BERBAGI ILMU

Translate

close

Friday, July 14, 2017

SKRIPSI UPAYA TOKOH AGAMA DALAM PENYEBARAN AGAMA ISLAM DI DESA RANUPANI KECAMATAN SENDURO KABUPATEN LUMAJANG



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Kehidupan beragama pada dasarnya merupakan kepercayaan terhadap keyakinan adanya kekuatan gaib, luar biasa atau supernatural yang berpengaruh terhadapa kehidupan individu dan masyarakat, bahkan terhadap segala gejala Alam. Kepercayaan itu menimbulkan perilaku tertentu, seperti berdoa, memuja dan lainnya, serta menimbulkan sikap mental tertentu, seperti rasa takut, rasa optimis, pasrah, dan lainya dari individu dan masyarakat yang mempercayainya. Karenanya, keinginan, petunjuk, dan ketentuan kekuatan gaib harus di patuhi kalau manusia dan masyarakat ingin kehidupan ini berjalan dengan baik dan selamat. Kepercayaan beragama yang bertolak dari kekuatan gaib ini tampak aneh, tidak alamiah dan tidak rasional dalam pandangan individu dan masyarakat modern yang terlalu dipengaruhi oleh pandangan bahwa sesuatu diyakini ada kalau konkrit, rasional, alamiah atau terbukti secara empirik dan ilmiah. Namun demikian, kehidupan beragama adalah kenyataan hidup manusia yang ditemukan sepanjang sejarah masyarakat dan kehidupan pribadinya.[1]
Manusia pada dasarnya mempunyai naluri untuk percaya kepada Tuhan dan menyembahnya, dan disebabkan berbagai latar belakang masing-masing manusia yang berbeda-beda dari satu tempat ke tempat dan dari satu masa ke masa, maka agama menjadi beraneka ragam dan berbeda-beda meskipun pangkal tolaknya sama, yaitu naluri untuk percaya kepada wujud maha tinggi tersebut. Keanekaragaman agama itu menjadi lebih nyata akibat usaha manusia sendiri untuk membuat agamanya lebih berfungsi dalam kehidupan sehari-hari, dengan mengaitkan kepada gejala-gejala dan mitos-mitos, yang kesemuanya itu merupakan pranata penunjang kepercayaan alami manusia kepada Tuhan dan fungsionalisasi kepercayaan itu dalam masyarakat.
Legenda-legenda dan mitos-mitos itu juga diperlukan manusia sebagai penunjang sistem nilai hidup mereka. Semua itu memberi kejelasan tentang eksistensi manusia dalam hubunganya dengan alam sekitarnya, sekaligus tentang bagaimana bentuk hubungan yang sebaik-baiknya, serta dengan wujud maha tinggi. Manusia tidak dapat hidup tanpa mitologi atau sistem penjelasan tentang alam dan kehidupan yang kebenarannya tidak perlu dipertanyakan lagi. Maka tidak ada kelompok manusia yang benar-benar bebas dari mitologi. Dan karena suatu mitos harus dipercayai begitu saja, maka ia melahirkan sistem kepercayaan.[2]
Keinginan kepada hidup beragama adalah salah satu dari sifat yang asli pada manusia. Itu adalah nalurinya, garizahnya, fitrahnya, kecenderungannya yang telah menjadi pembawaannya, dan bukan sesuatu yang dibuat-buat, atau sesuatu keinginan yang datang kemudian, lantaran pengaruh dari luar. Sama halnya dengan keinginannya kepada makan dan minum, berketurunan, memiliki harta benda, berkuasa dan bergaul dengan sesama manusia.
Dengan demikian, maka manusia pada dasarnya memanglah makhluk yang religious, yang sangat cenderung kepada hidup beragama itu adalah panggilan hati nuraninya. Sebab itu, andaikata Tuhan tidak mengutus Rasul-rasulnya untuk penyampaian agama-nya kepada manusia ini, namun mereka akan berusaha dengan ikhtiarnya sendiri untuk mencari agama itu sebagaimana ia berikhtiar untuk mencari makanan di waktu ia merasa lapar. Dan memang sejarang kehidupan manusia telah membuktikan, bahwa mereka dengan ikhtiar sendiri telah dapat menciptakan agamanya, yaitu yang kita sebut “Agama-agama Ardhiyah”. Apakah yang mendorong manusia sehingga sampai kepada agama dan hidup beragama ? Yang mendorong mereka ialah sifat-sifat dan pembawaan-pembawaan yang ada pada diri mereka juga, yang antara lain ialah : sifat ingin tahu, ingin melindungi diri, dan ingin menyatakan syukur atau terima kasih, dan lain-lain.[3]
Pada dasarnya Agama itu ada dua jenis, yaitu Agama wahyu, dan Agama budaya.
a)      Agama wahyu ialah ajaran Allah yang disampaikan kepada para rasul-nya, yaitu Islam. Agama Wahyu/samawi atau sama’i, ialah agama wahyu, dan Wahyu itu tidak langsung diturunkan kepada masyarakat, akan tetapi melalui Rasul atau Utusan Allah.Wahyu-wahyu itu diturunkan melalui makhluk gaib yang disebut malaikat kepada utusan itu. Petunjuk seorang manusia menjadi utusan oleh tuhan adalah gaib, karena  penyampaian wahyu oleh malaikat kepada manusia itu bersifat gaib.
Adapun ciri-ciri Agama Wahyu (langit), ialah :
1)   Secara pasti  dapat ditentukan lahirnya, dan bukan tumbuh dari masyarakat, melainkan diturukan kepada masyarakat
2)   Disampaikan oleh manusia yang dipilih Allah sebagai utusannya. Utusan itu bukan menciptakan agama, melainkan menyampaikannya.
3)   Memiliki kitab suci yang bersih dari campur tangan manusia.
4)   Ajarannya serba tetap, walaupun tafsirannya dapat berubah sesuai dengan kecerdasan dan kepekaan manusia.
5)   Konsep ketuhanannya adalah : Monotheisme mutlak (Tauhid).
6)   Kebenarannya adalah universal yaitu berlaku bagi setiap manusia, masa dan keadaan.
b)      Agama Budaya, adalah ajaran yang dihasilkan oleh pikiran atau persamaan manusia secara kumulatif. Adapun ciri-ciri agama budaya itu, ialah :
1)   Tumbuh secara kumulatif dalam masyarakat penganutnya
2)   Tidak disampaikan oleh utusan tuhan (Rasul Allah).
3)   Umumnya tidak memiliki kitab suci, kalaupun ada, akan mengalami perubaha-perubahan dalam perjalanan sejarahnya.
4)   Ajarannya dapat berubah-ubah, sesuai dengan perubahan akal pikiran masyarakatnya (penganutnya).
5)   Konsep ketuhanannya; dinamisme, animisme, politheisme, dan paling tinggi adalah monotheisme nisbi.
6)   Kebenaran ajarannya, tidak universal, yaitu tidak berlaku bagi setiap manusia, masa dan keadaan.[4]
Sewaktu Al-Qur’an diturunkan pada kira-kira tiga belas setengah abad yang lalu, di dunia sudah terdapat banyak agama dan banyak kitab yang di anggap suci oleh penganut-penganutnya. Di sekitar negara Arab terdapatlah orang-orang yang percaya kepada Kitab Perjanjian Lama dan Kitab Perjanjian Baru. Banyaklah orang-orang Arab yang menjadi Kristen atau condong ke arah Agama Kristen. Diantara orang-orang Arab itu ada juga yang memeluk Agama Yahudi. Di antara mereka yang memeluk Agama Yahudi adalah penduduk Madinah sendiri, seperti Ka’ab bin Asjraf seorang kepala suku di Madinah dan musuh Islam. Di Mekah sendiri di samping budak-budak yang beragama Kristen, terdapat juga orang-orang Mekah yang condong kepada Agama Kristen. Waraqah bin Naufal paman dari Khadijah, istri pertama dari Nabi Muhammad saw juga memeluk Agama Kristen. Ia faham bahasa Ibrani dan menterjemahkan Kitab Injil dari bahasa Ibrani ke bahasa Arab.
Di sebelah Ujung lain daripada negri Arab, hiduplah orang-orang Persia yang juga mempercayai seorang nabi nan sebuah Kitab Suci. Sekalipun Kitab Zend Avesta telah mengalami perubahan-perubahan oleh tangan manusia, tetapi kitab itu masih dianggap suci oleh beratus ribu pengikutnya dan suatu negeri yang kuat menjadi pendukungnya. Adapun di India Ktab Weda dipandang suci beribu-ribu tahun lamanya. Di situ ada juga Kitab Gita dari Sri Krisna dan ajaran Budha. Agama Kong hu chu menguasai negeri Tiongkok, tetapi pengaruh Budha makin hari makin meluas di negeri itu.
Dengan adanya kitab-kitab yang dipandang suci oleh pengikut-pengikutnya dan ajaran-ajaran itu, apakah dunia ini memerlukan kitab Suci yang lain lagi? Inilah sebenarnya satu pertanyaan yang ada pada setiap orang yang mempelajari Al-Qur’an.[5]
