karena itu, sesungguhnya memindahkan organ tubuh ketika
darurat merupakan pekerjaan yang mubah (boleh) dengan dalil
Transplantasi
organ ketika dalam keadaan koma.
Pendapat:
Melakukan transplantasi organ tubuh donor dalam keadaan masih hidup, meskipun
dalam keadaan koma, hukumnyaharam.
Dalil:
Sesungguhnya perbuatan mengambil salah satu organ tubuh manusia dapat membawa
kepada kemudlaratan, sedangkan perbuatan yang membawa kepada kemudlaratan
merupakan perbuatan yang terlarang sesuai Hadist nabi Muhammad saw “Tidak boleh
melakukan pekerjaan yang membawa kemudlaratan dan tidak boleh ada kemudlaratan”
Manusia wajib berusaha
untuk menyembuhkan penyakitnya dem mempertahankan hidupnya, karena hidup dan
mati itu berada ditangan Allah SWT. Oleh sebab itu, manusia tidak boleh
mencabut nyawanya sendiri atau mempercepat kematianorang lain, meskipun
mengurangi atau menghilangkan penderitaan pasien.
Transplantasi
organ ketika dalam keadaan telah meninggal.
Pendapat
1: Hukumnya
Haram karena kesucian tubuh manusia setiap bentuk agresi atas tubuh manusia
merupakan hal yang terlarang.
Dalil:
Ada beberapa perintah Al-Qur’an dan Hadist yang melarang. Diantara hadist yang
terkenal, yaitu:
“Mematahkan tulang mayat
seseorang sama berdosanya dan melanggarnya dengan mematahkan tulang orang
tersebut ketika ia masih hidup”
Tubuh manusia adalah
amanah, pada dasarnya bukanlah milik manusia tapi merupakan amanah dari Allah
yang harus dijaga, karena itu manusia tidak memiliki hak untuk mendonorkannya
kepada orang lain.
Pendapat 2: Hukumnya Boleh.
Pendapat 2: Hukumnya Boleh.
Dalil:
Dalam kaidah fiqiyah menjelaskan bahwa “Apabila bertemu dua hal yang
mendatangkan mafsadah (kebinasaan), maka dipertahankan yang mendatangkan
madharat yang paling besar dengan melakukan perbuatan yang paling ringan
madharatnya dari dua madharat”.
Selama
dalam pekerjaan transplantasi itu tidak ada unsur merusak tubuh mayat sebagai
penghinaan kepadanya.
D. Alasan Dasar
Pandangan-Pandangan Transplantasi Organ.
Sebagaimana halnya dalam
kasus-kasus lain, karena karakter fikih dalam Islam, pendapat yang muncul tak
hanya satu tapi beragam dan satu dengan lainnya, bahkan ada yang saling
bertolak belakang, meski menggunakan sumber-sumber yang sama. Dalam pembahasan
ini akan disampaikan beberapa pandangan yang cukup terkenal, dan alasan-alasan
yang mendukung dan menentang transplantasi organ, menurut aziz dalam beranda,
yaitu:
Pandangan
yang menentang pencangkokan organ.
Ada tiga alasan yang
mendasar, yaitu:
a)
Kesucian hidup/tubuh manusia.
Setiap bentuk agresi
terhadap tubuh manusia dilarang, karena ada beberapa perintah yang jelas mengenai
ini dalam Al-Qur’an. Dalam kaitan ini ada satu hadis (ucapan) Nabi Muhammad
yang terkenal yang sering dikutip untuk menunjukkan dilarangnya manipulasi atas
tubuh manusia, meskipun sudah menjadi mayat, “Mematahkan tulang mayat seseorang
adalah sama berdosa dan melanggarnya dengan mematahkan tulang orang itu ketika
ia masih hidup”
b)
Tubuh manusia adalah amanah.
Hidup dan tubuh manusia
pada dasarnya adalah bukan miliknya sendiri, tapi pinjaman dari Tuhan dengan
syarat untuk dijaga, karena itu manusia tidak boleh untuk merusak pinjaman yang
diberikan oleh Allah SWT.
c)
Tubuh tak boleh diperlakukan sebagai benda material semata.
