BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kehidupan
beragama pada dasarnya merupakan kepercayaan terhadap keyakinan adanya kekuatan
gaib, luar biasa atau supernatural yang berpengaruh terhadapa kehidupan
individu dan masyarakat, bahkan terhadap segala gejala Alam. Kepercayaan itu
menimbulkan perilaku tertentu, seperti berdoa, memuja dan lainnya, serta
menimbulkan sikap mental tertentu, seperti rasa takut, rasa optimis, pasrah,
dan lainya dari individu dan masyarakat yang mempercayainya. Karenanya,
keinginan, petunjuk, dan ketentuan kekuatan gaib harus di patuhi kalau manusia
dan masyarakat ingin kehidupan ini berjalan dengan baik dan selamat.
Kepercayaan beragama yang bertolak dari kekuatan gaib ini tampak aneh, tidak
alamiah dan tidak rasional dalam pandangan individu dan masyarakat modern yang
terlalu dipengaruhi oleh pandangan bahwa sesuatu diyakini ada kalau konkrit,
rasional, alamiah atau terbukti secara empirik dan ilmiah. Namun demikian,
kehidupan beragama adalah kenyataan hidup manusia yang ditemukan sepanjang
sejarah masyarakat dan kehidupan pribadinya.[1]
Manusia pada
dasarnya mempunyai naluri untuk percaya kepada Tuhan dan menyembahnya, dan
disebabkan berbagai latar belakang masing-masing manusia yang berbeda-beda dari
satu tempat ke tempat dan dari satu masa ke masa, maka agama menjadi beraneka
ragam dan berbeda-beda meskipun pangkal tolaknya sama, yaitu naluri untuk
percaya kepada wujud maha tinggi tersebut. Keanekaragaman agama itu menjadi
lebih nyata akibat usaha manusia sendiri untuk membuat agamanya lebih berfungsi
dalam kehidupan sehari-hari, dengan mengaitkan kepada gejala-gejala dan
mitos-mitos, yang kesemuanya itu merupakan pranata penunjang kepercayaan alami
manusia kepada Tuhan dan fungsionalisasi kepercayaan itu dalam masyarakat.
Legenda-legenda
dan mitos-mitos itu juga diperlukan manusia sebagai penunjang sistem nilai
hidup mereka. Semua itu memberi kejelasan tentang eksistensi manusia dalam
hubunganya dengan alam sekitarnya, sekaligus tentang bagaimana bentuk hubungan
yang sebaik-baiknya, serta dengan wujud maha tinggi. Manusia tidak dapat hidup
tanpa mitologi atau sistem penjelasan tentang alam dan kehidupan yang
kebenarannya tidak perlu dipertanyakan lagi. Maka tidak ada kelompok manusia
yang benar-benar bebas dari mitologi. Dan karena suatu mitos harus dipercayai
begitu saja, maka ia melahirkan sistem kepercayaan.[2]
Keinginan
kepada hidup beragama adalah salah satu dari sifat yang asli pada manusia. Itu
adalah nalurinya, garizahnya, fitrahnya, kecenderungannya yang telah menjadi
pembawaannya, dan bukan sesuatu yang dibuat-buat, atau sesuatu keinginan yang
datang kemudian, lantaran pengaruh dari luar. Sama halnya dengan keinginannya
kepada makan dan minum, berketurunan, memiliki harta benda, berkuasa dan
bergaul dengan sesama manusia.
Dengan
demikian, maka manusia pada dasarnya memanglah makhluk yang religious, yang
sangat cenderung kepada hidup beragama itu adalah panggilan hati nuraninya.
Sebab itu, andaikata Tuhan tidak mengutus Rasul-rasulnya untuk penyampaian
agama-nya kepada manusia ini, namun mereka akan berusaha dengan ikhtiarnya
sendiri untuk mencari agama itu sebagaimana ia berikhtiar untuk mencari makanan
di waktu ia merasa lapar. Dan memang sejarang kehidupan manusia telah
membuktikan, bahwa mereka dengan ikhtiar sendiri telah dapat menciptakan
agamanya, yaitu yang kita sebut “Agama-agama Ardhiyah”. Apakah yang mendorong
manusia sehingga sampai kepada agama dan hidup beragama ? Yang mendorong mereka
ialah sifat-sifat dan pembawaan-pembawaan yang ada pada diri mereka juga, yang
antara lain ialah : sifat ingin tahu, ingin melindungi diri, dan ingin
menyatakan syukur atau terima kasih, dan lain-lain.[3]
Pada dasarnya Agama itu
ada dua jenis, yaitu Agama wahyu, dan Agama budaya.
a)
Agama
wahyu ialah ajaran
Allah yang disampaikan kepada para rasul-nya, yaitu Islam. Agama Wahyu/samawi
atau sama’i, ialah agama wahyu, dan Wahyu itu tidak langsung diturunkan kepada
masyarakat, akan tetapi melalui Rasul atau Utusan Allah.Wahyu-wahyu itu
diturunkan melalui makhluk gaib yang disebut malaikat kepada utusan itu.
Petunjuk seorang manusia menjadi utusan oleh tuhan adalah gaib, karena penyampaian wahyu oleh malaikat kepada
manusia itu bersifat gaib.
Adapun ciri-ciri Agama Wahyu (langit), ialah :
1)
Secara
pasti dapat ditentukan lahirnya, dan
bukan tumbuh dari masyarakat, melainkan diturukan kepada masyarakat
2)
Disampaikan
oleh manusia yang dipilih Allah sebagai utusannya. Utusan itu bukan menciptakan
agama, melainkan menyampaikannya.
3)
Memiliki
kitab suci yang bersih dari campur tangan manusia.
4)
Ajarannya
serba tetap, walaupun tafsirannya dapat berubah sesuai dengan kecerdasan dan
kepekaan manusia.
5)
Konsep
ketuhanannya adalah : Monotheisme mutlak (Tauhid).
6)
Kebenarannya
adalah universal yaitu berlaku bagi setiap manusia, masa dan keadaan.
b)
Agama
Budaya, adalah ajaran
yang dihasilkan oleh pikiran atau persamaan manusia secara kumulatif. Adapun
ciri-ciri agama budaya itu, ialah :
1)
Tumbuh
secara kumulatif dalam masyarakat penganutnya
2)
Tidak
disampaikan oleh utusan tuhan (Rasul Allah).
3)
Umumnya
tidak memiliki kitab suci, kalaupun ada, akan mengalami perubaha-perubahan
dalam perjalanan sejarahnya.
4)
Ajarannya
dapat berubah-ubah, sesuai dengan perubahan akal pikiran masyarakatnya
(penganutnya).
5)
Konsep
ketuhanannya; dinamisme, animisme, politheisme, dan paling tinggi adalah
monotheisme nisbi.
6)
Kebenaran
ajarannya, tidak universal, yaitu tidak berlaku bagi setiap manusia, masa dan
keadaan.[4]
Sewaktu
Al-Qur’an diturunkan pada kira-kira tiga belas setengah abad yang lalu, di
dunia sudah terdapat banyak agama dan banyak kitab yang di anggap suci oleh
penganut-penganutnya. Di sekitar negara Arab terdapatlah orang-orang yang
percaya kepada Kitab Perjanjian Lama dan Kitab Perjanjian Baru. Banyaklah
orang-orang Arab yang menjadi Kristen atau condong ke arah Agama Kristen.
Diantara orang-orang Arab itu ada juga yang memeluk Agama Yahudi. Di antara
mereka yang memeluk Agama Yahudi adalah penduduk Madinah sendiri, seperti Ka’ab
bin Asjraf seorang kepala suku di Madinah dan musuh Islam. Di Mekah sendiri di
samping budak-budak yang beragama Kristen, terdapat juga orang-orang Mekah yang
condong kepada Agama Kristen. Waraqah bin Naufal paman dari Khadijah, istri
pertama dari Nabi Muhammad saw juga memeluk Agama Kristen. Ia faham bahasa
Ibrani dan menterjemahkan Kitab Injil dari bahasa Ibrani ke bahasa Arab.
Di sebelah
Ujung lain daripada negri Arab, hiduplah orang-orang Persia yang juga
mempercayai seorang nabi nan sebuah Kitab Suci. Sekalipun Kitab Zend Avesta
telah mengalami perubahan-perubahan oleh tangan manusia, tetapi kitab itu masih
dianggap suci oleh beratus ribu pengikutnya dan suatu negeri yang kuat menjadi
pendukungnya. Adapun di India Ktab Weda dipandang suci beribu-ribu tahun
lamanya. Di situ ada juga Kitab Gita dari Sri Krisna dan ajaran Budha. Agama
Kong hu chu menguasai negeri Tiongkok, tetapi pengaruh Budha makin hari makin
meluas di negeri itu.