Agama-agama yang diturunkan kepada rasul-rasul sebelum Nabi Muhammad telah mengalami perubahan-perubahan. Itulah sebabnya Nabi Muhammad diutus dengan membawa kitab suci al-Quran untuk meluruskan dan sekaligus menyempurnakannya. Sedang agama budaya itu bersumber pada hasil pemikiran atau perasaa manusia secara kumulatif. Oleh sebab itu, kebenarannya juga terbatas bagi kelompok tertentu pada ruang serta waktu tertentu. Biasanya, makin berkembang suatu masyarakat maka makin kecil peranan agama budaya, sebab adanya berdasar pada pengalaman masa lalu.
Kalau kita kembalikan kepada pandangan islam, maka nyatalah bahwa manusia itu dijadikan Tuhan untuk beragama sebagai yang ditegaskan oleh Allah dalam Al-Quran sebagai berikut :
“Maka hadapkanlah mukamu kepada agama dengan selurus-lurusnya yaitu agama ciptaan Allah yang telah membuat manusia untuk beragama itu, tiada ada penggantian bagi ciptaan Allah; Ia adalah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (Q.S.Arrum : 30).
Oleh karena itulah Syeh Muhammad Abduh menyatakan bahwa Islam adalah agama fitrah manusia, jadi manusia berkemampuan dasar untuk beragama tersebut. Bagaimana juga, manusia adalah makhluk yang dapat dipengaruhi oleh hal-hal yang religious, meskipun nilai dan kedalamanpengaruh tersebut bagi masing-masingnya tidak sama. Sejalan dengan hal tersebut kenyataan sejarah manusia membuktikanbahwa manusia baik secara kelompokmaupun perseoranganselalu memiliki agama, meskipun bentuk dan corak atau isi agama bagi masing-masing orang atau kelompok tidak sama. Kenyataan demikian itu memperkuat pendapat bahwa manusia di dalam dirinya terdapat kemampuan dasar untuk beragama.
Berbagai nilai keagaman yang penuh dihayati manusia sepanjang sejarah itu senantiasa memiliki dasar-dasar yang mengandung persamaan-persamaan elemen yaitu perasaan takut, khawatir, cinta dan percaya kepada Yang Maha Gaib. Dan disinilah terletak sumbernya agama.[6]
Tabiat manusia tidak menyukai beban yang membatasi kemerdekaanya. Manusia senantiasa memperhatikan beban hukum dengan sangat hati-hati. Manusia tidak bergerak mengikuti perintah terkecuali kalau perintah-perintah itu dapat menawan hatinya, mempunyai daya dinamika. Syariat Islam dapat menarik manusia dengan amat cepat dan menerimanya dengan penuh ketetapan hati. Hal ini adalah karena Islam mengaitkan bahasanya dengan logika. Dan mendesak manusia bergerak dan berusaha serta memenuhi kehendak fitrah yang sejahtera. Sebagaimana hukum Islam menuju kepada toleransi, persamaan, kemerdekaan, menyuruh ma’ruf mencegah mungkar.[7]
Islam sudah masuk ke wilayah jawa semenjak abad ke-9 atas dasar inskripsi di leran, Gresik, yang menjelaskan adanya seorang yang bernama Fatimah binti Maimun, yang wafat pada tahun 1082. Pandangan ini mengundang keberatan berbagai kalangan karena diduga batu nisan tersebut dibawa masuk ke Jawa setelah tahun yang tertera di dalamnya. Ricklefs lebih jauh menyatakan bahwa yang dikubur di situ bukanlah orang jawa, tetapi kemungkinannya adalah orang luar yang kebetulan melancong di Jawa dan meninggal di sana.
Islam sudah berada di Jawa semenjak abad ke-14 berdasarkan batu nisan yang terdapat di Trowulan. Batu nisan tersebut menunjukkan angka 1368 M yang memberi indikasi bahwa pada tahun itu sudah ada orang Jawa dari kalangan kerajaan yang memeluk Islam atas perlindungan kalangan kerajaan. Kenyataan ini memberi petunjuk bahwa masuknya Islam pada tahun-tahun sebelum itu sudah barang tentu melalui kawasan pesisir yang kemudian menuju ke wilayah pedalaman.
Islam sudah berada dijawa pada abad ke-15 berdasarkan batu nisan dari makam Maulana Malik Ibrahim yang meninggal pada 1419 M. Beberapa pandangan menyatakan bahwa ia adalah seorang kaya berkebangsaan Persia yang bergerak di bidang perdagangan rempah – rempah. Pandangan lain menyatakan bahwa ia adalah salah seorang diantara Wali Sembilan yanng dianggap penyebar Islam di pulau jawa.
Kita harus mengingat kembali konsensus umum dalam studi-studi etnografi bahwa pandangan dunia Jawa tradisional, karena tersusun dari kekuatan-kekuatan spiritual dalam berbagai bentuk dan citra, sepertikekuatan pedang yang gaib, tempat-tempat keramat, ruh-ruh, dewa-dewa, guru-guru, dan aturan-aturan; dunia sinkretik jawa adalah apa yang disebut Weber sebagai “taman gaib” (garden of magic) sungguh belantara animistik.[8]
Sedikitnya ada dua alasan mengapa masalah pembangunan desa masih relevan dibahas. Pertama, kendati dalam dua dasawarsa terahir perkembangan kota maju dengan amat pesat, secara umum wilayah negara kita masih didominasi oleh daerah pedesaan. Hal ini diperkirakan masih akan berlangsung relatif lama. Benar di beberapa daerah ciri pedesaan itu susut perlahan bersamaan dengan proses industrialisasi dan urbanisasi. Akan tetapi itu tidak berarti hilang sama sekali. Ciri pedesaan tersebut bahkan masih akan bertahan sedemikian rupa sehingga mempengaruhi arah dan sifat perkembangan kota.
Kedua, kendati sejak awal tahun 1970-an pemerintah Orde Baru telah mencanangkan berbagai macam kebijaksanaan dan program pembangunan pedesaan yang ditandai oleh inovasi teknologi modern, secara umum kondisi sosial ekonomi desa masih memprihatinkan.[9]
Ketika Islam datang, sebenarnya kepulauan Nusantara sudah mempunyai peradaban yang bersumber kebudayaan asli pengaruh dari peradaban Hindu-Budha dari India, yang penyebaran pengaruhnya tidak merata. Di Jawa telah mendalam, di Sumatra merupakan  lapisan tipis, sedang di pulau-pulau lain belum terjadi. Walaupun demikian, Islam dapat cepat menyebar.[10]
Berdasarkan ulasan di atas, penyebaran agama Islam di Desa Ranupani di tandai dengan bangunan Masjid yang berdiri pada tahun 1983, yang dulunya hanya sebuah mushalah kecil yang dibangun oleh tokoh yang bernama Kasimin pada tahun 1972.
Kasimin adalah seorang yang beragama Hindu tetapi ia ingin medirikan mushalah karena banyak sekali teman – teman muslim datang dari desa-desa jauh yang membutuhkan mushalah untuk tumpangan melaksanakan sholat. Yang mengejutkan setelah pembangunan mushalah diselesaikan ternyata Kasimin masuk Islam. Dari sebuah mushalah yang berukuran 3 x 3 meter banyak yang mengikuti jejak Kasimin bahkan yang sebelumnya sangat menentang Kasimin juga menyatakan masuk Islam.
Dengan memperhatikan uraian tersebut diatas, penulis tertarik untuk mengetahui dengan mengamati secara teliti dan sistematis melalui pebelitian dengan judul “Upaya Tokoh Agama dalam Penyebaran Agama Islam di Desa Ranupani Kecamatan Senduro Kabupaten Lumajang.”
B.     Fokus Penelitian
Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti memfokuskan masalah dalam penelitian sebagai berikut:
1.    Bagaimana upaya tokoh agama dalam penyebaran agama islam di desa ranupani kecamatan senduro kabupaten lumajang ?
2.    Apa saja faktor penghambat dan pendukung upaya tokoh agama dalam penyebaran agama islam di desa ranupani kecamatan senduro kabupaten lumajang ?
C.    Tujuan Penelitian
Sesuai dengan fokus permasalahan diatas, tujuan penelitian ini ada dua yaitu:
1)      Untuk menjelaskan  upaya tokoh agama dalam penyebaran agama islam di Desa Ranupani Kecamatan Senduro Kabupaten Lumajang.
2)      Untuk menjelaskan faktor penghambat dan pendukung upaya tokoh agama dalam penyebaran agama Islam di Desa Ranupani Kecamatan Senduro Kabupaten Lumajang.