Pencangkokan dilakukan
dengan mengerat organ tubuh seseorang untuk dicangkokkan pada tubuh orang lain,
disini tubuh dianggap sebagai benda material semata yang bagian-bagiannya bisa
dipindah-pindah tanpa mengurangi ketubuh seseorang.
Pandangan
yang mendukung pencangkokan organ.
Ada beberapa dasar, antara
lain:
a)
Kesejahteraan publik (maslahah).
Pada dasarnya manipulasi
organ memang tak diperkenankan, meski demikian ada beberapa pertimbangan lain
yang bisa mengalahkan larangan itu, yaitu potensinya untuk menyelamatkan hidup
manusia yang mendapat bobot amat tinggi dalam hukum Islam. Dengan alasan ini
pun, ada beberapa kualifikasi yang mesti diperhatikan, yaitu (1) Pencangkokan
organ boleh dilakukan jika tak ada alternatif lain untuk menyelamatkan nyawa,
(2) derajat keberhasilannya cukup tinggi ada persetujuan dari pemilik organ
asli (atau ahli warisnya), (3) penerima organ sudah tahu persis segala
implikasi pencangkokan ( informed consent )
b)
Altruisme.
Ada kewajiban yang amat
kuat bagi muslim untuk membantu manusia lain khususnya sesama muslim,
pendonoran organ secara sukarela merupakan bentuk altruisme yang amat tinggi
(tentu ini dengan anggapan bahwa si donor tak menerima uang untuk tindakannya),
dan karenanya dianjurkan.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Transplantasi merupakan
hal yang sangat rumit dalam pengambilan tindakan yang tepat, karena banyak
pendapat yang menentang dan mendukung tentang pelaksanaan transplantasi dengan
berbagai alasan yang berbeda-beda. dari uraian pembahasan diatas, maka dapat
disimpulkan bahwa hukum pelaksanaan transplantasi organ itu bergantung pada
alasana mengapa harus melakukan hal tersebut. jika alasannya tidak mendukung
maka kegiatan transplantasi tesebut sangat dilarang dan hukumnya haram serta
ilegal.
B. Saran
Jika kita harus melakukan
transplantasi organ, maka seharusnya memenuhi persyaratan-persyaratan yang
tidak merugikan pihak-pihak yang berkaitan, baik dari pendonor maupun resipien,
serta harus memenuhi kaidah atau syarat-syarat islam
Waktu
persalinan adalah salah satu momen paling mendebarkan bagi seorang wanita.
Karena momen ini merupakan bagian dari jihad teragung kaum wanita. Di mana
seorang wanita yang meninggal saat melahirkan bahkan termasuk golongan manusia
yang mati syahid (HR. Abu Dawud dan Ahmad). Setelah momen ini, seorang wanita
akan memulai babak baru kehidupannya menjadi seorang ibu yang mempunyai
kewajiban mendidik buah hatinya. Dan sebaik-baik pendidikan untuk anak adalah
dengan pendidikan agama.
Ternyata,
momen penting ini pun tak lepas dari perhatian syariat karena pada saat
persalinan seorang wanita akan mengeluarkan darah nifas. Sebagaimana haid dan
istihadhah, darah nifas termasuk jenis darah
yang biasa terjadi pada wanita. Oleh karena itu, para muslimah hendaknya mengetahui hukum-hukum
seputar darah nifas.
Apakah
Darah Nifas itu??
Nifas adalah darah yang keluar dari rahim karena melahirkan. Baik darah itu keluar bersamaan ketika proses melahirkan, sesudah atau sebelum melahirkan, yang disertai dengan dirasakannya tanda-tanda akan melahirkan, seperti rasa sakit, dll. Rasa sakit yang dimaksud adalah rasa sakit yang kemudian diikuti dengan kelahiran. Jika darah yang keluar tidak disertai rasa sakit, atau disertai rasa sakit tapi tidak diikuti dengan proses kelahiran bayi, maka itu bukan darah nifas.
Nifas adalah darah yang keluar dari rahim karena melahirkan. Baik darah itu keluar bersamaan ketika proses melahirkan, sesudah atau sebelum melahirkan, yang disertai dengan dirasakannya tanda-tanda akan melahirkan, seperti rasa sakit, dll. Rasa sakit yang dimaksud adalah rasa sakit yang kemudian diikuti dengan kelahiran. Jika darah yang keluar tidak disertai rasa sakit, atau disertai rasa sakit tapi tidak diikuti dengan proses kelahiran bayi, maka itu bukan darah nifas.