Dengan adanya
kitab-kitab yang dipandang suci oleh pengikut-pengikutnya dan ajaran-ajaran
itu, apakah dunia ini memerlukan kitab Suci yang lain lagi? Inilah sebenarnya
satu pertanyaan yang ada pada setiap orang yang mempelajari Al-Qur’an.[5]
Agama-agama
yang diturunkan kepada rasul-rasul sebelum Nabi Muhammad telah mengalami
perubahan-perubahan. Itulah sebabnya Nabi Muhammad diutus dengan membawa kitab
suci al-Quran untuk meluruskan dan sekaligus menyempurnakannya. Sedang agama
budaya itu bersumber pada hasil pemikiran atau perasaa manusia secara
kumulatif. Oleh sebab itu, kebenarannya juga terbatas bagi kelompok tertentu
pada ruang serta waktu tertentu. Biasanya, makin berkembang suatu masyarakat
maka makin kecil peranan agama budaya, sebab adanya berdasar pada pengalaman
masa lalu.
Kalau kita
kembalikan kepada pandangan islam, maka nyatalah bahwa manusia itu dijadikan
Tuhan untuk beragama sebagai yang ditegaskan oleh Allah dalam Al-Quran sebagai
berikut :
“Maka hadapkanlah mukamu kepada agama dengan
selurus-lurusnya yaitu agama ciptaan Allah yang telah membuat manusia untuk
beragama itu, tiada ada penggantian bagi ciptaan Allah; Ia adalah agama yang
lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (Q.S.Arrum : 30).
Oleh karena itulah Syeh Muhammad
Abduh menyatakan bahwa Islam adalah agama fitrah manusia, jadi manusia
berkemampuan dasar untuk beragama tersebut. Bagaimana juga, manusia adalah
makhluk yang dapat dipengaruhi oleh hal-hal yang religious, meskipun nilai dan
kedalamanpengaruh tersebut bagi masing-masingnya tidak sama. Sejalan dengan hal
tersebut kenyataan sejarah manusia membuktikanbahwa manusia baik secara
kelompokmaupun perseoranganselalu memiliki agama, meskipun bentuk dan corak
atau isi agama bagi masing-masing orang atau kelompok tidak sama. Kenyataan
demikian itu memperkuat pendapat bahwa manusia di dalam dirinya terdapat
kemampuan dasar untuk beragama.
Berbagai nilai keagaman
yang penuh dihayati manusia sepanjang sejarah itu senantiasa memiliki
dasar-dasar yang mengandung persamaan-persamaan elemen yaitu perasaan takut,
khawatir, cinta dan percaya kepada Yang Maha Gaib. Dan disinilah terletak
sumbernya agama.[6]
Tabiat manusia
tidak menyukai beban yang membatasi kemerdekaanya. Manusia senantiasa
memperhatikan beban hukum dengan sangat hati-hati. Manusia tidak bergerak
mengikuti perintah terkecuali kalau perintah-perintah itu dapat menawan
hatinya, mempunyai daya dinamika. Syariat Islam dapat menarik manusia dengan
amat cepat dan menerimanya dengan penuh ketetapan hati. Hal ini adalah karena
Islam mengaitkan bahasanya dengan logika. Dan mendesak manusia bergerak dan
berusaha serta memenuhi kehendak fitrah yang sejahtera. Sebagaimana hukum Islam
menuju kepada toleransi, persamaan, kemerdekaan, menyuruh ma’ruf mencegah
mungkar.[7]
Islam sudah masuk ke
wilayah jawa semenjak abad ke-9 atas dasar inskripsi di leran, Gresik, yang
menjelaskan adanya seorang yang bernama Fatimah binti Maimun, yang wafat pada
tahun 1082. Pandangan ini mengundang keberatan berbagai kalangan karena diduga
batu nisan tersebut dibawa masuk ke Jawa setelah tahun yang tertera di
dalamnya. Ricklefs lebih jauh menyatakan bahwa yang dikubur di situ bukanlah
orang jawa, tetapi kemungkinannya adalah orang luar yang kebetulan melancong di
Jawa dan meninggal di sana.
Islam sudah berada di Jawa
semenjak abad ke-14 berdasarkan batu nisan yang terdapat di Trowulan. Batu
nisan tersebut menunjukkan angka 1368 M yang memberi indikasi bahwa pada tahun
itu sudah ada orang Jawa dari kalangan kerajaan yang memeluk Islam atas perlindungan
kalangan kerajaan. Kenyataan ini memberi petunjuk bahwa masuknya Islam pada
tahun-tahun sebelum itu sudah barang tentu melalui kawasan pesisir yang
kemudian menuju ke wilayah pedalaman.
Islam sudah berada dijawa
pada abad ke-15 berdasarkan batu nisan dari makam Maulana Malik Ibrahim yang
meninggal pada 1419 M. Beberapa pandangan menyatakan bahwa ia adalah seorang
kaya berkebangsaan Persia yang bergerak di bidang perdagangan rempah – rempah.
Pandangan lain menyatakan bahwa ia adalah salah seorang diantara Wali Sembilan
yanng dianggap penyebar Islam di pulau jawa.
Kita harus mengingat
kembali konsensus umum dalam studi-studi etnografi bahwa pandangan dunia Jawa
tradisional, karena tersusun dari kekuatan-kekuatan spiritual dalam berbagai
bentuk dan citra, sepertikekuatan pedang yang gaib, tempat-tempat keramat,
ruh-ruh, dewa-dewa, guru-guru, dan aturan-aturan; dunia sinkretik jawa adalah
apa yang disebut Weber sebagai “taman gaib” (garden of magic) sungguh belantara animistik.[8]
Sedikitnya ada dua alasan mengapa masalah pembangunan desa masih relevan
dibahas. Pertama, kendati dalam dua dasawarsa terahir perkembangan kota
maju dengan amat pesat, secara umum wilayah negara kita masih didominasi oleh
daerah pedesaan. Hal ini diperkirakan masih akan berlangsung relatif lama.
Benar di beberapa daerah ciri pedesaan itu susut perlahan bersamaan dengan
proses industrialisasi dan urbanisasi. Akan tetapi itu tidak berarti hilang
sama sekali. Ciri pedesaan tersebut bahkan masih akan bertahan sedemikian rupa
sehingga mempengaruhi arah dan sifat perkembangan kota.
Kedua, kendati
sejak awal tahun 1970-an pemerintah Orde Baru telah mencanangkan berbagai macam
kebijaksanaan dan program pembangunan pedesaan yang ditandai oleh inovasi
teknologi modern, secara umum kondisi sosial ekonomi desa masih memprihatinkan.[9]
Ketika Islam datang, sebenarnya kepulauan Nusantara
sudah mempunyai peradaban yang bersumber kebudayaan asli pengaruh dari
peradaban Hindu-Budha dari India, yang penyebaran pengaruhnya tidak merata. Di
Jawa telah mendalam, di Sumatra merupakan
lapisan tipis, sedang di pulau-pulau lain belum terjadi. Walaupun
demikian, Islam dapat cepat menyebar.[10]
Berdasarkan ulasan di
atas, penyebaran agama Islam di Desa Ranupani di tandai dengan bangunan Masjid
yang berdiri pada tahun 1983, yang dulunya hanya sebuah mushalah kecil yang
dibangun oleh tokoh yang bernama Kasimin pada tahun 1972.
Kasimin adalah seorang
yang beragama Hindu tetapi ia ingin medirikan mushalah karena banyak sekali
teman – teman muslim datang dari desa-desa jauh yang membutuhkan mushalah untuk
tumpangan melaksanakan sholat. Yang mengejutkan setelah pembangunan mushalah
diselesaikan ternyata Kasimin masuk Islam. Dari sebuah mushalah yang berukuran
3 x 3 meter banyak yang mengikuti jejak Kasimin bahkan yang sebelumnya sangat
menentang Kasimin juga menyatakan masuk Islam.
Dengan memperhatikan
uraian tersebut diatas, penulis tertarik untuk mengetahui dengan mengamati
secara teliti dan sistematis melalui pebelitian dengan judul “Upaya Tokoh Agama
dalam Penyebaran Agama Islam di Desa Ranupani Kecamatan Senduro Kabupaten
Lumajang.”
B.
Fokus
Penelitian
Berdasarkan
latar belakang di atas, peneliti memfokuskan masalah dalam penelitian sebagai
berikut:
1.
Bagaimana
upaya tokoh agama dalam penyebaran agama islam di desa ranupani kecamatan
senduro kabupaten lumajang ?
2.
Apa
saja faktor penghambat dan pendukung upaya tokoh agama dalam penyebaran agama
islam di desa ranupani kecamatan senduro kabupaten lumajang ?