D.    Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian adalah apa yang diharapkan dari hasil penelitian. Manfaat penelitian mencakup dua hal yaitu: kegunaan dalam pengembangan ilmu atau manfaat di bidang teoretis dan manfaat di bidang praktik.[11]
Penelitian ini mempunyai manfaat yang secara garis besar dibagi menjadi dua yaitu :
1.      Secara Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi pengembang ilmu pengetahuan dan akademis dalam menambah wawasan dan memperkaya pengetahuan pendidik dan pembaca pada umumnya yang berminat dalam masalah  upaya tokoh agama dalam penyebaran agama islam dan juga sebagai bahan referensi bagi peneliti selanjutnya.
2.      Secara Praktis
a.    Bagi Desa Ranupani
1)   Diharapkan menjadi masukan yang membantu dan sekaligus sebagai bahan selanjutnya, upaya tokoh agama dalam penyebaran agama islam.
2)   Diharapkan memberikan kontribusi terhadap upayatokoh agama dalam penyebaran agama islam.


b.    Bagi IAI Syarifuddin Wonorejo Lumajang
1)   Diupayakan dapat memberi kontribusi terhadap IAI Syarifuddin Wonorejo Lumajang terutama dalam upayatokoh agama dalam penyebaran agama islam.
2)   Diupayakan dapat menjadi lengkapnya literature masalah upayatokoh agama dalam penyebaran agama islam.
c.    Bagi Peneliti
1)   Merupakan media untuk menambah wawasan dan keilmuan bagi peneliti tentang ilmu pendidikan, khususnya menyangkut tentang upayatokoh agama dalam penyebaran agama islam.
2)   Sebagai wadah untuk berproses dalam belajar penulisan karya ilmiah yang baik dan benar bagi peneliti.
E.     Definisi Konsep
Untuk menghindari kesalahan interpretasi dalam memahami maksud dan tujuan penelitian, maka perlu adanya penjelasan dari konsep penelitian ini
1.      Upaya tokoh agama
Upaya adalah usahauntuk menyampaikan. Tokoh Agama adalah orang yang terkemuka atau kenamaan dalam keagamaan, kebudayaan, dan sebagainya. Adapun upaya tokoh agama yang dimaksud penulis adalah usaha orang yang terkemuka untuk menyampaikan masalah keagamaan.



2.      Penyebaran Agama Islam
Penyebaran Agama Islam adalah usaha syi’ar dan memperluas pemahaman masyarakat tentang agama dan nilai-nilai keislaman dari kegelapan menuju cahaya keimanan.
F.     Sistematika Pembahasan
Untuk memberikan pemahaman yang lebih sempurna, maka pembahasan ini akan dibagi menjadi 5 (lima) bab yaitu :
Bab I adalah pendahuluan yang menjadi latar belakang masalah, fokus penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, definisi konsep, dan sistematika pembahasan.
Bab II adalah kajian kepustakaan yang terdiri atas penelitian terdahulu dan kajian teori yang membahas tentang teori upaya tokoh Agama dalam penyebaran Agama Islam .
Bab III adalah metode penelitian yang meliputi pendekatan jenis penelitian, lokasi penelitian, sumber data, teknik pengumpulan data, analisis data, keabsahan data dan tahap-tahap penelitian.
Bab IV adalah penyajian data dan analisis data yang berisi gambaran objek penelitian, penyajian data dan analisis data, terakhir tentang pembahasan temuan.
Bab V adalah Kesimpulan dan saran, yang memuat kesimpulan dari hasil penelitian dan saran-saran yang membangun bagi penyempurnaan hasil penelitian.



BAB II
KAJIAN KEPUSTAKAAN

A.  Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu yang kami jadikan rujukan adalah skripsi yang ditulis Is’aisah dengan judul Islam Di Tempursari Lumajang (Masuk dan Awal Perkembangannya Tahun 1930 – 1980 M).
Penelitian diatas menyimpulkan bahwa masyarakat Tempursari telah ada, jauh sebelum masuknya Islam, akan tetapi secara keagamaan mereka masih ada yang menganut ajaran Animisme. Dan perkembangan umat Islam terjadi di desa Bulurejo kecamatan Tempursari, hal ini disebabkan didaerah ini merupakan daerah baru yang cukup strategis didalam mensyiarkan agama Islam.[12]
Skripsi yang ditulis oleh Tubagus Arief Rachman Fauzi dengan judul peranan Syeikh KH Asnawi dalam menyebarkan Agama Islam di Caringnin – Banten Tahun 1865 - 1937
Penelitian diatas menyimpulkan bahwa untuk mengatasi hal hal yang tidak di inginkan dari pengaruh kolonialisme belanda, para ulama mendirikan Pondok Pesantren Tradisional. Pesantren tersebut menggunakan ajaran tarekat untuk menyebarkan ajaran agama Islam. KH. Asnawi menggunakan tasawuf Qadiriy[13]ah wa Naqsabandiyah. KH. Asnawi menggunakan madzhab Syafi’I yang sampai sekarang banyak digunakan di Indonesia. Dan tujuan KH. Asnawi menyebarkan Agama Islam dengan metode dakwah  karena untuk memberi pengetahuan terhadap masyarakat tentang ajaran Islam secara Kaffah (Paripurna) sehingga lambat laun masyarakat menyadari kekeliruan mereka, sehingga adat istiadat yang penuh dengan khurofat tersebut lamabat laun lenyap dengan sendirinya. Dakwah yang KH Asnawi laksanakan dengan cara pengajian dan juga dengan perilaku beliau yang lemah lembut, dimana beliau tidak pernah melakukan sesuatu hal yang buruk.
Perbedaan penelitian penulis dengan penelitian terdahulu adalah penelitian ini lebih.menekankan pada upaya yang dilakukan tokoh agama dalam penyebaran agama Islam di desa Ranupani kecamatan Senduro Kabupaten Lumajang. Desa Ranupani adalah desa yang berada di lereng Gunung Semeru, tapi Islam di desa Ranupani dapat muncul dengan kesadaran dari salah satu warga beragama Hindu, yang merasa kasihan pada saudara muslim untuk berwisata ke Puncak Gunung Semeru, karena mereka merasa kesulitan dalam  melaksanakan ibadah. Berawal dari salah satu warga tersebut menyatakan keislamannya maka dapat menarik warga yang lain masuk untuk islam.