Selain
itu, darah yang keluar dari rahim baru disebut dengan nifas jika wanita
tersebut melahirkan bayi yang sudah berbentuk manusia. Jika seorang wanita
mengalami keguguran dan ketika dikeluarkan janinnya belum berwujud manusia,
maka darah yang keluar itu bukan darah nifas. Darah tersebut dihukumi sebagai
darah penyakit (istihadhah) yang tidak menghalangi dari shalat, puasa dan
ibadah lainnya.
Perlu
ukhty ketahui bahwa waktu tersingkat janin berwujud manusia adalah delapan
puluh hari dimulai dari hari pertama hamil. Dan sebagian pendapat mengatakan
sembilan puluh hari.
Sebagaimana
hadits dari Ibnu Mas’ud sradhiyallahu ‘anhu , bahwasanya Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam memberitahukan kepada kami, dan beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah orang yang benar dan yang mendapat berita yang
benar, “Sesungguhnya seseorang dari kalian dikumpulkan penciptaannya dalam
perut ibunya selama 40 hari dalam bentuk nuthfah, kemudian menjadi ‘alaqah
seperti itu pula, kemudian menjadi mudhghah seperti itu pula. Kemudian seorang
malaikat diutus kepadanya untuk meniupkan ruh di dalamnya, dan diperintahkan
kepadanya untuk menulis empat hal, yaitu menuliskan rizkinya, ajalnya, amalnya,
dan celaka atau bahagianya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Menurut
Ibnu Taimiyah, “Manakala seorang wanita mendapati darah yang disertai rasa
sakit sebelum masa (minimal) itu, maka tidak dianggap sebagai nifas. Namun jika
sesudah masa minimal, maka ia tidak shalat dan puasa. Kemudian apabila sesudah
kelahiran ternyata tidak sesuai dengan kenyataan (bayi belum berbentuk
manusia-pen) maka ia segera kembali mengerjakan kewajiban. Tetapi kalau
ternyata demikian (bayi sudah berbentuk manusia-pen), tetap berlaku hukum
menurut kenyataan sehingga tidak perlu kembali mengerjakan kewajiban.” (kitab Syarhul
Iqna’)
Secara
ringkas dapat disimpulkan beberapa hal untuk mengenali darah nifas:
- Nifas adalah darah yang
keluar dari rahim disebabkan melahirkan, baik sebelum, bersamaan atau
sesudah melahirkan
- Disertai dengan
tanda-tanda akan melahirkan (seperti rasa sakit, dll) yang diikuti dengan
proses kelahiran
- Bayi yang dilahirkan/
dikeluarkan sudah berbentuk manusia (terdapat kepala, badan dan anggota
tubuh lain seperti tangan dan kaki, meskipun belum sempurna benar)
Lama
Keluarnya Darah Nifas
Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin dalam Risalah fid Dima’ Ath-Thabi’iyah lin Nisa mengatakan bahwa ulama berbeda pendapat tentang apakah nifas itu ada batas minimal dan maksimalnya.
Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin dalam Risalah fid Dima’ Ath-Thabi’iyah lin Nisa mengatakan bahwa ulama berbeda pendapat tentang apakah nifas itu ada batas minimal dan maksimalnya.
Adapun
Syaikh ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al Khalafi di dalam Al Wajiz fii Fiqhis
Sunnah wal Kitabil ‘Aziz mengatakan bahwa nifas ada batas maksimalnya,
yaitu empat puluh hari. Pendapat beliau berdasarkan hadits dari Ummu Salamah radhiyallahu
‘anha. Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha berkata, “Kaum wanita yang
nifas tidak shalat pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selama
empat puluh hari.” (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi. Hadits hasan shahih).
Waktu empat puluh hari dihitung sejak keluarnya darah, baik darahnya itu keluar
bersamaan, sebelum atau sesudah melahirkan.