C.
Tujuan
Penelitian
Sesuai dengan
fokus permasalahan diatas, tujuan penelitian ini ada dua yaitu:
1)
Untuk
menjelaskan upaya tokoh agama dalam
penyebaran agama islam di Desa Ranupani Kecamatan Senduro Kabupaten Lumajang.
2)
Untuk
menjelaskan faktor penghambat dan pendukung upaya tokoh agama dalam penyebaran
agama Islam di Desa Ranupani Kecamatan Senduro Kabupaten Lumajang.
D.
Manfaat Penelitian
Manfaat
penelitian adalah apa yang diharapkan dari hasil penelitian. Manfaat penelitian
mencakup dua hal yaitu: kegunaan dalam pengembangan ilmu atau manfaat di bidang
teoretis dan manfaat di bidang praktik.[11]
Penelitian ini mempunyai manfaat yang secara garis besar dibagi
menjadi dua yaitu :
1. Secara Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat berguna
bagi pengembang ilmu pengetahuan dan akademis dalam menambah wawasan dan
memperkaya pengetahuan pendidik dan pembaca pada umumnya yang berminat dalam
masalah upaya tokoh agama dalam
penyebaran agama islam dan juga sebagai bahan referensi bagi peneliti
selanjutnya.
2. Secara Praktis
a. Bagi Desa Ranupani
1)
Diharapkan menjadi masukan yang membantu dan sekaligus sebagai bahan
selanjutnya, upaya tokoh agama dalam penyebaran agama islam.
2)
Diharapkan memberikan kontribusi terhadap upayatokoh agama dalam
penyebaran agama islam.
b. Bagi IAI Syarifuddin Wonorejo Lumajang
1) Diupayakan dapat memberi kontribusi
terhadap IAI Syarifuddin Wonorejo Lumajang terutama dalam upayatokoh agama
dalam penyebaran agama islam.
2) Diupayakan dapat menjadi lengkapnya
literature masalah upayatokoh agama dalam penyebaran agama islam.
c. Bagi Peneliti
1) Merupakan media untuk menambah wawasan dan
keilmuan bagi peneliti tentang ilmu pendidikan, khususnya menyangkut tentang
upayatokoh agama dalam penyebaran agama islam.
2) Sebagai wadah untuk berproses dalam belajar
penulisan karya ilmiah yang baik dan benar bagi peneliti.
E.
Definisi Konsep
Untuk menghindari kesalahan interpretasi
dalam memahami maksud dan tujuan penelitian, maka perlu adanya penjelasan dari konsep penelitian ini
1. Upaya tokoh agama
Upaya adalah usahauntuk menyampaikan. Tokoh
Agama adalah orang yang terkemuka atau kenamaan dalam keagamaan, kebudayaan,
dan sebagainya. Adapun upaya tokoh agama yang dimaksud penulis adalah usaha
orang yang terkemuka untuk menyampaikan masalah keagamaan.
2. Penyebaran Agama Islam
Penyebaran Agama Islam adalah usaha syi’ar
dan memperluas pemahaman masyarakat tentang agama dan nilai-nilai keislaman
dari kegelapan menuju cahaya keimanan.
F.
Sistematika Pembahasan
Untuk memberikan pemahaman yang lebih sempurna, maka pembahasan ini
akan dibagi menjadi 5 (lima) bab yaitu :
Bab I adalah pendahuluan yang menjadi latar belakang masalah, fokus
penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, definisi konsep, dan
sistematika pembahasan.
Bab II adalah kajian kepustakaan yang terdiri atas penelitian
terdahulu dan kajian teori yang membahas tentang teori upaya tokoh Agama dalam
penyebaran Agama Islam .
Bab III adalah metode penelitian yang meliputi pendekatan jenis
penelitian, lokasi penelitian, sumber data, teknik pengumpulan data, analisis
data, keabsahan data dan tahap-tahap penelitian.
Bab IV adalah penyajian data dan analisis data yang berisi gambaran
objek penelitian, penyajian data dan analisis data, terakhir tentang pembahasan
temuan.
Bab V adalah Kesimpulan dan saran, yang memuat kesimpulan dari
hasil penelitian dan saran-saran yang membangun bagi penyempurnaan hasil
penelitian.
BAB II
KAJIAN KEPUSTAKAAN
A. Penelitian
Terdahulu
Penelitian terdahulu yang kami jadikan rujukan adalah skripsi yang
ditulis Is’aisah dengan judul Islam Di Tempursari Lumajang (Masuk dan Awal
Perkembangannya Tahun 1930 – 1980 M).
Penelitian diatas menyimpulkan bahwa masyarakat Tempursari telah ada, jauh sebelum
masuknya Islam, akan tetapi secara keagamaan mereka masih ada yang menganut
ajaran Animisme. Dan perkembangan umat Islam terjadi di desa Bulurejo kecamatan
Tempursari, hal ini disebabkan didaerah ini merupakan daerah baru yang cukup
strategis didalam mensyiarkan agama Islam.[12]
Skripsi yang ditulis oleh Tubagus Arief
Rachman Fauzi dengan judul peranan Syeikh KH Asnawi dalam menyebarkan Agama
Islam di Caringnin – Banten Tahun 1865 - 1937
Penelitian diatas menyimpulkan bahwa untuk
mengatasi hal hal yang tidak di inginkan dari pengaruh kolonialisme belanda,
para ulama mendirikan Pondok Pesantren Tradisional. Pesantren tersebut
menggunakan ajaran tarekat untuk menyebarkan ajaran agama Islam. KH. Asnawi
menggunakan tasawuf Qadiriy[13]ah
wa Naqsabandiyah. KH. Asnawi menggunakan madzhab Syafi’I yang sampai
sekarang banyak digunakan di Indonesia. Dan tujuan KH. Asnawi menyebarkan Agama
Islam dengan metode dakwah karena untuk
memberi pengetahuan terhadap masyarakat tentang ajaran Islam secara Kaffah (Paripurna)
sehingga lambat laun masyarakat menyadari kekeliruan mereka, sehingga adat
istiadat yang penuh dengan khurofat tersebut lamabat laun lenyap dengan
sendirinya. Dakwah yang KH Asnawi laksanakan dengan cara pengajian dan juga
dengan perilaku beliau yang lemah lembut, dimana beliau tidak pernah melakukan
sesuatu hal yang buruk.
Perbedaan penelitian penulis dengan
penelitian terdahulu adalah penelitian ini lebih.menekankan pada upaya yang
dilakukan tokoh agama dalam penyebaran agama Islam di desa Ranupani kecamatan
Senduro Kabupaten Lumajang. Desa Ranupani adalah desa yang berada di lereng
Gunung Semeru, tapi Islam di desa Ranupani dapat muncul dengan kesadaran dari
salah satu warga beragama Hindu, yang merasa kasihan pada saudara muslim untuk
berwisata ke Puncak Gunung Semeru, karena mereka merasa kesulitan dalam melaksanakan ibadah. Berawal dari salah satu
warga tersebut menyatakan keislamannya maka dapat menarik warga yang lain masuk
untuk islam.
B. Kajian Teori
1.
Pengertian Upaya Tokoh Agama
Dalam Kamus Besar Bahasa Indinesia, definisi upaya
adalah usahauntuk menyampaikan. Tokoh Agama adalah orang yang terkemuka atau
kenamaan dalam keagamaan, kebudayaan, dan sebagainya.Jadi pengertian upaya
Tokoh Agamaadalah usaha orang yang terkemuka dalam masalah keagamaan (Da’i).[14]
Sebelum masuk lebih jauh ke dalam inti dari
tulisan ini, ada baiknya bagi kita untuk meneliti beberapa pengertian tentang
kepemimpinan. Menurut Soerjono Soekanto, kepemimpinan (leadership)
adalah kemampuan seseorang (yaitu pemimpin atau leader) untuk
mempengaruhi orang lain (yaitu yang dipimpin atau pengikut-pengikutnya),
sehingga orang lain tersebut bertingkah laku sebagaimana yang dikehendaki oleh
pemimpin tersebut. Sementara, leadership menurut John M. Echols dan
Hasan Shadily dalam “An English-Indonesia Dictionary” berasal dari kata benda lead
yang dapat berarti sebagai peranan penting atau petunjuk; atau dapat pula
berasal dari kata keterangan led yang berarti memimpin. Selanjutnya, leader
diartikan sebagai pemimpin atau tokoh.[15]
Dalam hal ini penulis menyimpulkan tokoh agama
sebagai Da’i atau Kyai. Da’i yang secara etimologi berasal dari kata dakwah
yang artinya “do’a”, “seruan”, “panggilan”, “ajakan”, “undangan”, “dorongan”
dan “permintaan”, berakar dari kata kerja da’a yang berarti “berdo’a”,
“memanggil” “menyeru”, “mengundang”, “mendorong”, dan “mengadu”. Dakwah secara
etimologis bebas nilai, artinya bisa mengajak kepada kebaikan atau ke jalan
Allah swt, bisa juga mengajak kepada kemungkaran.