B.  Kajian Teori
1.        Pengertian Upaya Tokoh Agama
Dalam Kamus Besar Bahasa Indinesia, definisi upaya adalah usahauntuk menyampaikan. Tokoh Agama adalah orang yang terkemuka atau kenamaan dalam keagamaan, kebudayaan, dan sebagainya.Jadi pengertian upaya Tokoh Agamaadalah usaha orang yang terkemuka dalam masalah keagamaan (Da’i).[14]
Sebelum masuk lebih jauh ke dalam inti dari tulisan ini, ada baiknya bagi kita untuk meneliti beberapa pengertian tentang kepemimpinan. Menurut Soerjono Soekanto, kepemimpinan (leadership) adalah kemampuan seseorang (yaitu pemimpin atau leader) untuk mempengaruhi orang lain (yaitu yang dipimpin atau pengikut-pengikutnya), sehingga orang lain tersebut bertingkah laku sebagaimana yang dikehendaki oleh pemimpin tersebut. Sementara, leadership menurut John M. Echols dan Hasan Shadily dalam “An English-Indonesia Dictionary” berasal dari kata benda lead yang dapat berarti sebagai peranan penting atau petunjuk; atau dapat pula berasal dari kata keterangan led yang berarti memimpin. Selanjutnya, leader diartikan sebagai pemimpin atau tokoh.[15]
Dalam hal ini penulis menyimpulkan tokoh agama sebagai Da’i atau Kyai. Da’i yang secara etimologi berasal dari kata dakwah yang artinya “do’a”, “seruan”, “panggilan”, “ajakan”, “undangan”, “dorongan” dan “permintaan”, berakar dari kata kerja da’a yang berarti “berdo’a”, “memanggil” “menyeru”, “mengundang”, “mendorong”, dan “mengadu”. Dakwah secara etimologis bebas nilai, artinya bisa mengajak kepada kebaikan atau ke jalan Allah swt, bisa juga mengajak kepada kemungkaran.
Namun secara terminology dakwah adalah menyeru, mengajak manusia untuk memahami dan mengamalkan ajaran islam sesuai dengan Al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad SAW. Jadi aktifitas dakwah pada hakikatnya suatu proses mengadakan perubahan secara normative sesuai dengan Al-Qur’an, dan sunnah Nabi Muhammad SAW. Sebagai contoh adalah perubahan dari beriman kepada selain allah SWT menjadi beriman kepada allah SWT, atau dari ideologiyang batil, sesat kepada ideologi yang benar, dari kebodohan kepada kepintaran, dari kultur, dan akhlaq yang sesat kepada kultur dan akhlaq yang benar, dan mulia, dari malas beribadah menjadi rajin beribadah, dari kehidupan yang bertentangan dengan Islam menjadi berkehidupan yang Islami, dari tidak peduli pada agama menjadi peduli dan semangat beragama.[16]
Kyai, sebagaimana yang digambarkan Ziemek, adalah sosok yang kuat kecakapan dan pancaran kepribadiannya. Kemampuan kyai menggerakkan massa yang bersimpati dan menjadi pengikutnya akan memberikannya peran strategis sebagai pemimpin informal masyarakat melalui komunikasi intensif dengan penduduk yang mendukungnya. Dalam kedudukan seperti itu kyai dapat disebut sebagai agen of change dalam masyarakat yang berperanan penting dalam suatu proses perubahan sosial.[17]
a.   Agama
Agama”di ucapkan oleh orang barat dengan Relegious (bahasa latin), Relegion (bahasa Inggris, Perancis, Jerman) dan Relegie (bahasa Belanda). Istilah ini bukannya tidak mengandung arti yang dalam melainkan mempunyai latar belakang pengertian yang lebih mendalam daripada pengertian “agama” yang telah disebutkan di atas.
1)   Relegie (religion) menurut pujangga Kristen, Saint Augustinus, berasal dari “re dan eligare” yang berarti “memilih kembali” dari jalan sesat ke jalan Tuhan.
2)   Religie, menurut Lactantinus “re dan ligare” yang artinya “menghubungkan kembali sesuatu yang telah putus”. Yang dimaksud ialah menghubungkan antara Tuhan dan manusia yang telah terputus oleh karena dosa-dosanya.
3)   Religie berasal dari “re dan ligare” yang berarti “membaca berulang-ulang bacaan-bacaan suci” dengan maksud agar jiwa si pembaca terpengaruh oleh kesuciannya. Demikian pendapat Cicero.
Agama adalah risalah yng disampaikan Tuhan kepada Nabi sebagai petunjuk bagi manusia dan hukum-hukum sempurna untuk dipergunakan manusia dalam menyelenggarakan tata cara hidup yang nyata serta mengatur hubungan dengan dan tanggung jawab kepada Allah, kepada masyarakat serta alam sekitarnya.
Agama sebagaisumber sistem nilai, merupakan petunjuk, pedoman dan pendorong bagi manusia untuk memecahkan berbagai masalah hidupnya seperti dalam ilmu agama, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan militer, sehingga terbentuk pola motivasi, tujuan hidup dan perilaku manusia yang menuju kepada keridhaan Allah (akhlak).Dengan demikian budaya itu dilahirkan dari agama islam, sehingga tidaklah benar kalau agama dianggap sebagai bagian dari budaya.
Agama tidak ada tanpa adanya umat penganut agama tersebut. Komunitas penganut agama terdiri dari beberapa fungsi keagamaan. Ada yang memimpin upacara, ada yang sekaligus mereka menjadi peserta upacara. Ada yang berfungsi sebagai penyampai ajaran agama, sebagai da’i, misionaris, atau zending. Memercayai adanya kekuatan gaib yang berpengaruh dalam kehidupan manusia dimiliki oleh banyak orang. Adanya kesamaan kepercayaan kepada wujud atau kekuatan gaib itu menjadi perekat kesatuan komunitas atau umat yang memercayainya. Kesatuan masyarakat primitif dan umat beragama direkat oleh keyakinan atau keimanan keagamaan. Percaya kepada hewan totem sebagai asal-usul atau nenek moyang suatu suku adalah pemersatu antara anggota suku tersebut. Sama-sama percaya kepada ruh nenek moyang yang sama di kalangan penganut agama Shinto adalah pemersatu di kalangan penganut agama tersebut. Sama-sama percaya kepada dewa Brahma, Wisnu dan Syiwa adalah pemersatu di kalangan umat Hindu. Percaya kepada Tuhan Bapa, Ruh Kudus dan Tuhan Yesus Adalah pemersatu di kalangan umat Kristen. Percaya kepada Allah Swt, adalah pemersatu di kalangan umat Islam.[18]
b.   Islam
Makna asal dari kata “Islam” adalah berserah diri dan pasrah sepenuhnya kepada Allah dengan mengesakannya dan mengituti ajaran para rasul. Menurut pengertian ini, Islam merupakan agama para Rasul. Allah tidak mengutus para Rasul pun melainkan untuk menyerukepada kaumnya, “Sembalah Allah yang Maha Esa, dan taatlah kepadaku dengan mengikuti ajaran yang aku sampaikan kepada kalian.[19]
Agama islam adalah agama Allah yang disampaikan kepada nabi Muhammad, untuk diteruskan kepada seluruh umat manusia, yang mengandung ketentuan-ketentuan keimanan (aqidah) dan ketentuan-ketentuan ibadah dan mu’amalah (syariah), yang menentukan proses berfikir, mersa dan berbuat dan proses terbentuknya kata hati.Berdasarkan penjelasan di atas Agama Islam itu mengandung tiga unsur, yaitu :
a.    Iman: keyakinan kepada :
1)   Allah
2)   Malaikat-nya
3)   Kitab-nya
4)   Rasul-nya
5)   Hari ahir dan
6)   Qadha dan Qadar.
b.    Islam : penyerahan diri sepenuhnya kepada ketentuan Allah,
yaitu :
1)   Syahadatain
2)   Shalat
3)    Zakat
4)    Puasa
5)    Haji
c.    Ihsan: berakhlak serta melaksanakan ibadat kepada Allah dan bermu’amalah dengan sesama makhluk dengan penuh keikhlasan seakan-akan disaksikan oleh Allah, meskipun dia tidak melihat Allah.
 Adapun mu’amalah dengan sesama makhluk, terdiri dari :
1)    Bermua’malah dengan manusia :
a)      hubungan denggan rasul
b)      menyantuni/membina diri
c)      hubungan dengan keluarga
d)     hubungan dengan masyarakat
e)      hubungan dengan bangsa
f)       hubungan antar bangsa
2)   Hubungan dengan tumbuh-tumbuhan
3)   Hubungan dengan hewan
4)   Hubungan dengan benda, baik organik maupun anorganik.