Pendapat
yang kuat, insyaa Allah, pada dasarnya tidak ada batasan minimal atau maksimal
lama waktu nifas. Waktu empat puluh hari adalah kebiasaan sebagian besar kaum
wanita. Akan tetapi apabila sebelum empat puluh hari wanita tersebut telah
suci, maka ia wajib mandi dan melakukan ibadah wajibnya lagi.
Mengenai
banyaknya darah, juga tidak ada batasan sedikit atau banyaknya. Selama darah
nifas masih keluar maka sang wanita belum wajib mandi (bersuci).
Secara
ringkas, ada beberapa kondisi wanita yang sedang nifas:
- Darah nifas berhenti
keluar sebelum 40 hari dan tidak keluar lagi setelah itu. Maka sang wanita
wajib mandi (bersuci) dan kemudian melakukan ibadah wajibnya lagi, seperti
shalat dan puasa, dll.
- Darah nifas berhenti
keluar sebelum 40 hari, akan tetapi kemudian darah keluar lagi sebelum
hari ke-40. Maka, jika darah berhenti ia mandi (bersuci) untuk shalat dan
puasa. Jika darah keluar, ia harus meninggalkan shalat dan puasa. Akan
tetapi, bila berhentinya darah kurang dari sehari, maka tidak dihukumi
suci.
- Darah nifas terus keluar
dan baru berhenti setelah hari ke-40. Maka sang wanita harus mandi
(bersuci).
- Darah terus keluar hingga
melebihi waktu 40 hari. Ada beberapa kondisi:
1.
Darah nifas berhenti dilanjutkan keluarnya darah haid (berhentinya
darah nifas bertepatan waktu haid), maka sang wanita tetap meninggalkan shalat
dan puasa. Darah yang keluar setelah 40 hari dihukumi sebagai darah haid. Sang
wanita baru wajib mandi (bersuci) setelah darah haid tidak keluar lagi.
2.
Darah tetap keluar setelah 40 hari dan tidak bertepatan dengan kebiasaan
masa haid, ulama berbeda pendapat mengenai hal ini. Menurut ulama yang
berpendapat bahwa lama maksimal nifas adalah 40 hari, menilai darah yang keluar
setelah 40 hari sebagai darah fasadh (penyakit) yang statusnya adalah
sebagaimana istihadhah. Sedangkan menurut ulama yang berpendapat bahwa
tidak ada batasan minimal dan maksimal lama nifas, mereka menilai darah yang
keluar setelah 40 hari tetap sebagai darah nifas. Pendapat inilah yang lebih
kuat, insya Allah.
Akan
tetapi, jika ingin berhati-hati, setelah 40 hari dinilai suci. Sehingga sang
wanita bersuci untuk melaksanakan shalat dan puasa, meski darah tetap keluar.
Akan tetapi hal ini tidak berlaku pada 2 keadaan:
- Ada tanda bahwa darah akan
berhenti/ makin sedikit. Maka sang wanita menunggu darah berhenti keluar,
baru kemudian mandi (bersuci)
- Ada kebiasaan dari
kelahiran sebelumnya, maka itu yang dipakai. Misal, sang wanita telah
mengalami beberapa kali nifas yang lamanya 50 hari. Maka batasan ini yang
dipakai.
Hal-hal
yang Diharamkan bagi Wanita yang Nifas
Para ulama telah bersepakat bahwa wanita yang sedang nifas diharamkan melakukan apa saja yang diharamkan bagi wanita yang haid. Antara lain,
Para ulama telah bersepakat bahwa wanita yang sedang nifas diharamkan melakukan apa saja yang diharamkan bagi wanita yang haid. Antara lain,
- Sholat.
Wanita yang haid dan nifas haram melakukan shalat fardhu maupun sunnah, dan mereka tidak perlu menggantinya apabila suci. (Ibnu Hazm di dalam kitabnya al-Muhalla) - Puasa.
Wanita yang sedang nifas tidak boleh melakukan puasa wajib maupun sunnah. Akan tetapi ia wajib mengqadha puasa wajib yang ia tinggalkan pada masa nifas. Berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Ketika kami mengalami haid, kami diperintahkan untuk mengqadha puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha shalat.” (Muttafaq ‘alaih) - Thawaf.