Namun secara terminology dakwah adalah menyeru,
mengajak manusia untuk memahami dan mengamalkan ajaran islam sesuai dengan
Al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad SAW. Jadi aktifitas dakwah pada hakikatnya
suatu proses mengadakan perubahan secara normative sesuai dengan Al-Qur’an, dan
sunnah Nabi Muhammad SAW. Sebagai contoh adalah perubahan dari beriman kepada
selain allah SWT menjadi beriman kepada allah SWT, atau dari ideologiyang
batil, sesat kepada ideologi yang benar, dari kebodohan kepada kepintaran, dari
kultur, dan akhlaq yang sesat kepada kultur dan akhlaq yang benar, dan mulia,
dari malas beribadah menjadi rajin beribadah, dari kehidupan yang bertentangan
dengan Islam menjadi berkehidupan yang Islami, dari tidak peduli pada agama
menjadi peduli dan semangat beragama.[16]
Kyai, sebagaimana yang digambarkan Ziemek,
adalah sosok yang kuat kecakapan dan pancaran kepribadiannya. Kemampuan kyai
menggerakkan massa yang bersimpati dan menjadi pengikutnya akan memberikannya
peran strategis sebagai pemimpin informal masyarakat melalui komunikasi
intensif dengan penduduk yang mendukungnya. Dalam kedudukan seperti itu kyai
dapat disebut sebagai agen of change dalam masyarakat yang berperanan penting
dalam suatu proses perubahan sosial.[17]
a. Agama
“Agama”di ucapkan oleh orang barat dengan
Relegious (bahasa latin), Relegion (bahasa Inggris, Perancis, Jerman) dan
Relegie (bahasa Belanda). Istilah ini bukannya tidak mengandung arti yang dalam
melainkan mempunyai latar belakang pengertian yang lebih mendalam daripada
pengertian “agama” yang telah disebutkan di atas.
1) Relegie (religion) menurut pujangga
Kristen, Saint Augustinus, berasal dari “re dan eligare” yang berarti “memilih
kembali” dari jalan sesat ke jalan Tuhan.
2) Religie, menurut Lactantinus “re dan
ligare” yang artinya “menghubungkan kembali sesuatu yang telah putus”. Yang
dimaksud ialah menghubungkan antara Tuhan dan manusia yang telah terputus oleh
karena dosa-dosanya.
3) Religie berasal dari “re dan ligare” yang
berarti “membaca berulang-ulang bacaan-bacaan suci” dengan maksud agar jiwa si
pembaca terpengaruh oleh kesuciannya. Demikian pendapat Cicero.
Agama adalah risalah yng disampaikan Tuhan
kepada Nabi sebagai petunjuk bagi manusia dan hukum-hukum sempurna untuk
dipergunakan manusia dalam menyelenggarakan tata cara hidup yang nyata serta
mengatur hubungan dengan dan tanggung jawab kepada Allah, kepada masyarakat
serta alam sekitarnya.
Agama sebagaisumber sistem
nilai, merupakan petunjuk, pedoman dan pendorong bagi manusia untuk memecahkan
berbagai masalah hidupnya seperti dalam ilmu agama, politik, ekonomi, sosial,
budaya, dan militer, sehingga terbentuk pola motivasi, tujuan hidup dan
perilaku manusia yang menuju kepada keridhaan Allah (akhlak).Dengan demikian budaya itu dilahirkan dari agama islam, sehingga
tidaklah benar kalau agama dianggap sebagai bagian dari budaya.
Agama tidak ada tanpa adanya umat penganut
agama tersebut. Komunitas penganut agama terdiri dari beberapa fungsi
keagamaan. Ada yang memimpin upacara, ada yang sekaligus mereka menjadi peserta
upacara. Ada yang berfungsi sebagai penyampai ajaran agama, sebagai da’i,
misionaris, atau zending. Memercayai adanya kekuatan gaib yang berpengaruh
dalam kehidupan manusia dimiliki oleh banyak orang. Adanya kesamaan kepercayaan
kepada wujud atau kekuatan gaib itu menjadi perekat kesatuan komunitas atau
umat yang memercayainya. Kesatuan masyarakat primitif dan umat beragama direkat
oleh keyakinan atau keimanan keagamaan. Percaya kepada hewan totem
sebagai asal-usul atau nenek moyang suatu suku adalah pemersatu antara anggota
suku tersebut. Sama-sama percaya kepada ruh nenek moyang yang sama di kalangan
penganut agama Shinto adalah pemersatu di kalangan penganut agama tersebut.
Sama-sama percaya kepada dewa Brahma, Wisnu dan Syiwa adalah pemersatu di
kalangan umat Hindu. Percaya kepada Tuhan Bapa, Ruh Kudus dan Tuhan Yesus
Adalah pemersatu di kalangan umat Kristen. Percaya kepada Allah Swt, adalah
pemersatu di kalangan umat Islam.[18]
b.
Islam
Makna asal dari kata “Islam” adalah berserah
diri dan pasrah sepenuhnya kepada Allah dengan mengesakannya dan mengituti
ajaran para rasul. Menurut pengertian ini, Islam merupakan agama para Rasul.
Allah tidak mengutus para Rasul pun melainkan untuk menyerukepada kaumnya,
“Sembalah Allah yang Maha Esa, dan taatlah kepadaku dengan mengikuti ajaran
yang aku sampaikan kepada kalian.[19]”
Agama islam adalah agama Allah yang disampaikan kepada nabi Muhammad, untuk
diteruskan kepada seluruh umat manusia, yang mengandung ketentuan-ketentuan
keimanan (aqidah) dan ketentuan-ketentuan ibadah dan mu’amalah (syariah), yang
menentukan proses berfikir, mersa dan berbuat dan proses terbentuknya kata
hati.Berdasarkan penjelasan di atas Agama Islam itu
mengandung tiga unsur, yaitu :
a.
Iman:
keyakinan kepada :
1)
Allah
2)
Malaikat-nya
3)
Kitab-nya
4)
Rasul-nya
5)
Hari
ahir dan
6)
Qadha
dan Qadar.
b.
Islam
: penyerahan diri sepenuhnya kepada ketentuan Allah,
yaitu :
1)
Syahadatain
2)
Shalat
3)
Zakat
4)
Puasa
5)
Haji
c.
Ihsan:
berakhlak serta melaksanakan ibadat kepada Allah dan bermu’amalah dengan sesama
makhluk dengan penuh keikhlasan seakan-akan disaksikan oleh Allah, meskipun dia
tidak melihat Allah.
Adapun mu’amalah dengan
sesama makhluk, terdiri dari :
1)
Bermua’malah dengan manusia :
a)
hubungan
denggan rasul
b)
menyantuni/membina
diri
c)
hubungan
dengan keluarga
d)
hubungan
dengan masyarakat
e)
hubungan
dengan bangsa
f)
hubungan
antar bangsa
2)
Hubungan
dengan tumbuh-tumbuhan
3)
Hubungan
dengan hewan
4)
Hubungan
dengan benda, baik organik maupun anorganik.
Dengan demikian, oleh
karena Agama Islam itu membawa peraturan-peraturan Allah yang dipatuhi, maka
orang islam itu bukan saja menjauhkan diri dari kemungkaran, dan selalu berbuat
kebajikan, melainkan juga mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran
itu.
Baik pengertian
letterlijk “agama” maupun “religie” tersebut di atas belum menggambarkan arti sebenarnya daripada apa yang kita
maksudkan dengan pengertian “agama” secara definitive, karena “agama"
selain mengandung hubungan dengan Tuhan juga hubungan dengan masyarakat di
dalam mana terdapat peraturan-peraturan yang menjadi pedoman bagaimana
seharusnya hubungan-hubungan tersebut dilakukan dalam rangka mencapai
kebahagiaan hidup, baik duniawi maupun ukhrawi.[20]
Manusia secara fitrah diciptakan sebagai
makhluk sosial (zone politicon), makhluk yang selalu berinteraksi dengan
sesamanya. Hal itu didasari oleh sifat keterbatasan mereka dalam memenuhi
segala kebutuhan hidup. Kebutuhan yang dilandasi demi untuk melanjutkan
kelangsungan hidup pribadi dan kelompoknya, juga sebagai upaya untuk
mendapatkan kenyamanan dan ketentraman hidup mereka, baik bersifat materi atau
imateri. Karena atas dasar itulah manusia selalu melakukan interaksi dan
komunikasi satu sama lainnya dengan tujuan, yaitu meraih segala kebutuhan-kebutuhan
hidup mereka.