Dengan demikian, oleh karena Agama Islam itu membawa peraturan-peraturan Allah yang dipatuhi, maka orang islam itu bukan saja menjauhkan diri dari kemungkaran, dan selalu berbuat kebajikan, melainkan juga mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran itu.
Baik pengertian letterlijk “agama” maupun “religie” tersebut di atas belum menggambarkan arti sebenarnya daripada apa yang kita maksudkan dengan pengertian “agama” secara definitive, karena “agama" selain mengandung hubungan dengan Tuhan juga hubungan dengan masyarakat di dalam mana terdapat peraturan-peraturan yang menjadi pedoman bagaimana seharusnya hubungan-hubungan tersebut dilakukan dalam rangka mencapai kebahagiaan hidup, baik duniawi maupun ukhrawi.[20]
Manusia secara fitrah diciptakan sebagai makhluk sosial (zone politicon), makhluk yang selalu berinteraksi dengan sesamanya. Hal itu didasari oleh sifat keterbatasan mereka dalam memenuhi segala kebutuhan hidup. Kebutuhan yang dilandasi demi untuk melanjutkan kelangsungan hidup pribadi dan kelompoknya, juga sebagai upaya untuk mendapatkan kenyamanan dan ketentraman hidup mereka, baik bersifat materi atau imateri. Karena atas dasar itulah manusia selalu melakukan interaksi dan komunikasi satu sama lainnya dengan tujuan, yaitu meraih segala kebutuhan-kebutuhan hidup mereka.
Sebagai yang dikaruniai akal serta nafsu manusia dalam memenuhi kebutuhan dirinya dan kelompoknya, mereka tidak pernah terlepas dari pergulatan yang sarat dengan kepentingan, oleh karenanya Allah swt, memberikan rambu-rambu dan aturan main berupa syariat yang bersifat universal (umum dan menyeluruh). Aturan-aturan itu dimaksudkan agar manusia mengetahui bagaimana mereka harus bersikap dalam interaksinya dengan Allah swt, dan makhluknya. Sehingga tidak ada yang merasa dirugikan hingga akan berujung pada permusuhan dan pertumpahan darah diantara mereka.
M. Quraisy Shihab mengilustrasikan bahwa syariat atau agama adalah sebuah lampu merah yang bertujuan untuk memberikan tanda kepada manusia kapan mereka harus berhenti, hati-hati dan kapan juga mereka harus melangkah maju yang pada ahirnya arus lalu lintas kehidupan berjalan dengan lancer dan terkendali. Kita akan bisa bayangkan bagaiman rumit dan penatnya berkendara di jalan raya kalaulah tidak ditemukan lampu merah, para pengguna jalan akan mengemudikan kendaraan bermotornya sesuai dengan kehendak dan sesuka hati mereka sendiri tanpa menghiraukan terhadap yang lainnya. Sehingga tak hanya kemacetan yang akan ditemui, melainkan kecelakaan dan aksi tabrak-menabrak pun tidak dapat dihindari. Sehingga keberadaan lampu merah mutlak sangat dibutuhkan demi kelancaran dan kenyamanan para pengguna jalan dalam berlalu lintas.[21]
Syari’at secara keseluruhan aspeknya pastilah bernilai positif (mashalih). Diakui maupun tidak, baik ketika keberadaannya ditinjau sebagai proteksi dari nilai-nilai negative atau sebagai suatu media penghantar guna terciptanya cita-cita kemashlahatan. Allah, sang pemberlaku syari’at telah menjelaskan tentang nilai negatif yang terkandung sebagian tindakan mukhalafah (durhaka; tidak patuh) agar hal itu dapat sedini mungkin dihindari. Demikian pula sebaliknya, dalam sebagian tindakan patuh, nilai positif (mashalih) di dalamnya juga telah diuraikan secara detail agar hal itupun dapat untuk segera mungkin digapai. Nash-nash syari’at yang bernada memerintah terhadap nilai-nilai positif ataupun bernada mencegah manakala ia berhadapan dengan nilai-nilai negative banyak sekali dijumpai dengan beragam cara penyampaiannya. Universal, merupakan obyek utama dilandaskannya syari’at.[22]
Syariat pada asalnya bermakna jalan yang lempang atau jalan yang di lalui air terjun. Syariat adalah semua yang disyariatkan Allah untuk kaum muslimin baik melalui Al-Qur’an ataupun melalui Sunnah Rasul. Syariat itu adalah: Hukum-hukum yang disyariatkan Allah bagi hamba-hambaNya (manusia) yang dibawa oleh para Nabi, baik menyangkut cara mengerjakannya yang disebut far’iyah ‘amaliah (cabang-cabang amaliah) dan untuk itulah fiqh dibuat, atau yang menyangkut petunjuk beri’tikad yang disebut as’liyah I’tiqadiyah (pokok keyakinan), dan untuk itu para ulama menciptakan Ilmu Kalam (Ilmu Tauhid). Syariar itu dinamai pula dengan istilah ad-Dien dan a-Millah.
Syaikh Mahmud Shaltut menguraikan makna syariat sebagai berikut: Syariat menurut bahasa ialah tempat yang didatangi atau dituju manusia dan binatang untuk minum air. Menurut istilah ialah Hukum-hukum dan tata aturan yang disyariatkan Allah buat hamba-Nya agar mereka mengikuti dan berhubungan dengan sesamanya.[23]
Dr. ‘Aidh al-Qarni dalam Laa Tahzan (2005) menjelaskan bahwa Allah menghendaki dunia ini sebagai tempat bertemunya dua hal yang saling berlawanan, dua jenis yang saling bertolak belakang, dua kubu yang saling berseberangan, dan dua pendapat yang saling berseberangan pula. Yakni yang baik dengan yang buruk, kebaikan dengan kerusakan, kebahagiaan dengan kesedihan. Dan setelah itu Allah akan mengumpulkan semua yang baik, kebagusan dan kebahagiaan di surga, sedang yang buruk, kerusakan dan kesedihan akan dikumpulkan di neraka.[24]
Orang islam Juga diwajibkan mencari ilmu tentang keadaan yang telah dan akan terjadi, (misalnya, dalam keadaan sehat atau sakit dan sedang dalam perjalanan). Karena setiap orang Islam itu wajib mengerjakan salat. Maka diwajibkan pula mengetahui sesuatu yang berhubungan dengan salat, (missal, syarat dan rukunnya), agar dapat memenuhi kewajiban salat tersebut secara sah. Oleh sebab itu, mempelajari ilmu tentang salat adalah wajib.[25]
c. Upaya Tokoh Agama dalam Penyebaran Agama Islam
Perlu diketahi, bahwa syiar Islam adalah tegaknya amar ma’ruf dan nahi mungkar. Semakin banyak kaum muslimin beramar ma’ruf dan nahi mungkar, maka akan semakin jaya dan bertambah syiarnya. Sebaliknya, seandainya kaum muslimin sudah enggan beramar ma’ruf dan nahi mungkar jangan diharapkan syiar Islam akan bertambah kelihatan di bumi ini. Bahkan agama Islam akan semakin suram karena tertutup oleh tindak kemaksiatan dan kemungkaran yang terus melanda dan merajalela dimana-mana. Orang sudah terbiasa bertindak kejahatan dan kemaksiatan, sementara umat Islam sudah tidak peduli dan tidak prihatin dengan kemaksiatan dan kemungkaran yang terjadi di lingkungannya.[26]
Dua Pendapat yang menyatakan bahwa kedatangan Islam di Nusantara ini pada abad ke 13 dan pendapat lain mengatakan bahwa kedatangan Islam tersebut pada awal abad pertama Hijriah akan penulis jelaskan berikut ini. Yang meskipun tidak ada maksud untuk mengurangi jasa Maulana Malik Ibrahim, tetapi untuk mendudukkan proporsi yang sebenarnya.
Pendapat lama mengatakan bahwa, datangnya Agama Islam ke Indonesia ialah pada abad ke 13, dimana pada sekitar masa itu Maulana Malik Ibrahim telah datang ke Gresik menyiarkan Agama Islam. Prof. Dr. N. J. Krom dalam bukunya “De Hindhoe-Javaansche Tijd” mengatakan bahwa peralihan dari Hindu kepada Islam berlangsung pada tahun 1292 dan 1297 M.
Buku-buku sejarah Indonesia yang mengatakan bahwa islam masuk ke Indonesia ialah pada abad ke 13 menulis bahwa sebagai buktinya ialah antara lain berita Marcopolo yang menemukan tulisan yang tertera dalam batu nisan makamnya Sultan Malikus Saleh di Samudera Pasai meninggal pada tahun 1297 M.