Wanita haid dan nifas diharamkan melakukan thawaf keliling ka’bah, baik yang wajib maupun sunnah, dan tidah sah thawafnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Lakukanlah apa yang dilakukan jamaah haji, hanya saja jangan melakukan thawaf di ka’bah sampai kamu suci.” (HR. Bukhari dan Muslim) - Jima’.
(lihat sub judul “Hukum Suami yang Bercampur dengan Istri yang sedang Nifas”) - Tidak bleh diceraikan.
Diharamkan bagi suami menceraikan istrinya yang sedang haid atau nifas. Allah Ta’ala berfirman, yang artinya, “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (dengan wajar).” (Qs. ath-Thalaq: 1)
Hukum-hukum
Seputar Nifas
Tidak ada perbedaan hukum antara haid dan nifas, kecuali beberapa hal di bawah ini:
Tidak ada perbedaan hukum antara haid dan nifas, kecuali beberapa hal di bawah ini:
1.
Iddah
Apabila wanita tidak sedang hamil, masa iddah dihitung dengan haid, bukan dengan nifas. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Wanita-wanita yang dicerai hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’…” (Qs. al-Baqarah: 228)
Menurut Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, yang dimaksud ‘quru‘ adalah haid, dan inilah pendapat yang lebih kuat, insyaa Allah. Oleh karena itu, masa iddah dihitung berdasarkan haid, bukan nifas. Sebab, jika suami menceraikan istrinya sebelum melahirkan, masa iddahnya habis karena melahirkan, bukan karena nifas. Adapun jika suami menceraikan istrinya setelah melahirkan, maka masa iddahnya adalah sampai sang istri mendapat 3 kali haid.
Apabila wanita tidak sedang hamil, masa iddah dihitung dengan haid, bukan dengan nifas. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Wanita-wanita yang dicerai hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’…” (Qs. al-Baqarah: 228)
Menurut Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, yang dimaksud ‘quru‘ adalah haid, dan inilah pendapat yang lebih kuat, insyaa Allah. Oleh karena itu, masa iddah dihitung berdasarkan haid, bukan nifas. Sebab, jika suami menceraikan istrinya sebelum melahirkan, masa iddahnya habis karena melahirkan, bukan karena nifas. Adapun jika suami menceraikan istrinya setelah melahirkan, maka masa iddahnya adalah sampai sang istri mendapat 3 kali haid.
2. Masa
Ila’
Ila’ adalah sumpah seorang laki-laki untuk tidak melakukan jima’ terhadap istrinya selamanya atau lebih dari empat bulan. Setelah masa empat bulan, bila sang istri meminta untuk berhubungan, maka sang suami harus memilih antara jima’ atau bercerai.
Ila’ adalah sumpah seorang laki-laki untuk tidak melakukan jima’ terhadap istrinya selamanya atau lebih dari empat bulan. Setelah masa empat bulan, bila sang istri meminta untuk berhubungan, maka sang suami harus memilih antara jima’ atau bercerai.
Masa
haid termasuk hitungan masa ila’, sedangkan masa nifas tidak. Jadi, apabila
seorang suami bersumpah untuk tidak berjima’ dengan istrinya, sedangkan
istrinya sedang dalam keadaan nifas, maka masa ila’ ditetapkan empat bulan
ditambah masa nifas. Setelah masa itu, bila sang istri meminta untuk melakukan
jima’, sang suami harus memilih apakah jima’ atau bercerai.
3.
Balighnya seorang wanita dihitung dari saat haid pertama kali, bukan nifas.
Hukum
Suami yang Bercampur dengan Istri yang sedang Nifas
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Menggauli wanita nifas sama halnya dengan wanita haid, hukumnya haram menurut kesepakatan ulama.” (Lihat Majmu’ Fatawa)
Allah Ta’ala berfirman, yang artinya, “Mereka bertanya kepadamu tentang wanita haid, maka katakanlah, “Bahwa haid adalah suatu kotoran, maka janganlah kalian mendekati mereka sebelum mereka suci.” (Qs. al-Baqarah: 222)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Menggauli wanita nifas sama halnya dengan wanita haid, hukumnya haram menurut kesepakatan ulama.” (Lihat Majmu’ Fatawa)
Allah Ta’ala berfirman, yang artinya, “Mereka bertanya kepadamu tentang wanita haid, maka katakanlah, “Bahwa haid adalah suatu kotoran, maka janganlah kalian mendekati mereka sebelum mereka suci.” (Qs. al-Baqarah: 222)
Seorang
suami boleh sekedar bercumbu dengan istri yang sedang nifas asal tidak sampai
jima’. Akan tetapi bila sampai terjadi jima’, para ulama berselisih pendapat
apakah wajib membayar kaffarah (denda) ataukah tidak (Lihat al-Mughni oleh Imam
Ibnu Qudamah rahimahullah).