Sebagai yang dikaruniai akal serta nafsu
manusia dalam memenuhi kebutuhan dirinya dan kelompoknya, mereka tidak pernah
terlepas dari pergulatan yang sarat dengan kepentingan, oleh karenanya Allah
swt, memberikan rambu-rambu dan aturan main berupa syariat yang bersifat
universal (umum dan menyeluruh). Aturan-aturan itu dimaksudkan agar manusia
mengetahui bagaimana mereka harus bersikap dalam interaksinya dengan Allah swt,
dan makhluknya. Sehingga tidak ada yang merasa dirugikan hingga akan berujung
pada permusuhan dan pertumpahan darah diantara mereka.
M. Quraisy Shihab mengilustrasikan bahwa
syariat atau agama adalah sebuah lampu merah yang bertujuan untuk memberikan
tanda kepada manusia kapan mereka harus berhenti, hati-hati dan kapan juga
mereka harus melangkah maju yang pada ahirnya arus lalu lintas kehidupan
berjalan dengan lancer dan terkendali. Kita akan bisa bayangkan bagaiman rumit
dan penatnya berkendara di jalan raya kalaulah tidak ditemukan lampu merah,
para pengguna jalan akan mengemudikan kendaraan bermotornya sesuai dengan
kehendak dan sesuka hati mereka sendiri tanpa menghiraukan terhadap yang
lainnya. Sehingga tak hanya kemacetan yang akan ditemui, melainkan kecelakaan
dan aksi tabrak-menabrak pun tidak dapat dihindari. Sehingga keberadaan lampu
merah mutlak sangat dibutuhkan demi kelancaran dan kenyamanan para pengguna
jalan dalam berlalu lintas.[21]
Syari’at secara keseluruhan aspeknya pastilah
bernilai positif (mashalih). Diakui maupun tidak, baik ketika
keberadaannya ditinjau sebagai proteksi dari nilai-nilai negative atau sebagai
suatu media penghantar guna terciptanya cita-cita kemashlahatan. Allah, sang
pemberlaku syari’at telah menjelaskan tentang nilai negatif yang terkandung
sebagian tindakan mukhalafah (durhaka; tidak patuh) agar hal itu dapat
sedini mungkin dihindari. Demikian pula sebaliknya, dalam sebagian tindakan
patuh, nilai positif (mashalih) di dalamnya juga telah diuraikan secara
detail agar hal itupun dapat untuk segera mungkin digapai. Nash-nash syari’at
yang bernada memerintah terhadap nilai-nilai positif ataupun bernada mencegah
manakala ia berhadapan dengan nilai-nilai negative banyak sekali dijumpai
dengan beragam cara penyampaiannya. Universal, merupakan obyek utama
dilandaskannya syari’at.[22]
Syariat pada asalnya bermakna jalan yang
lempang atau jalan yang di lalui air terjun. Syariat adalah semua yang
disyariatkan Allah untuk kaum muslimin baik melalui Al-Qur’an ataupun melalui
Sunnah Rasul. Syariat itu adalah: Hukum-hukum yang disyariatkan Allah bagi
hamba-hambaNya (manusia) yang dibawa oleh para Nabi, baik menyangkut cara
mengerjakannya yang disebut far’iyah ‘amaliah (cabang-cabang amaliah) dan untuk
itulah fiqh dibuat, atau yang menyangkut petunjuk beri’tikad yang disebut
as’liyah I’tiqadiyah (pokok keyakinan), dan untuk itu para ulama menciptakan
Ilmu Kalam (Ilmu Tauhid). Syariar itu dinamai pula dengan istilah ad-Dien dan
a-Millah.
Syaikh Mahmud Shaltut menguraikan makna syariat
sebagai berikut: Syariat menurut bahasa ialah tempat yang didatangi atau
dituju manusia dan binatang untuk minum air. Menurut istilah ialah Hukum-hukum
dan tata aturan yang disyariatkan Allah buat hamba-Nya agar mereka mengikuti
dan berhubungan dengan sesamanya.[23]
Dr. ‘Aidh al-Qarni dalam Laa Tahzan (2005)
menjelaskan bahwa Allah menghendaki dunia ini sebagai tempat bertemunya dua hal
yang saling berlawanan, dua jenis yang saling bertolak belakang, dua kubu yang
saling berseberangan, dan dua pendapat yang saling berseberangan pula. Yakni
yang baik dengan yang buruk, kebaikan dengan kerusakan, kebahagiaan dengan
kesedihan. Dan setelah itu Allah akan mengumpulkan semua yang baik, kebagusan
dan kebahagiaan di surga, sedang yang buruk, kerusakan dan kesedihan akan dikumpulkan
di neraka.[24]
Orang islam Juga diwajibkan mencari ilmu
tentang keadaan yang telah dan akan terjadi, (misalnya, dalam keadaan sehat
atau sakit dan sedang dalam perjalanan). Karena setiap orang Islam itu wajib
mengerjakan salat. Maka diwajibkan pula mengetahui sesuatu yang berhubungan
dengan salat, (missal, syarat dan rukunnya), agar dapat memenuhi kewajiban
salat tersebut secara sah. Oleh sebab itu, mempelajari ilmu tentang salat
adalah wajib.[25]
c. Upaya
Tokoh Agama dalam Penyebaran Agama Islam
Perlu diketahi, bahwa syiar Islam
adalah tegaknya amar ma’ruf dan nahi mungkar. Semakin banyak kaum muslimin
beramar ma’ruf dan nahi mungkar, maka akan semakin jaya dan bertambah syiarnya.
Sebaliknya, seandainya kaum muslimin sudah enggan beramar ma’ruf dan nahi
mungkar jangan diharapkan syiar Islam akan bertambah kelihatan di bumi ini.
Bahkan agama Islam akan semakin suram karena tertutup oleh
tindak kemaksiatan dan kemungkaran yang terus melanda dan merajalela
dimana-mana. Orang sudah terbiasa bertindak kejahatan dan kemaksiatan,
sementara umat Islam sudah tidak peduli dan tidak prihatin dengan kemaksiatan
dan kemungkaran yang terjadi di lingkungannya.[26]
Dua Pendapat yang
menyatakan bahwa kedatangan Islam di Nusantara ini pada abad ke 13 dan pendapat
lain mengatakan bahwa kedatangan Islam tersebut pada awal abad pertama Hijriah
akan penulis jelaskan berikut ini. Yang meskipun tidak ada maksud untuk
mengurangi jasa Maulana Malik Ibrahim, tetapi untuk mendudukkan proporsi yang
sebenarnya.
Pendapat lama mengatakan bahwa, datangnya Agama
Islam ke Indonesia ialah pada abad ke 13, dimana pada sekitar masa itu Maulana
Malik Ibrahim telah datang ke Gresik menyiarkan Agama Islam. Prof. Dr. N. J.
Krom dalam bukunya “De Hindhoe-Javaansche Tijd” mengatakan bahwa peralihan dari
Hindu kepada Islam berlangsung pada tahun 1292 dan 1297 M.
Buku-buku sejarah Indonesia yang mengatakan
bahwa islam masuk ke Indonesia ialah pada abad ke 13 menulis bahwa sebagai
buktinya ialah antara lain berita Marcopolo yang menemukan tulisan yang tertera
dalam batu nisan makamnya Sultan Malikus Saleh di Samudera Pasai meninggal pada
tahun 1297 M.
Kemudian H. J. Van den Berg dalam bukunya “Asia
dan Dunia” mengatakan bahwa “Keadaan di Sumatera Utara kira-kira pada tahun
1300, waktu Agama Islam masuk ke Indonesia dari riwayat perjalanan Marcopolo”.
Pendapat baru mengatakan bahwa, padahal jauh
sebelum datangnya Maulana Malik Ibrahim ke Jawa, di Gresik telah terdapat nisan
yang bertuliskan bahwa orang yang meninggal dunia itu, yang bernama Fatimah
binti Maimun bin Hibatallah, pada tahun 1082 M.
Maka kalau pendapat lama mengatakan bahwa Agama
Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 13, tetapi pendapat baru mengatakan bahwa
Islam masuk ke Indonesia pada awal abad ke 2 Hijriah, yakni pada abad ke 7
masehi. Haji Agus Salim mengatakan bahwa masuknya Agama Islam ke Indonesia
bersamaan dengan masuknya Islam ke Tiongkok, yakni pada abad ke 7 Masehi, dan
dapat dipastikan masuk ke Indonesia pada abad ke 8 Masehi.