Kemudian H. J. Van den Berg dalam bukunya “Asia dan Dunia” mengatakan bahwa “Keadaan di Sumatera Utara kira-kira pada tahun 1300, waktu Agama Islam masuk ke Indonesia dari riwayat perjalanan Marcopolo”.
Pendapat baru mengatakan bahwa, padahal jauh sebelum datangnya Maulana Malik Ibrahim ke Jawa, di Gresik telah terdapat nisan yang bertuliskan bahwa orang yang meninggal dunia itu, yang bernama Fatimah binti Maimun bin Hibatallah, pada tahun 1082 M.
Maka kalau pendapat lama mengatakan bahwa Agama Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 13, tetapi pendapat baru mengatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada awal abad ke 2 Hijriah, yakni pada abad ke 7 masehi. Haji Agus Salim mengatakan bahwa masuknya Agama Islam ke Indonesia bersamaan dengan masuknya Islam ke Tiongkok, yakni pada abad ke 7 Masehi, dan dapat dipastikan masuk ke Indonesia pada abad ke 8 Masehi.
Haji Zainal Arifin Abbas juga mengatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad pertama Hijriah. Pada tahun 684 Masehi, seorang pemimpin Arab Islam telah datang ke Tiongkok, beliau telah mempunyai pengikut di pantai Sumatera Utara. Bahkan Sayed Alwi bin Tahir al Haddad mengatakan bahwa pada tahu 650 Masehi Agama Islam telah masuk ke Sumatera.
Prof. Dr. Hamka di dalam majalah “Gema Islam” no. 32 dan dalam Seminar Masuknya Islam ke Indonesia di Medan pada tahun 1963 berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia ialah pada abad pertama Hijriah atau abad ke 7 masehi, yang dibawa oleh para saudagar Islam yang intinya orang-orang arab, diikuti oleh orang-orang Persia dan Gujarat. Maka sejak jaman kerajaan Kediri, Daha, Jenggala, Sriwijaya, dan Majapahit, telah terdapat kelompok-kelompok orang-orang Islam.
Menurut beliau, orang-orang Arab telah memegang peranan penting di perairan Indonesia, terutama di Selat Malaka. Dan kota Kedah sejak semula telah menjadi kota pertemuan antara pedagang Arab dengan para pedagang dari Tiongkok.
Disebutkan pula dalam catatan yang dapat dipercaya, pada tahun 674 Masehi telah dijumpai orang Arab di Jawa. Berita itu terdapat dalam catatan Tiongkok yang mengatakan bahwa Raja Ta Cheh telah mengirimkan utusan ke Cho’po (Jawa) untuk mencecerkan pundi-pundi berisi emas di alun-alun Holing (Kalingga-Kaling) yang waktu itu di perintah oleh ratu Sima.
Demikianlah, pendapat baru mengatakan bahwa Agama Islam datang ke Indonesia pada abad pertama Hijriyah atau pada abad ke 7 Masehi. Maka ketika Maulana Malik Ibrahim datang ke Gresik, di Jawa Timur telah ada kelompok-kelompok orang-orang Islam. Mereka terdiri dari orang-orang Jawa asli, orang-orang Tionghoa dan orang Arab.[27]
Makam Islam tertua selain Fatimah binti Maimun adalah makam Syaikh Syamsuddin al-Wasil atau Sulaiman Wasil Syamsuddin,yang terletak di komplek makam Setana Gedok, Kediri. Komplek makam ini terletak di dalam Kota Kediri, tepatnya di pusat kota yang bisa dicapai dari jalan Dhoho belok ke kanan, masuk kampung Setana Gedong. Sekitar 100 meter dari ujung kampung, terletak Masjid Setana Gedong. Kompleks makam Syaikh Syamsuddin al-Wasil terletak di barat laut masjid.[28]
Islam sudah berada di Jawa semenjak abad ke-14 berdasarkan batu nisan yang terdapat di Trowulan. Batu nisan tersebut menunjukkan angka 1368 M yang memberi indikasi bahwa pada tahun itu sudah ada orang Jawa dari kalangan kerajaan yang memeluk Islam atas perlindungan kalangan kerajaan. Kenyataan ini memberi petunjuk bahwa masuknya Islam pada tahun-tahun sebelum itu sudah barang tentu melalui kawasan pesisir yang kemudian menuju ke wilayah pedalaman.
Islam sudah berada dijawa pada abad ke-15 berdasarkan batu nisan dari makam Maulana Malik Ibrahim yang meninggal pada 1419 M. Beberapa pandangan menyatakan bahwa ia adalah seorang kaya berkebangsaan Persia yang bergerak di bidang perdagangan rempah – rempah. Pandangan lain menyatakan bahwa ia adalah salah seorang diantara Wali Sembilan yanng dianggap penyebar Islam di pulau jawa.
Walisongo berarti sembilan orang wali. Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim,Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Dradjad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, serta Sunan Gunung Jati. Mereka tidak hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga dalam hubungan guru-murid.
Maulana Malik Ibrahim adalah wali yang tertua diantara sembilan wali. Sunan Ampel anak Maulana Malik Ibrahim. Sunan Giri adalah keponakan Maulana Malik Ibrahim yang berarti juga sepupu Sunan Ampel. Sunan Bonang dan Sunan Drajad adalah anak Sunan Ampel. Sunan Kalijaga merupakan sahabat sekaligus murid Sunan Bonang. Sunan Muria anak Sunan Kalijaga. Sunan Kudus murid Sunan Kalijaga. Sunan Gunung Jati adalah sahabat para Sunan lain, kecuali Maulana Malik Ibrahim yang lebih dahulu meninggal.
Mereka tinggal di pantai utara Jawa dari awal abad 15 hingga pertengahan abad 16, di tiga wilayah penting. Yakni Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, serta Cirebon di Jawa Barat. Mereka adalah para intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Mereka mengenalkan berbagai bentuk peradaban baru: mulai dari kesehatan, bercocok tanam, niaga, kebudayaan dan kesenian, kemasyarakatan hingga pemerintahan.
Pesantren Ampel Denta dan Giri adalah dua institusi pendidikan paling penting di masa itu. Dari Giri, peradaban Islam berkembang ke seluruh wilayah timur Nusantara. Sunan Giri dan Sunan Gunung Jati bukan hanya ulama, namun juga pemimpin pemerintahan. Sunan Giri, Bonang, Kalijaga, dan Kudus adalah kreator karya seni yang pengaruhnya masih terasa hingga sekarang. Sedangkan Sunan Muria adalah pendamping sejati kaum jelata.
Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia. Khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat "sembilan wali" ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.
Masing-masing tokoh tersebut mempunyai peran yang unik dalam penyebaran Islam. Mulai dari Maulana Malik Ibrahim yang menempatkan diri sebagai "tabib" bagi Kerajaan Hindu Majapahit; Sunan Giri yang disebut para kolonialis sebagai "paus dari Timur" hingga Sunan Kalijaga yang mencipta karya kesenian dengan menggunakan nuansa yang dapat dipahami masyarakat Jawa -yakni nuansa Hindu dan Budha.[29]
Dengan cara perlahan dan bertahap, tanpa menolak dengan keras, terhadap sosial kultural masyarakat sekitar, Islam memperkenalkan toleransi dan persamaan derajat. Dalam masyarakat Hindu-Jawa yang menekankan perbedaan derajat, ajaran Islam menarik perhatian. Ditambah lagi kalangan pedagang yang mempunyai orientasi cosmopolitan, panggilan Islam ini kemudian menjadi dorongan untuk mengambil alih kekuasaan politik dari tangan penguasa yang masih kafir.[30]
2.        Faktor Penghambat dan Pendukung dalam Penyebaran Agama Islam
a.    Faktor penghambat
1)    Masyarakat Indonesia pada masa itu masih kental dengan pengaruh agama Hindu. Seperti yang kita ketahui, setelah zaman prasejarah berakhir, di Indonesia lahir kebudayaan baru. Kebudayaan tersebut ditandai dengan datangnya orang-orang India sebagai pembawa kebudayaan Hindu yang membawa pengaruh dan menyebabkan perubahan cara hidup masyarakat Indonesia baik dalam tatacara hidup kemasyarakatan, perekonomian, dan keagamaan.
2)   Masyarakat Indonesia pada masa itu umumnya masih menganut kepercayaan kepada nenek moyang ( Animisme )[31]