Pendapat
yang lebih kuat, insya Allah, wajib membayar kaffarah. Hal ini
berdasarkan hadits Ibnu Abbas sradhiyallahu ‘anhu . Dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam , ketika berbicara tentang seorang suami yang mencampuri
istrinya di waktu haid, Rasulullah bersabda, “Hendaklah ia bershadaqah satu
dinar atau separuh dinar.” (Shahih Ibnu Majah no:523, ‘Aunul Ma’bud 1:445
no:261, Nasa’ai I:153, Ibnu Majah 1:210 no:640. Hadits ini dishahihkan oleh
Al-Albani)
Adapun
apabila seorang wanita telah suci dari nifas sebelum 40 hari, kebanyakan ulama
berpendapat bahwa suami tidak dilarang untuk menggaulinya. Dan inilah pendapat
yang kuat. Karena tidak ada dalil syar’i yang melarangnya.
Riwayat
yang ada hanyalah dari Imam Ahmad dari Utsman bin Abu Al-Ash bahwa istrinya
datang kepadanya sebelum empat puluh hari, lalu ia berkata, “Jangan engkau
dekati aku!” Akan tetapi, ucapan Utsman tersebut bukan berarti seorang suami
terlarang menggauli istrinya. Sikap Utsman tersebut mungkin timbul karena
kehati-hatiannya, yaitu khawatir istrinya belum suci benar, atau takut dapat
mengakibatkan pendarahan disebabkan senggama atau hal lain. (Lihat al-Wajiz
fii Fiqhis Sunnah wal Kitabil ‘Aziz)
Karena
itu, apabila pada diri seorang suami atau istri timbul keragu-raguan, maka
hendaklah memastikan dahulu, apakah sang istri benar-benar telah suci dari
darah nifasnya. Karena secara medis, jima’ aman dilakukan bila sang istri telah
melewati masa nifas, kecuali bila saat itu sang istri langsung mengalami haid,
terjadi perdarahan, atau sedang menjalani terapi tertentu. Apabila masih ragu,
hendaklah berkonsultasi dengan dokter. Apakah kondisi sang istri telah normal
dan benar-benar pulih secara medis sehingga bisa dicampuri oleh suaminya.
Karena dalam hal ini kondisi setiap wanita berbeda-beda. Tidak selayaknya
seorang muslim melakukan hal yang berbahaya dan membahayakan orang lain.
Wallahu Ta’ala a’lam.
Wallahu Ta’ala a’lam.
Maraaji’
:
Al Wajiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitabil ‘Aziz (Terj.), Syaikh ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al Khalafi (Pustaka As Sunnah)
Darah Kebiasaan Wanita (terjemahan Risalah fid Dima’ Ath-Thabi’iyah lin Nisa), Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin (penerbit Darul Haq)
Catatan Daurah Muslimah “Darah Kebiasaan Wanita” oleh ustadz Abu Ukkasyah Aris Munandar, tahun 2007
Catatan Kajian Al Wajiz oleh ustadz Muslam, tahun 2004
Al Wajiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitabil ‘Aziz (Terj.), Syaikh ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al Khalafi (Pustaka As Sunnah)
Darah Kebiasaan Wanita (terjemahan Risalah fid Dima’ Ath-Thabi’iyah lin Nisa), Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin (penerbit Darul Haq)
Catatan Daurah Muslimah “Darah Kebiasaan Wanita” oleh ustadz Abu Ukkasyah Aris Munandar, tahun 2007
Catatan Kajian Al Wajiz oleh ustadz Muslam, tahun 2004
No comments:
Post a Comment