Haji Zainal Arifin Abbas juga mengatakan bahwa
Islam masuk ke Indonesia pada abad pertama Hijriah. Pada tahun 684 Masehi,
seorang pemimpin Arab Islam telah datang ke Tiongkok, beliau telah mempunyai
pengikut di pantai Sumatera Utara. Bahkan Sayed Alwi bin Tahir al Haddad
mengatakan bahwa pada tahu 650 Masehi Agama Islam telah masuk ke Sumatera.
Prof. Dr. Hamka di dalam majalah “Gema Islam”
no. 32 dan dalam Seminar Masuknya Islam ke Indonesia di Medan pada tahun 1963
berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia ialah pada abad pertama Hijriah atau
abad ke 7 masehi, yang dibawa oleh para saudagar Islam yang intinya orang-orang
arab, diikuti oleh orang-orang Persia dan Gujarat. Maka sejak jaman kerajaan
Kediri, Daha, Jenggala, Sriwijaya, dan Majapahit, telah terdapat
kelompok-kelompok orang-orang Islam.
Menurut beliau, orang-orang Arab telah memegang
peranan penting di perairan Indonesia, terutama di Selat Malaka. Dan kota Kedah
sejak semula telah menjadi kota pertemuan antara pedagang Arab dengan para
pedagang dari Tiongkok.
Disebutkan pula dalam catatan yang dapat
dipercaya, pada tahun 674 Masehi telah dijumpai orang Arab di Jawa. Berita itu
terdapat dalam catatan Tiongkok yang mengatakan bahwa Raja Ta Cheh telah
mengirimkan utusan ke Cho’po (Jawa) untuk mencecerkan pundi-pundi berisi emas
di alun-alun Holing (Kalingga-Kaling) yang waktu itu di perintah oleh ratu
Sima.
Demikianlah, pendapat baru mengatakan bahwa
Agama Islam datang ke Indonesia pada abad pertama Hijriyah atau pada abad ke 7
Masehi. Maka ketika Maulana Malik Ibrahim datang ke Gresik, di Jawa Timur telah
ada kelompok-kelompok orang-orang Islam. Mereka terdiri dari orang-orang Jawa
asli, orang-orang Tionghoa dan orang Arab.[27]
Makam Islam tertua selain Fatimah binti Maimun
adalah makam Syaikh Syamsuddin al-Wasil atau Sulaiman Wasil Syamsuddin,yang
terletak di komplek makam Setana Gedok, Kediri. Komplek makam ini terletak di
dalam Kota Kediri, tepatnya di pusat kota yang bisa dicapai dari jalan Dhoho
belok ke kanan, masuk kampung Setana Gedong. Sekitar 100 meter dari ujung
kampung, terletak Masjid Setana Gedong. Kompleks makam Syaikh Syamsuddin
al-Wasil terletak di barat laut masjid.[28]
Islam sudah berada di Jawa semenjak abad ke-14 berdasarkan batu nisan yang terdapat di
Trowulan. Batu nisan tersebut menunjukkan angka 1368 M yang memberi indikasi
bahwa pada tahun itu sudah ada orang Jawa dari kalangan kerajaan yang memeluk
Islam atas perlindungan kalangan kerajaan. Kenyataan ini memberi petunjuk bahwa
masuknya Islam pada tahun-tahun sebelum itu sudah barang tentu melalui kawasan
pesisir yang kemudian menuju ke wilayah pedalaman.
Islam sudah berada dijawa pada abad ke-15
berdasarkan batu nisan dari makam Maulana Malik Ibrahim yang meninggal pada
1419 M. Beberapa pandangan menyatakan bahwa ia adalah seorang kaya
berkebangsaan Persia yang bergerak di bidang perdagangan rempah – rempah.
Pandangan lain menyatakan bahwa ia adalah salah seorang diantara Wali Sembilan
yanng dianggap penyebar Islam di pulau jawa.
Walisongo berarti
sembilan orang wali. Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim,Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Dradjad,
Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, serta Sunan Gunung Jati. Mereka tidak
hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai
keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga dalam hubungan guru-murid.
Maulana Malik Ibrahim adalah wali
yang tertua diantara sembilan wali. Sunan Ampel
anak Maulana Malik Ibrahim. Sunan Giri adalah keponakan Maulana Malik Ibrahim
yang berarti juga sepupu Sunan Ampel. Sunan Bonang dan Sunan Drajad adalah anak
Sunan Ampel. Sunan Kalijaga merupakan sahabat sekaligus murid Sunan Bonang.
Sunan Muria anak Sunan Kalijaga. Sunan Kudus murid Sunan Kalijaga. Sunan Gunung
Jati adalah sahabat para Sunan lain, kecuali Maulana Malik Ibrahim yang lebih
dahulu meninggal.
Mereka tinggal di pantai utara Jawa
dari awal abad 15 hingga pertengahan abad 16, di tiga wilayah penting. Yakni
Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, serta
Cirebon di Jawa Barat. Mereka adalah para intelektual yang menjadi pembaharu
masyarakat pada masanya. Mereka mengenalkan berbagai bentuk peradaban baru:
mulai dari kesehatan, bercocok tanam, niaga, kebudayaan dan kesenian,
kemasyarakatan hingga pemerintahan.
Pesantren Ampel Denta dan Giri
adalah dua institusi pendidikan paling penting di masa itu. Dari Giri,
peradaban Islam berkembang ke seluruh wilayah timur Nusantara. Sunan Giri dan
Sunan Gunung Jati bukan hanya ulama, namun juga pemimpin pemerintahan. Sunan
Giri, Bonang, Kalijaga, dan Kudus adalah kreator karya seni yang pengaruhnya
masih terasa hingga sekarang. Sedangkan Sunan Muria adalah pendamping sejati
kaum jelata.
Era Walisongo adalah era
berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk
digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di
Indonesia. Khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun
peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga
pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara
langsung, membuat "sembilan wali" ini lebih banyak disebut dibanding
yang lain.
Masing-masing tokoh tersebut
mempunyai peran yang unik dalam penyebaran Islam. Mulai dari Maulana Malik
Ibrahim yang menempatkan diri sebagai "tabib" bagi Kerajaan Hindu
Majapahit; Sunan Giri yang disebut para kolonialis sebagai "paus dari
Timur" hingga Sunan Kalijaga yang mencipta karya kesenian dengan menggunakan
nuansa yang dapat dipahami masyarakat Jawa -yakni nuansa Hindu dan Budha.[29]
Dengan cara perlahan dan bertahap, tanpa
menolak dengan keras, terhadap sosial kultural
masyarakat sekitar, Islam memperkenalkan toleransi dan persamaan derajat. Dalam
masyarakat Hindu-Jawa yang menekankan perbedaan derajat, ajaran Islam menarik
perhatian. Ditambah lagi kalangan pedagang yang mempunyai orientasi
cosmopolitan, panggilan Islam ini kemudian menjadi dorongan untuk mengambil
alih kekuasaan politik dari tangan penguasa yang masih kafir.[30]
2.
Faktor Penghambat dan Pendukung dalam Penyebaran Agama Islam
a.
Faktor
penghambat
1)
Masyarakat Indonesia pada masa itu masih
kental dengan pengaruh agama Hindu. Seperti yang kita ketahui, setelah zaman
prasejarah berakhir, di Indonesia lahir kebudayaan baru. Kebudayaan tersebut
ditandai dengan datangnya orang-orang India sebagai pembawa kebudayaan Hindu
yang membawa pengaruh dan menyebabkan perubahan cara hidup masyarakat Indonesia
baik dalam tatacara hidup kemasyarakatan, perekonomian, dan keagamaan.
2)
Masyarakat Indonesia pada masa itu umumnya
masih menganut kepercayaan kepada nenek moyang ( Animisme )[31]
b.
Faktor pendukung
1)
Ajarannya sederhana, mudah dimengerti dan
diterima.
2)
Syaratnya mudah, hanya dengan ucapkan kalimat
Syahadat, yang berisi pengakuan adanya “Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad
utusan Allah”
3)
Islam tidak mengenal kasta, sehingga lebih
menarik bagi rakyat biasa yang jumlahnya justru lebih besar.
4)
Upacara-upacara keagamaan sangat sederhana.
5)
Islam disebarkan dengan cara damai lewat
kesenian dan akulturasi dengan kebudayaan setempat.
6)
Jatuhnya Majapahit dan Sriwijaya menyebabkan
kerajaan-kerajaan Islam berkembang pesat.
c.
Saluran Penyebaran
di Indonesia
1) Perdagangan, yaitu
penyebaran ajaran Islam yang dilakukan oleh seorang pedagang Islam kepada
pedagang lain.
2) Perkawinan, seorang
penganut Islam menikah dengan seorang yang belum menganut Islam, sehingga
pasangannya ikut masuk Islam.