b.    Faktor pendukung
1)   Ajarannya sederhana, mudah dimengerti dan diterima.
2)   Syaratnya mudah, hanya dengan ucapkan kalimat Syahadat, yang berisi pengakuan adanya “Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah”
3)   Islam tidak mengenal kasta, sehingga lebih menarik bagi rakyat biasa yang jumlahnya justru lebih besar.
4)   Upacara-upacara keagamaan sangat sederhana.
5)   Islam disebarkan dengan cara damai lewat kesenian dan akulturasi dengan kebudayaan setempat.
6)   Jatuhnya Majapahit dan Sriwijaya menyebabkan kerajaan-kerajaan Islam berkembang pesat.
c.    Saluran Penyebaran di Indonesia
1)      Perdagangan, yaitu penyebaran ajaran Islam yang dilakukan oleh seorang pedagang Islam kepada pedagang lain.
2)      Perkawinan, seorang penganut Islam menikah dengan seorang yang belum menganut Islam, sehingga pasangannya ikut masuk Islam.
3)      Kesenian, yaitu penyebaran Islam dengan menggunakan media seni wayang, musik rebana, syair, dan sebagainya.


Akulturasi dan asimilasi kebudayaan, hal ini dilakukan dengan menggunakan unsur-unsur kebudayaan lama untuk usaha penyebaran Islam. Misalnya menggunakan doa-doa Islam dalam upacara adat seperti kelahiran, selapanan, perkawinan, seni wayang kulit untuk dakwah. dan sebagainya.[32]




BAB III
METODE PENELITIAN

A.  Pendekatan dan Jenis Penelitian
Penelitian tentang “Upaya Tokoh Agama Dalam Penyebaran Agama Islam di Desa Ranupani Kecamatan Senduro Kabupaten Lumajang”. Menggunakan metode penelitian kualitatif yaitu dengan pengamatan wawancara atau penelaahan dokumen.[33]Sesuai dengan penelitian ini nantinya peneliti akan mencari data-data melalui pengamatan dan wawancara untuk mengetahui tentang. ”
Jenis penelitian yang penulis teliti adalah deskriptif kualitatif yaitu data yang dikumpulkan adalah beerupa kata-kata, gambar dan bukan angka-angka. Hal itu disebabkan adanya penerapan metode kualitatif. Selain itu semua yang dikumpulkan berkemungkinan menjadi kunci terhadap apa yang sudah diteliti.[34]
1.      Lokasi Penelitian
Adapun lokasi yang dijadikan penelitian ini dilaksanakan di Desa Ranupani yang berada di Kecamatan Senduro Kabupaten Lumajang. Peneliti memilih lokasi ini dikarenakan masyarakat Desa Ranupani menganut tiga agama yaitu hindu, islam dan Kristen.
 Dari sekian banyak agama, tokoh Agama sangat berperan penting untuk mengetahui cara penyebaran agama Islam. Oleh karena itu tokoh agama sangat berpengaruh dalam penyebaran Agama Islam di Desa Ranupani.
2.      Sumber Data Jenis Data
Menurut Moleong, yang dikutip oleh Arikunto, sumber data kualitatif adalah tampilan yang berupa kata-kata lisan atau tertulis yang dicermati oleh peneliti, dan benda-benda yang diamati sampai detailnya agar dapat ditangkap makna yang tersirat dalam dokumen atau bendanya.[35]
Jika dilihat dari jenisnya maka kita dapat membedakan data kualitatif sebagai data primer dan data sekunder.
a.    Data Primer (sumber data utama)
Data primer adalah berupa teks hasil wawancara yang diperoleh melalui wawancara dengan informan yang sedang dijadikan sampel penelitiannya.[36] Data yang dimaksud adalah data tentangupaya tokoh agama dalam penyebaran agama Islam di Desa Ranupani Kecamatan Senduro Kabupaten Lumajang. Adapun data ini diperoleh dari beberapa  sumber yaitu Kepala Desa, remaja masjid, tokoh agama dan masyarakat.
b.    Data Sekunder (sumber data tambahan)
Data sekunder adalah berupa data-data yang sudah tersedia dan dapat diperoleh oleh peneliti dengan cara membaca, melihat dan mendengarkan.[37] Data yang dimaksud adalah data tentang Desa Ranupani dan data-data lain yang menunjang data primer.
3.      Teknik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data yang ada dalam penelitian ini, banyak cara yang digunakan akan tetapi tidak semua bentuk dapat mrnggunakan teknik yang ada, semua harus disesuaikan dengan yang menjadi subyek peneliti.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa teknik pengumpulan data, yaitu :
a.    Observasi
Kegiatan observasi meliputi melakukan pencatatan secara sistematik kejadian-kejadian, perilaku, obyek-obyek yang dilihat dan hal-hal lain yang diperlukan dalam mendukung penelitian yang sedang dilakukan. Pada tahap awal observasi dilakukan secara umum, peneliti mengumpulkan data atau informasi sebanyak mungkin. Tahap selanjutnya peneliti harus melakukan observasi yang terfokus, yaitu mulai menyempitkan data atau informasi yang diperlukan sehingga peneliti dapat menemukan tema-tema yang akan diteliti.
Salah satu peranan pokok dalam melakukan observasi ialah untuk menemukan interaksi yang kompleks dengan latar belakang sosial yang alami.[38]
Sugiyono dalam bukunya membedakan pengumpulan data dengan observasi ada tiga macam yaitu observasi partisipatif, observasi terus terang atau tersamar dan observasi tak berstruktur.[39]
Dalam penelitian ini peneliti mengumpulkan data dengan cara observasi terus terang atau tersamar. Dalam hal ini, peneliti melakukan pengumpulan data menyatakan terus terang kepada sumber data, bahwa ia sedang melakukan penelitian. Tetapi dalam suatu saat peneliti juga tersamar dalam melakukan observasi, hal ini untuk menghindari kalau suatu data yang dicari merupakan data yang masih dirahasiakan. Kemungkinan kalau berterus terang peneliti tidak diijinkan melakukan observasi.
b.    Wawancara
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviwer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviwee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu.[40]
Seperti yang di kemukakan oleh Esterberg  dalam Sugiyono, ada beberapa macam wawancara yaitu wawancara terstruktur, semistruktur, dan tidak struktural.
Wawancara yang akan dilakukan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah wawancara semiterstruktur yaitu wawancara dimana peneliti dalam pelaksanaannya lebih bebas. Tujuan dari wawancara jenis ini adalah untuk menemukan permasalahan secara lebih terbuka, dimana pihak yang diajak wawancara dimintai pendapat, dan ide-idenya. Dalam melakukan wawancara, peneliti perlu mendengarkan secara teliti dan mencatat apa yang dikemukakan oleh informan.[41]
c.    Dokumentasi
Kajian dokumen merupakan sarana pembantu peneliti dalammengumpulkan data atau informasi dengan cara membaca surat-surat, pengumuman, ikhtisar rapat, pernyataan tertulis kebijakan tertentu dan bahan-bahan tulisan lainnya. Metode pencarian data ini sangat bermanfaat karena dapat dilakukan dengan tanpa mengganggu objek atau suasana penelitian.[42]
4.      Analisis Data
Analisis data kualitatif menurut bogdan dan biklen yang dikutip oleh moleong, adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensistensiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.[43]



Adapun dalam proses analisis data, penulis menggunakan metode Miles dan Huberman, yang dikutip oleh Sugiyono yaitu :
1)   Reduksi Data
Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema polanya. Reduksi data dapat dibantu dengan memberikan kode pada aspek-aspek tertentu.
2)   Penyajian Data
Penyajian data dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart dan sejenisnya. Dengan menyajikan data maka akan memudahkan untuk memahami apa yang terjadi.
3)   Verifikasi atau Penarikan Kesimpulan
Verifikasi atau penarikan kesimpulan adalah merupakan temuan baru yang sebelumnya belum pernah ada. Temuan berupa deskripsi atau gambaran suatu obyek yang sebelumnya masih remang-remang atau gelap sehingga setelah diteliti menjadi jelas, dapat berupa hubungan kausal atau interaktif, hipotesis atau teori.[44]



5.      Keabsahan Data
Supaya data yang diperoleh dapat terjamin keabsahannya, maka peneliti harus menempuh jalur pemeriksaan data dengan memilih beberapa teknik sebagai berikut :
a.    Perpanjangan keikutsertaan adalah peneliti terjun ke lokasi dalam waktu yang cukup panjang guna mendeteksi dan memperhitungkan distorsi yang mungkin mengotori data.
b.    Ketekunan/keajegan pengamatan berarti mencari konsisten interpretasi dengan berbagai cara dalam kaitan dengan proses analisis yang konstan. Mencari apa yang dapat diperhitungkan dan apa yang tidak dapat. Ketekunan pengamatan bermaksud  menemukan ciri-ciri dan unsur- unsur dalam situasi yang sangat relevan dengan persoalan atau isu yang sangat relevan dengan persoalan atau isu yang sedang dicari dan kemudian memusatkan diri pada hal-hal tersebut secara rinci.
c.    Tringulasi artinya teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain. Di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Teknik tringulasi yang paling banyak digunakan ialah pemeriksaan melalui sumber lainnya.[45]
Dari tiga teknik tersebut, dalam penelitian ini peneliti memilih tekni triangulasi untuk menguji keabsahan data.