3) Kesenian, yaitu
penyebaran Islam dengan menggunakan media seni wayang, musik rebana,
syair, dan sebagainya.
Akulturasi
dan asimilasi
kebudayaan, hal ini dilakukan dengan menggunakan unsur-unsur kebudayaan lama
untuk usaha penyebaran Islam. Misalnya menggunakan doa-doa Islam dalam upacara
adat seperti kelahiran, selapanan, perkawinan, seni wayang kulit untuk dakwah.
dan sebagainya.[32]
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan
dan Jenis Penelitian
Penelitian tentang “Upaya Tokoh Agama Dalam
Penyebaran Agama Islam di Desa Ranupani Kecamatan Senduro Kabupaten Lumajang”. Menggunakan metode penelitian kualitatif
yaitu dengan pengamatan wawancara atau penelaahan dokumen.[33]Sesuai
dengan penelitian ini nantinya peneliti akan mencari data-data melalui
pengamatan dan wawancara untuk mengetahui tentang. ”
Jenis penelitian yang penulis teliti adalah
deskriptif kualitatif yaitu data yang dikumpulkan adalah beerupa kata-kata,
gambar dan bukan angka-angka. Hal itu disebabkan adanya penerapan metode
kualitatif. Selain itu semua yang dikumpulkan berkemungkinan menjadi kunci
terhadap apa yang sudah diteliti.[34]
1. Lokasi Penelitian
Adapun
lokasi yang dijadikan penelitian ini dilaksanakan di Desa Ranupani yang berada
di Kecamatan Senduro Kabupaten Lumajang. Peneliti memilih lokasi ini
dikarenakan masyarakat Desa Ranupani menganut tiga agama yaitu hindu, islam dan
Kristen.
Dari sekian banyak agama, tokoh Agama sangat
berperan penting untuk mengetahui cara penyebaran agama Islam. Oleh karena itu
tokoh agama sangat berpengaruh dalam penyebaran Agama Islam di Desa Ranupani.
2. Sumber Data Jenis Data
Menurut
Moleong, yang dikutip oleh Arikunto, sumber data kualitatif adalah tampilan
yang berupa kata-kata lisan atau tertulis yang dicermati oleh peneliti, dan
benda-benda yang diamati sampai detailnya agar dapat ditangkap makna yang
tersirat dalam dokumen atau bendanya.[35]
Jika dilihat dari jenisnya maka kita dapat membedakan
data kualitatif sebagai data primer dan data sekunder.
a. Data Primer (sumber data utama)
Data primer adalah berupa teks hasil
wawancara yang diperoleh melalui wawancara dengan informan yang sedang
dijadikan sampel penelitiannya.[36]
Data yang dimaksud adalah data tentangupaya
tokoh agama dalam penyebaran agama Islam di Desa Ranupani Kecamatan Senduro
Kabupaten Lumajang. Adapun data ini diperoleh dari beberapa sumber yaitu Kepala Desa, remaja masjid,
tokoh agama dan masyarakat.
b. Data Sekunder (sumber data tambahan)
Data sekunder adalah berupa data-data yang
sudah tersedia dan dapat diperoleh oleh peneliti dengan cara membaca, melihat
dan mendengarkan.[37]
Data yang dimaksud adalah data tentang Desa Ranupani dan data-data lain yang
menunjang data primer.
3. Teknik Pengumpulan Data
Untuk
mendapatkan data yang ada dalam penelitian ini, banyak cara yang digunakan akan
tetapi tidak semua bentuk dapat mrnggunakan teknik yang ada, semua harus
disesuaikan dengan yang menjadi subyek peneliti.
Dalam
penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa teknik pengumpulan data, yaitu :
a. Observasi
Kegiatan observasi meliputi melakukan pencatatan secara sistematik
kejadian-kejadian, perilaku, obyek-obyek yang dilihat dan hal-hal lain yang diperlukan dalam
mendukung penelitian yang sedang dilakukan. Pada tahap awal observasi dilakukan
secara umum, peneliti mengumpulkan data atau informasi sebanyak mungkin. Tahap
selanjutnya peneliti harus melakukan observasi yang terfokus, yaitu mulai
menyempitkan data atau informasi yang diperlukan sehingga peneliti dapat
menemukan tema-tema yang akan diteliti.
Salah satu peranan pokok dalam melakukan
observasi ialah untuk menemukan interaksi yang kompleks dengan latar belakang
sosial yang alami.[38]
Sugiyono dalam bukunya membedakan
pengumpulan data dengan observasi ada tiga macam yaitu observasi partisipatif,
observasi terus terang atau tersamar dan observasi tak berstruktur.[39]
Dalam penelitian ini peneliti mengumpulkan
data dengan cara observasi terus terang atau tersamar. Dalam hal ini, peneliti melakukan
pengumpulan data menyatakan terus terang kepada sumber data, bahwa ia sedang
melakukan penelitian. Tetapi dalam suatu saat peneliti juga tersamar dalam
melakukan observasi, hal ini untuk menghindari kalau suatu data yang dicari
merupakan data yang masih dirahasiakan. Kemungkinan kalau berterus terang
peneliti tidak diijinkan melakukan observasi.
b. Wawancara
Wawancara adalah percakapan dengan maksud
tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara
(interviwer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviwee) yang
memberikan jawaban atas pertanyaan itu.[40]
Seperti yang di kemukakan oleh
Esterberg dalam Sugiyono, ada beberapa
macam wawancara yaitu wawancara terstruktur, semistruktur, dan tidak
struktural.
Wawancara yang akan dilakukan oleh peneliti
dalam penelitian ini adalah wawancara semiterstruktur yaitu wawancara dimana
peneliti dalam pelaksanaannya lebih bebas. Tujuan dari wawancara jenis ini
adalah untuk menemukan permasalahan secara lebih terbuka, dimana pihak yang diajak
wawancara dimintai pendapat, dan ide-idenya. Dalam melakukan wawancara,
peneliti perlu mendengarkan secara teliti dan mencatat apa yang dikemukakan
oleh informan.[41]
c. Dokumentasi
Kajian dokumen merupakan sarana pembantu
peneliti dalammengumpulkan data atau informasi dengan cara membaca surat-surat,
pengumuman, ikhtisar rapat, pernyataan tertulis kebijakan tertentu dan
bahan-bahan tulisan lainnya. Metode pencarian data ini sangat bermanfaat karena
dapat dilakukan dengan tanpa mengganggu objek atau suasana penelitian.[42]
4. Analisis Data
Analisis
data kualitatif menurut bogdan dan biklen yang dikutip oleh moleong, adalah
upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data,
memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensistensiskannya,
mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari,
dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.[43]
Adapun dalam
proses analisis data, penulis menggunakan metode Miles dan Huberman, yang
dikutip oleh Sugiyono yaitu :
1)
Reduksi
Data
Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok,
memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema polanya. Reduksi data dapat
dibantu dengan memberikan kode pada aspek-aspek tertentu.
2)
Penyajian
Data
Penyajian data dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan,
hubungan antar kategori, flowchart dan sejenisnya. Dengan menyajikan
data maka akan memudahkan untuk memahami apa yang terjadi.
3)
Verifikasi
atau Penarikan Kesimpulan
Verifikasi atau penarikan kesimpulan adalah merupakan temuan baru
yang sebelumnya belum pernah ada. Temuan berupa deskripsi atau gambaran suatu
obyek yang sebelumnya masih remang-remang atau gelap sehingga setelah diteliti
menjadi jelas, dapat berupa hubungan kausal atau interaktif, hipotesis atau
teori.[44]
5. Keabsahan Data
Supaya data
yang diperoleh dapat terjamin keabsahannya, maka peneliti harus menempuh jalur
pemeriksaan data dengan memilih beberapa teknik sebagai berikut :
a. Perpanjangan keikutsertaan adalah peneliti
terjun ke lokasi dalam waktu yang cukup panjang guna mendeteksi dan
memperhitungkan distorsi yang mungkin mengotori data.
b. Ketekunan/keajegan pengamatan berarti
mencari konsisten interpretasi dengan berbagai cara dalam kaitan dengan proses
analisis yang konstan. Mencari apa yang dapat diperhitungkan dan apa yang tidak
dapat. Ketekunan pengamatan bermaksud
menemukan ciri-ciri dan unsur- unsur dalam situasi yang sangat relevan
dengan persoalan atau isu yang sangat relevan dengan persoalan atau isu yang
sedang dicari dan kemudian memusatkan diri pada hal-hal tersebut secara rinci.
c. Tringulasi artinya teknik pemeriksaan
keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain. Di luar data itu untuk
keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Teknik
tringulasi yang paling banyak digunakan ialah pemeriksaan melalui sumber
lainnya.[45]
Dari tiga
teknik tersebut, dalam penelitian ini peneliti memilih tekni triangulasi untuk
menguji keabsahan data.
B. Tahap-Tahap Penelitian
Ada empat (4) tahapan yang dilakukan oleh peneliti dalam melaksanakan
penelitian dilapangan atau obyek penelitian adalah sebagai berikut:
1. Tahap
PraLapangan
a.
Menyusun Rancangan
Penelitian
Rancangan dalam sebuah suatu
penelitian kualitatif (usulan penelitian) paling tidak berisi tentang latar
belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian dan metode
penelitian yang berisi: pendekatan dan jenis penelitian, kehadiran peneliti,
lokasi penelitian, sumber data, prosedur pengumpulan data, analisis data,
pengecekan keabsahan data dan tahap-tahap penelitian.
b.
Penentuan Lokasi
Penelitian
Cara
terbaik yang perlu ditempuh dalam penentuan lapangan peneliti ialah dengan
jalan mempertimbangkan teori substantif, pergilah dan jajakilah lapangan untuk
melihat apakah terdapat kesesuaian dengan kenyataan yang berada di lapangan.Keterbatasan
geografis dan praktis seperti waktu, biaya, tenaga, perlu pula dijadikan
pertimbangan dalam penentuan lokasi penelitian.
c.
Mengurus Perizinan
Pertama yang perlu diketahui oleh
peneliti ialah siapa saja yang berkuasa dan berwenang memberikan izin bagi
pelaksanaan penelitian. Dalam kegiatan ini peneliti membawa surat izin dari
fakultas tarbiyah IAI Syarifuddin untuk terjun langsung ke
lokasi penelitian guna mengambil data agar tidak mengalami kesulitan ketika
melakukan penelitian.
d.
Memilih Dan
Memanfaatkan
Untuk
memperoleh data yang valid, maka peneliti harus memilih informan dan memanfaatkannya. Informan adalah
orang yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang situasi dan kondisi
latar penelitian.Informan dimanfaatkan untuk berbicara, bertukar pikiran, atau
membandingkan suatu kejadian yang ditemukan dari subjek lainnya.jadi informan
berkewajiban secara sukarela menjadi anggota tim penelitian walaupun hanya
bersifat informal.
2. Tahap
Pekerjaan Lapangan
Tahapan Pekerjaan Lapangan Terbagi atas tiga bagian, yaitu;
a.
Memahami
latar penelitiandan persiapan diri, disamping mempersiapkan diri, peneliti juga
memahami latar penelitian agar
dapat menentukan model pengumpulan datanya, melalui observasi atau wawancara atau dengan cara yang lainnya. Dalam
penelitian ini peneliti menggunakancaraobservasi dan wawancaradalam pengumpulan
data.
b.
Memasuki lapangan, ketika memasuki lapangan, peneliti harus menjalinhubungan yang akrab dengan subyek penelitian,
dengan menggunakan tutur bahasa yang
santun, akrab, dengan tetap menjaga etika
pergaulan dan norma-norma yang berlaku di dalam lapangan penelitian tersebut.
c.
Berperan
serta sambil mengumpulkan data.
3. Tahap Pengelolaan Data
Pada tahap pengelolaan data ini, peneliti menggunakan data-data yang telah diperolehnya, kemudian di atur, diurutkan,
dikelompokkan dengan memberinya kode dan
mengkategorikannya. Pengorganisasian dan pengelolaan data tersebut bertujuan
menemukan tema dan hipotesa kerja.
4. Tahap
Penulisan Laporan Penelitian
Tahap terakhir yang merupakan buah jerih payah peneliti ialah
hasil penelitian tersebut dalam bentuk karya tulis. Laporan penelitian yang
lengkap tidak hanya menyajikan hasil penelitian, tetapi juga proses penelitian itu nsebagai
keseluruhan.
Menurut
Masri Singarimbun dalam bukunya yang berjudul metode penelitian survai, mengemukan bahwa pembagian isi
laporan secara berurutan adalah : judul laporan, kata pengantar, daftar isi,
pendahuluan, tubuh laporan, kesimpulan, lampiran-lampiran dan kepustakaan.[46]
[1]Agus Bustanuddin, Agama Dalam Kehidupan
Manusia (Jakarta:PT. Rajagrafindo Persada,2006),1-2.
[2]Noercholish Madjid,Islam Doktrin Dan
Peradaban(Jakarta Selatan:Paramadina,1999),4-5.
[4]Ahmadi, Dasar-Dasar Pendidikan
Agama Islam,6-7
[5]R. H. A. Soenaryo, Al-Qur’an dan
Terjemahnya, (Jakarta: Lembaga Penyelenggara Penterjemah Kitab Suci
Al-Qur’an,1965),47
[7]Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy,
Memahami Syariat Islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2000), 23-24.
[8]Mark R. Woodward, Islam Jawa, (Yogyakarta, LkiS, 1999),1
[9]Sunyoto Usman, Pembangunan dan
Pemberdayaan Masyarakat,(Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2010). 29
[10]Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban
Islaam, 3
[11]M. Hariwijaya, Pedoman Penulisan Ilmiah
Skripsi dan Tesis, (Jakarta Selatan: Oryza,2011),50
[12]Is’aisah,
Islam Di Tempursari Lumajang (Masuk dan Awal Perkembangannya Tahun 1930 – 1980
M). mahasiswa fakultas adab, 1997.
[13]Tubagus
Arief Rachman FauziPeranan Syeikh KH Asnawi dalam menyebarkan Agama Islam di
Caringnin – Banten Tahun 1865 – 1937, Fakultas Pendidikan Ilmu
pengetahuan sosial, 2013.
[14]
Risa Agustin, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia,(Surabaya: Serba
Jaya,2009),585.
[15]
Anand Krishna, Self Leadership Seni Memimpin Diri,(Jakarta: PT. One
Earth Media,2005),140-141.
[16]
Abdul Wadud Nafis, Metode Dakwah Teori dan Praktek,( Jakarta Selatan :
Mitra Abadi Press, 2009).7-8
[17]
Ali Anwar, Pembaruan Pendidikan di Pesantren Lirboyo Kediri,( Yogyakarta
: Pustaka Belajar, 2011). 32
[18]Bustanuddin,Agama Dalam kehidupan
Manusia ,103-104
[19]
Naik Zakir, Mereka Bertanya Islam Menjawab
(Solo: Anggota SPI, 2009),13.
[20]
Ahmadi, Dasar-Dasar Pendidikan Agama Islam,3-4.
[21]
Zainal Muttaqien, Term Syari’at dan Cinta Kemashlahatan, (Kediri:
Lirboyo Press, 2012).5-6
[22]
Zainal Muttaqien, Term Syari’at dan Cinta KemashlahatanSebuah Pengantar
Dalam Memahami Teori Kemashlahatan Hukum Islam, (Kediri: Lirboyo Press,
2012).75
[23]
M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab,(Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada,1995).5
[24]
Wawan Susetya, Meredakan Murka Tuhan, Menyelamatkan Diri Dari Bencana,
(Yogyakarta: Tugu Plubisher,2008),177
[25]
Syekh as Zarnuji, Pedoman Belajar Bagi Pelajar Dan Santri, (Surabaya:
Al-Hidayah),2
[26]
M.Rofiq Zakaria, Khotbah Jum’at Aktual( Surabaya, Al-Miftah, 1998) 78
[27]Umar Hasyim, Riwayat Maulana Malik
Ibrahim, (Kudus: Menara Kudus, 1981),39-41
[28]Agus Sunyoto, Atlas Wali Songo, (Depok, Pustaka IIMaN, 2016),56
[29] http://www.indospiritual.com/artikel_walisongo-tokoh-penyebar-agama-islam-nusantara.html
[30]Musyrifah
Sunanto, Sejarah Peradapan Islam Indonesia,(Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada, 2005), 22
[32]http://spendphull-community.blogspot.co.id/2012/03/faktor-faktor-penyebaran-islam-di.html
[34]
Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif ,11
[35]
Suharsimi Arikunto,Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik,(Jakarta:
Rineka Cipta,2010), 22
[36]
Jonathan Sarwono, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, (
Yogyakarta: Graha Ilmu, 2006),209
[37]
Sarwono, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif,209
[38]
Sarwono, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif,224
[39]
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif dan R&D,228
[40]
Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif ,186
[41]
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif dan R&D,233
[42]
Sarwono, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif,225
[43]
Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif ,248
[44]
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif dan R&D,247-253
[45]
Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif ,327-330
[46]Masri
Singarimbun, Metode Penelitian Survai (Jakarta : PT. LP3ES, 1989), 319.
No comments:
Post a Comment