B.  Tahap-Tahap Penelitian
Ada empat (4) tahapan yang dilakukan oleh peneliti dalam melaksanakan penelitian dilapangan atau obyek penelitian adalah sebagai berikut:
1.    Tahap PraLapangan
a.         Menyusun Rancangan Penelitian
Rancangan dalam sebuah suatu penelitian kualitatif (usulan penelitian) paling tidak berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian dan metode penelitian yang berisi: pendekatan dan jenis penelitian, kehadiran peneliti, lokasi penelitian, sumber data, prosedur pengumpulan data, analisis data, pengecekan keabsahan data dan tahap-tahap penelitian.
b.        Penentuan Lokasi Penelitian
Cara terbaik yang perlu ditempuh dalam penentuan lapangan peneliti ialah dengan jalan mempertimbangkan teori substantif, pergilah dan jajakilah lapangan untuk melihat apakah terdapat kesesuaian dengan kenyataan yang berada di lapangan.Keterbatasan geografis dan praktis seperti waktu, biaya, tenaga, perlu pula dijadikan pertimbangan dalam penentuan lokasi penelitian.
c.         Mengurus Perizinan
Pertama yang perlu diketahui oleh peneliti ialah siapa saja yang berkuasa dan berwenang memberikan izin bagi pelaksanaan penelitian. Dalam kegiatan ini peneliti membawa surat izin dari fakultas tarbiyah IAI Syarifuddin untuk terjun langsung ke lokasi penelitian guna mengambil data agar tidak mengalami kesulitan ketika melakukan penelitian.
d.        Memilih Dan Memanfaatkan
Untuk memperoleh data yang valid, maka peneliti harus memilih informan dan memanfaatkannya. Informan adalah orang yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar penelitian.Informan dimanfaatkan untuk berbicara, bertukar pikiran, atau membandingkan suatu kejadian yang ditemukan dari subjek lainnya.jadi informan berkewajiban secara sukarela menjadi anggota tim penelitian walaupun hanya bersifat informal.
2.    Tahap Pekerjaan Lapangan
Tahapan Pekerjaan Lapangan Terbagi atas tiga bagian, yaitu;
a.    Memahami latar penelitiandan persiapan diri, disamping mempersiapkan diri, peneliti juga memahami  latar penelitian agar dapat  menentukan  model pengumpulan datanya, melalui  observasi atau wawancara atau  dengan cara yang lainnya. Dalam penelitian ini peneliti menggunakancaraobservasi dan wawancaradalam pengumpulan data.




b.   Memasuki lapangan, ketika  memasuki lapangan, peneliti harus menjalinhubungan  yang akrab dengan subyek penelitian, dengan  menggunakan tutur bahasa yang santun, akrab, dengan tetap menjaga etika  pergaulan  dan norma-norma yang berlaku  di dalam lapangan penelitian tersebut.
c.    Berperan serta  sambil mengumpulkan  data.
3.    Tahap Pengelolaan Data
Pada tahap  pengelolaan data ini,  peneliti menggunakan data-data yang  telah  diperolehnya, kemudian di atur, diurutkan, dikelompokkan dengan  memberinya kode dan mengkategorikannya. Pengorganisasian dan pengelolaan data tersebut bertujuan menemukan  tema dan hipotesa kerja.
4.    Tahap Penulisan Laporan Penelitian
Tahap terakhir yang merupakan buah jerih payah peneliti ialah hasil penelitian tersebut dalam bentuk karya tulis. Laporan penelitian yang lengkap tidak hanya menyajikan hasil penelitian, tetapi juga proses penelitian itu nsebagai keseluruhan.
Menurut Masri Singarimbun dalam bukunya yang berjudul metode penelitian survai, mengemukan bahwa pembagian isi laporan secara berurutan adalah : judul laporan, kata pengantar, daftar isi, pendahuluan, tubuh laporan, kesimpulan, lampiran-lampiran dan kepustakaan.[46]


[1]Agus Bustanuddin, Agama Dalam Kehidupan Manusia (Jakarta:PT. Rajagrafindo Persada,2006),1-2.
[2]Noercholish Madjid,Islam Doktrin Dan Peradaban(Jakarta Selatan:Paramadina,1999),4-5.
[3]Ahmadi Abu, Dasar-Dasar Pendidikan Agama Islam (Jakarta: PT Bumi Aksara,2004),13
[4]Ahmadi, Dasar-Dasar Pendidikan Agama Islam,6-7
[5]R. H. A. Soenaryo, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Lembaga Penyelenggara Penterjemah Kitab Suci Al-Qur’an,1965),47
[6]Ahmadi,Dasar-Dasar Pendidikan Agama Islam,7-8.
[7]Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Memahami Syariat Islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2000), 23-24.
[8]Mark R. Woodward, Islam Jawa, (Yogyakarta, LkiS, 1999),1
[9]Sunyoto Usman, Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat,(Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2010). 29
[10]Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islaam, 3
[11]M. Hariwijaya, Pedoman Penulisan Ilmiah Skripsi dan Tesis, (Jakarta Selatan: Oryza,2011),50
[12]Is’aisah, Islam Di Tempursari Lumajang (Masuk dan Awal Perkembangannya Tahun 1930 – 1980 M). mahasiswa fakultas adab, 1997.
[13]Tubagus Arief Rachman FauziPeranan Syeikh KH Asnawi dalam menyebarkan Agama Islam di Caringnin – Banten Tahun 1865 – 1937, Fakultas Pendidikan Ilmu pengetahuan sosial, 2013.
[14] Risa Agustin, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia,(Surabaya: Serba Jaya,2009),585.
[15] Anand Krishna, Self Leadership Seni Memimpin Diri,(Jakarta: PT. One Earth Media,2005),140-141.
[16] Abdul Wadud Nafis, Metode Dakwah Teori dan Praktek,( Jakarta Selatan : Mitra Abadi Press, 2009).7-8
[17] Ali Anwar, Pembaruan Pendidikan di Pesantren Lirboyo Kediri,( Yogyakarta : Pustaka Belajar, 2011). 32
[18]Bustanuddin,Agama Dalam kehidupan Manusia ,103-104
[19] Naik Zakir, Mereka Bertanya Islam Menjawab  (Solo: Anggota SPI, 2009),13.
[20] Ahmadi, Dasar-Dasar Pendidikan Agama Islam,3-4.
[21] Zainal Muttaqien, Term Syari’at dan Cinta Kemashlahatan, (Kediri: Lirboyo Press, 2012).5-6
[22] Zainal Muttaqien, Term Syari’at dan Cinta KemashlahatanSebuah Pengantar Dalam Memahami Teori Kemashlahatan Hukum Islam, (Kediri: Lirboyo Press, 2012).75
[23] M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab,(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,1995).5
[24] Wawan Susetya, Meredakan Murka Tuhan, Menyelamatkan Diri Dari Bencana, (Yogyakarta: Tugu Plubisher,2008),177
[25] Syekh as Zarnuji, Pedoman Belajar Bagi Pelajar Dan Santri, (Surabaya: Al-Hidayah),2
[26] M.Rofiq Zakaria, Khotbah Jum’at Aktual( Surabaya, Al-Miftah, 1998) 78
[27]Umar Hasyim, Riwayat Maulana Malik Ibrahim, (Kudus: Menara Kudus, 1981),39-41
[28]Agus Sunyoto, Atlas Wali Songo, (Depok, Pustaka IIMaN, 2016),56
[29] http://www.indospiritual.com/artikel_walisongo-tokoh-penyebar-agama-islam-nusantara.html
[30]Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradapan Islam Indonesia,(Jakarta:  PT RajaGrafindo Persada, 2005), 22
                                                                           
[32]http://spendphull-community.blogspot.co.id/2012/03/faktor-faktor-penyebaran-islam-di.html
[33] Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif  (Bandung: PT  Remaja Rosda Karya, 2012),9.
[34] Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif ,11
[35] Suharsimi Arikunto,Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik,(Jakarta: Rineka Cipta,2010), 22
[36] Jonathan Sarwono, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, ( Yogyakarta: Graha Ilmu, 2006),209
[37] Sarwono, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif,209
[38] Sarwono, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif,224
[39] Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif dan R&D,228
[40] Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif ,186
[41] Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif dan R&D,233
[42] Sarwono, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif,225
[43] Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif ,248
[44] Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif dan R&D,247-253
[45] Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif ,327-330
[46]Masri Singarimbun, Metode Penelitian Survai (Jakarta : PT. LP3ES, 1989),  319.

No comments:

Post a Comment

>